Pukul delapan tepat akhirnya Reya dan Dhini pun tiba di unit apartment Reya tersebut.
Dhini harus menggandeng lengan Reya sepanjang jalan mereka pulang dari minimarket menuju apart, sebab Dhini tak tahan dengan Reya yang berjalan gontai layaknya siput, bisa bisa mereka malah sampai di rumah tegah malam kalau hal itu terus terjadi.
"Udah sampe," ucap Dhini seraya melepaskan gandengannya dari lengan Reya itu, sebab saat ini mereka sudah berada di ruang tamu unit apartment Reya.
Reya mengangguk mengerti lalu berjalan _masih dengan langkah pelan tak bersemangatnya itu_ meninggalkan Dhini yang hanya dapat geleng geleng kepala akan tingkah Reya.
"Huft," helaan nafas Dhini lakukan sebelum akhirnya ikut melangkahkan kaki menyusul temannya, ah tidak dia akan ke dapur dahulu, untuk menyimpan sisa snack yang dia beli tadi. Karena rupanya Reya sudah stop makan setelah menyantap mie instan dan beberapa makanan berat, memang kemaruk anak itu. Tapi tidak apa-apa mereka bisa melanjutkan makan besok lagi.
Reya sendiri langsung menuju kamarnya, dia menutup pintu dan menguncinya rapat setelah benar benar masuk ke dalam.
Wajah Reya benar benar tertekuk sangat saat ini, dia seperti orang linglung ketika dia memutuskan untuk berhenti melangkah dan mulai mengedarkan pandangan mengitari seluruh isi kamar.
Setertekan itu kah Reya saat ini?
Tapi aktifitas menatap seluruh rungan tersebut hanya bertahan selama sepuluh detik, sebab di detik berikutnya Reya sudah kembali melanjutkan gerakan kaki ke depan sampai ke di ranjang.
Brukk ...
Reya menjatuhkan tubuhnya sendiri di atas ranjang queen size tersebut tanpa aba aba, yang bahkan hingga membuat tubuhnya sedikit terpental akibat menghantam lembutnya spring bed yang begitu memantul itu.
"Huft,"
Reya menghela nafas beberapa kali, seraya memposisikan badannya berbaring nyaman menghadap atas, dia menatap plafon ber cat putih kamarnya dengan selingan decakan, helaan, dengusan, sampai rintihan pelan. Reya benar benar melakukan hal tersebut.
"Aish ... Gimana nih," gumam Reya tiba tiba, raut wajahnya menunjukkan kebingungan dan ketakutan mendalam.
Lalu dia mulai mengangkat kedua telapak tangannya yang tadi dia buat menampar pipi seorang anak Billionaire, ah atau malah malah memang Billionaire ya.
Huhu ...
Mampus ...
Metong ...
Tak berbentuk!
Reya ... Selesai!
Reya menangkup kan kedua telapak tangannya tersebut menutupi seluruh wajahnya, lalu mengusapnya kasar, tidak perduli jika make up-nya akan menjadi makin berantakan, toh saat ini dia memang sudah berada di rumah juga kan.
"Reya lo is dead. Habis Re ..., Habis sudah huhu," tutur Reya dengan masih mengusap seluruh wajahnya tersebut.
"Aish,"
Hanya saja, perilaku tak wajar Reya tersebut sontak berhenti, ketika telinganya merasakan adanya getaran hebat dari dalam tes slempangnya itu.
Reya sadar kalau getaran tersebut berasal dari ponselnya, akan tetapi Reya sungguh tidak ingin mengangkat atau sekedar melihat siapa gerangan orang yang telah menghubunginya.
Reya benar benar tak mood, dia dalam keadaan yang tak baik baik saja seperti ini, ya kali harus mengangkat telefon. Yang ada orang tersebut akan tau kalau Reya sedang tidak dalam keadaan baik, sebab Reya mungkin tidak bisa menutupi kesedihannya itu.
Beberapa saat setelahnya, getaran ponsel tersebut berhenti dengan sendirinya, dan Reya juga sama sekali tak bersalah telah mengabaikan panggilan itu.
Satu detik ...
Dua detik ...
Tiga detik ...
Dan hingga di detik ke delapan, yang Reya pikir si penelepon telah menyerah menelefonnya, rupanya tidak sama sekali, sebab saat ini ponsel tersebut kembali bergetar.
Drtt ... Drtt ...
Cih ... Di kira Reya akan mengangkatnya setelah panggilan kedua, haha jelas tidak lah.
Dan begitu pun selanjutnya, hingga ponsel mati bergetar mati bergetar hingga 5 kali lamanya. Dan sudah sampai seperti itu pun Reya tak juga mengangkatnya.
Menyerah saja, pikir Reya culas.
Eh ...
Tunggu,
Tapi kalau di fikir-fikir, jika tadi adalah telefon yang amat penting bagaimana, siapa yang akan menduka kalau tentang pekerjaan, atau malah malah keluarganya?
