CHAPTER 29 - FRUSTASI

1468 Kata
Tanpa sadar satu minggu sudah Ronal mengalami kejadian itu, terguyur kopi lah apalagi. Dan selama ini pula Ronal juga tetap diam saja seperti niatan awalnya, sampai sampai membuat Sandy sekretarisnya hanya dapat geleng-geleng kepala. By the way, karena hari ini week end, Ronal memutuskan untuk pulang cepat, cepatnya Ronal itu di jam macam pekerjaan lain pulang ya, sebab kalau normalnya dia itu selalu lembur atau kadang memang menyibukkan diri hingga larut malam di kantor. Jujur saja dia lebih suka jika sampai di rumah langsung tidur, dari pada kerja di rumah, tapi tidak melulu seperti itu sih, ada kalanya lembur di rumah. Memang Ronal melakukan itu semua, karena merasa hidupnya sungguh datar datar saja, tak ada gairah selain bekerja bekerja dan bekerja. Dia juga tak terlalu suka di rumah. Padahal dulu saat dia masih duduk di bangku SMP dan SMA, Ronal sangat menikmati hidupnya, mungkin karena dia punya banyak teman, dan hampir setiap hari dia berada di basecamp. Meski begitu tetap kok, sampai sekarang pun dia kadang kadang mengunjungi basecamp geng nya itu. Walau hanya sekedar mampir atau membawakan makanan semata. Tanpa dia sadari rupanya dirinya sedikit melamun sedari tadi dengan mengabaikan laptop di depannya itu menyala. Bukan itu saja, tapi Ronal tidak tau kalau ponsel yang di letakkan di atas meja tengah bergetar terus, menandakan adanya panggilan masuk. Drtt ... Drtt ... Ronal buru-buru mengambil ponsel tersebut dan menggeser tombol hijau, sebelum akhirnya menempelkan ponsel di samping telinga. "Halo," sapa Ronal pada seseorang di seberang sana. Yang tak lain tak bukan adalah mamanya sendiri, mama Iffa. "Sayang malam ini jadi kan ya," ucap mamanya di sana dengan excited sekali. Jelas itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan. Ronal yang mulanya mengerutkan kening nampak bingung ke mana arah pembicaraan mamanya itu pun, akhirnya menghela nafas setelah menyadari sesuatu. Ronal ingat dengan pesan singkat yang dikirim kan ibunya tadi pagi. di mana berisi untuk meminta Ronal bertemu dengan seorang wanita yang terakhir kali Ronal pilih asal, tepatnya seminggu yang lalu. Padahal Ronal tak seserius itu, dan juga dia kira mamanya sudah lupa setelah seminggu lebih tidak ada pembahasan. Ronal sudah senang bukan main loh, tapi ternyata mamanya itu malah ingat. "Ma, maaf Ronal nggak bisa," Ronal berucap tanpa ada keraguan. Memang sejak awal mamanya itu mengirim kan pesan, Ronal sudah tidak menganggap lebih, dan memilih me-read saja, tanda tidak perduli "Kenapa sih, kan kamu udah pilih," Kesal, nada suara mamanya itu terdengar demikian, atau cenderung merengek sih. "Sibuk," jawab Ronal singkat tak pikir panjang. Meski sebenarnya hari ini jadwal Ronal pulang cepat dan menikmati malam di kamar hotel khusus miliknya itu, tapi jelas dia tidak mau jujur pada mamanya. "Eits, jangan bo'ongin mama ya," Iffa memang selalu ada cara untuk membuat anak semata wayangnya tersebut tak berkutik. Dan kali ini dia juga sudah mencari tahu semuanya sebelum bertindak, "Mama udah tanya ke Sandy kalo weekend ini kamu longgar," Lanjutnya. Sandy? Sialan juga pria itu! Ronal berdecak pelan, sambil memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. "Ck, Ronal ada urusan," balas Ronal. Kalau saja Ronal dapat melihat secara langsung, saat ini mamanya itu tengah menyipit kan mata curiga seperti biasanya. "Urusan apa? Tinggal aja dulu," Enteng sekali ya! "Nggak bisa, Ma," Ronal sudah mulai kesal tertahan. Dia tidak mau bertemu dengan wanita apalah itu. "Ih ... Ronal! ini itu urgent banget loh, kamu harus mau pokoknya." Mau bagaimana pun Mama Ronal tidak akan menyerah untuk membuat anaknya itu menerima permintaan nya dan bertemu gadis yang tempo hari Ronal pilih fotonya. "Ma __" Tau kalau anaknya itu hendak mencari alasan lain, Iffa memilih memotong ucapnya Ronal itu. "Coba aja dulu, siapa tau cocok." "Nggak!" Sedetik Iffa menutup suara Ronal cepat membalaskanya, seolah jawaban itu sudah dia persiapan sejak awal. "Please sayang, dia anak temen mama, cantik pinter juga." rengek Iffa dengan nada memelas sangat. "Ma," Ronal tidak bisa. Dia juga tidak boleh termakan bujuk rayu dari mamanya itu. "Mama mohon," Untuk sekali lagi, Iffa sampai meminta dengan suara pelan serak-serak seperti hendak menangis. Astaga ... Huft ... Harus kah ..., Ck ... Ronal tidak tau mamanya itu tengah berpura-pura atau memang betulan ingin menangis, tapi yang pasti Ronal tidak ada pilihan lain. "Hm," gumam Ronal sebagai balasan. Sudah faham bukan kalau gumaman Ronal itu berarti apa? "Eh beneran? kamu mau?" Suara Mama Iffa yang mulanya sedih berubah seratus delapan puluh derajat menjadi excited seketika. Cih, harusnya Ronal tau itu. Karena mamanya malah bertanya dan tidak mempercayai jawaban Ronal, sepertinya Ronal harus mengurungkan niat saja. "Eng __" Tapi faktanya mama Ronal itu tidak memberi Ronal watu bersuara. Takut-takut anaknya berubah fikiran. "Yey, akhirnya." Aish .. "Ya udah, sekarang mama hubungin Meli dulu. Nanti mama infoin lagi okay," Masih tak mengurangi nada semangat empat limanya itu, Iffa pun berkata demikian. "Hm." Ronal setia seperti biasanya, yakni membalas hanya dengan gumaman. "Mama tutup," pamit mamanya itu. "Hm," Dan benar saja, setelah itu panggilan telefon pun terputus dengan mama Iffa yang memutuskan. Tut .. Tut ... Shhh ... Setelah panggilan benar benar terputus, Ronal pun mulai mendesah sambil memijit pelipis seperti tadi. Tidak menyangka dia akan mengiyakan permintaan absurd mamanya tersebut. Tidak lama berikutnya, suara pintu pun terdengar seperti ada yang membuka. Dan Ronal tau betul siapa gerangan orang yang bertingkah langsung membuka pintu atasan seperti itu. Ronal mengangkat pandangan menjadi lurus menghadap pintu yang mulai terbuka. Cklekk ... Benar seperti dugaan, kalau Sandy lah yang muncul dari balik pintu sana, seraya membawa beberapa berkas di tangan kananya. "Misi __ Eh ...," Sandy sendiri yang mulanya hendak menyapa sopan, malah di buat bingung sekaligus agak ngeri melihat raut wajah atasnya yang tidak bersahabat, cenderung mengerikan. Memang benar Ronal sengaja melakukannya, jujur dia kesal pada sekretaris nya itu. Makanya dia tak segan-segan menatap penuh tajam dengan wajah datar, Sandy. "Kenapa bos?" tanya Sandy takut takut. Sambil memikirkan apa yang salah dengan dirinya. Meski sudah di tanyai, Ronal tetap tak menjawab hanya terus melayangkan tatapan membunuh di