Sialan!
Akhirnya Reya lah yang menyerah, dia bangkit dari posisi berbaring menjadi duduk, lalu buru buru membuka tas slempangnya dan mengambil ponsel di sana.
Baru juga Reya mencekal ponsel dan hendak menyalakan tombol kunci. Reya malah langsung di perlihatkan jika ponsel kembali bergetar dengan layar yang ikut menyala menampakkan nomor kontak dengan username 'Bu Gita' di sana, siapa lagi kalau bukan mama Reya.
'Mama ...,'
Drttt ... Drttt ...
Reya menghela nafas sejenak, berusaha menguatkan diri, sebelum akhirnya benar benar menggeser tombol hijau menggunakan jempol tangannya tersebut.
"Halo," Suara cempreng khas bu Gita a.k.a mama Reya pun sontak menyapa pendengaran Reya.
Bukannya langsung menjawab, Reya malah memejamkan mata sejenak.
"Halo," karena tak kunjung mendapat jawaban dari sang anak, alhasil mama Reya pun kembali mengulang pertanyaannya, dengan nada sedikit khawatir, "Sayang kamu di sana kan?" tanyanya.
Reya pun berdehem pelan dan membuka matanya, sebelum akhirnya menjawab.
"Iya ma, ada apa?" Reya berusaha keras bersikap biasa, dan juga suaranya dia buat se netral mungkin.
"Sayang kamu kenapa?" tanya mama Reya ketika mendengar suara yang tak biasanya dari anaknya tersebut, tidak salah lagi sebagai ibu kandung dia tidak mungkin salah mengenali, ibu dan anak selalu memiliki ikatan batin bukan.
"Nggak kenapa napa ih, emang kenapa."
Mungkin benar, Reya sempat tertegun mendengar pertanyaan mamanya yang seratus persen benar. Namun dia harus ingat untuk tak menunjukkan masalahnya itu kepada mamanya. Makanya dia lagi-lagi berusaha keras kembali ceria dan mengubah suaranya seperti Reya yang biasanya.
"Serius kamu?" Mama Reya masih belum bisa sepenuhnya percaya, tapi ketika mendengar ucapan Reya barusan, sejujurnya Gita merasa anaknya juga seperti biasanya. Ah, apa mungkin dia saja yang terlalu overthinking dan berfikir macam macam.
"Iya ma," Reya menjawab lagi, berharap mamanya tersebut benar benar percaya. Oleh karena itu dia sengaja mengalihkan pembahasan itu dengan topik lain, Reya bertanya, "Ada apa ma? Tumben nelfon,"
Dan benar saja, sepertinya cara jitu Reya mengalihkan topik tersebut berhasil, mama Reya langsung menjawab seolah melupakan rasa kecemasan yang sebelumnya mendera, "Ini, minggu depan mama papa mau ke Bali, sama tante tantemu juga keponakan juga, kamu mau ikut enggak?"
Liburan ...
Bareng keluarga besar?
Big no!
Jelas Reya tidak akan mau, siapa pula yang ini menjadi bulan bulannya dengan di tanyai kapan nikah napan nikah terus, jelas itu bukan Reya. Dia tidak akan sudi kehilangan waktu berharganya hanya demi ber bad mood bad mood ria. Lebih baik dia rebahan saja di kamar kan, ketimbang bertemu beberapa tantenya yang suka nyinyir masalah hidup dan umur Reya.
"Enggak ah ma." jawab Reya, tanpa menunjukkan ke tidak tertarikannya yang menjerumus ke jijik tersebut pada acara liburan bersama tantenya.
Kalau Reya dapat menduga pasti saat ini mamanya tengah mengerutkan dahi dalam di seberang sana.
"Kenapa? Ini gratis loh, om mu yang bayarin semuanya," ucap mama Reya, masih mencoba membuat anaknya tersebut berubah fikiran dengan meng iming imingi kegratisan.
Mau bagaimana pun, meski gratis tis macam itu pun, Reya tidak akan sudi valid no debat. "Enggak ma, Reya sibuk," jawab Reya santai.
Helaan nafas Reya dapat dengar dari speaker ponselnya itu, jelas itu mamanya yang melakukan.
"Sekali kali liburan lah sayang," Mama Reya sepertinya tengah kecewa, terbukti dari nada suaranya yang memang terdengar berat.
Reya bergumam untuk mengawali, "Nanti deh." Kalau tidak di iyakan, pasti akan merembet tanpa henti.
"Emang di Bali cuma liburan doang?" lanjut Reya bertanya, sebagai mengalihkan pembahasan dari mengajaknya tersebut. Kalau di pikir pikir lagi, jarang sekali mamanya ikut liburan sekeluarga besar macam itu, jadi terasa tidak mungkin jika hanya sekedar liburan semata.
Dan benar bukan