sana. "Kenapa sih," Sandy mengulang pertanyaan, lalu tiba-tiba dia teringat kalau pintu masih belum tertutup, makanya dia memilih menunda dengan menatap belakang dahulu sebelum melanjutkan ucapnya lagi, dia takut jika ada orang lain yang akan mendengarnya sekarang. "Gue salah apa sih?" tanya Sandy lebih santai, seraya menutup pintu tersebut rapat agar mereka bisa leluasa berbicara. "Huh," Ronal malah mendengus sambil tersenyum meremehkan bak iblis j*****m di sana. Ngeri pasti, tapi Sandy juga bingung, dia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal itu, "Perasaan gue nggak ngapa ngapa in dah, Eh ..." Tapi tiba-tiba Sandy terdiam. Sepertinya pria itu mulai menyadari nya. Sandy ingat betul ... Dan setelahnya dia lun langsung menunjukkan deretan giginya, menyengir lebar sedikit kikuk, "Hehe ya gimana lagi, ya kali nyonya besar tanya gue malah nggak jawab," Sandy ingat kalau dirinya sudah memberi tahu mama Ronal perkara jadwal kosong hari ini. Yang padahal Ronal sering mewanti-wanti Sandy untuk tidak bocor pada mamanya, meski begitu Sandy tetap lah Sandy si ember bocor yang akan mengulang kesalahannya jika sudah di tanyai mama Ronal. "Cari alasan kan bisa," Ronal memberenggut kesal. Sandy pun berjalan mendekat pada Ronal, "Ya nggak bisa, kalau gue bohong yang ada nanti gue ikut kena," Alasan! ... Jelas alasan, Ronal tau itu. Makannya mata Ronal menyipit lagi, pasti ada sesuatu yang di tepokkan papanya pada telapak tangan Sandy. Sandy tersenyum kikuk lagi, tapi tetap berusaha meyakinkan bosnya itu. "Serius gue cuma nggak bisa bohong," Hanya saja sipitan mata Ronal makin mendalam, tidak percaya sama sekali dengan mulut sekretaris nya. "Bos gue kan tangan kanan lo, masa nggak percaya sih sama gue." Sandy mencebikkan bibir, berpura-pura memelas di sana. Tapi Ronal tetap tak kasihan, "Bos ..." "Pergi atau gue amuk!" desis Ronal tanpa sadar. Dia terlanjur kesal untuk sekarang. Dia sudah menahan diri loh sedari tadi. Alhasil Sandy tak ada pilihan lain kecuali pergi dari sana menuruti permintaan bosnya itu. Lagi pun Ronal harus menenangkan diri dahulu kan. Sandy benar benar pergi yang sebelumnya meletakkan sebuah berkas di meja Ronal untuk di tanda tangani pria itu dan pamit undur diri. "Shh ..." Ronal sontak mendesah lagi setelah Sandy benar tidak ada di sana. Ck ... Tanpa sadar Ronal mengambil ponselnya lagi yang tadi sempat dia letakkan kasar di atas meja _cepat. Dan mulai membuka ponsel itu, berlanjut menuju sebuah nomor yang beberapa hari lalu telah dia save. Yups, seperti dugaan kalian, nomor tersebut milik pelaku pengguyuran kopi terhadap Ronal. Ronal memang memutuskan untuk men save sebab dia kesal sendiri, karena setiap hari tanpa sadar selalu mengetikkan nomor yang telah dia hafal. Dan kali ini, entah kenapa lagi-lagi jemarinya seolah bergerak sendiri menuju tombol panggil. Tapi ... Eh ... Ronal mengurungkannya. Sial! Untuk saja, ketika jempolnya tinggal berjarak satu senti dengan layar, Ronal kembali tersadar ... Dia tak menyangka hampir melakukan kesalahan fatal yang tidak dia inginkan. Ronal pun mengusap wajahnya kasar. Rupanya dalam keadaan seperti ini pun Ronal tetap teringat nomornya ya! Aishh ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN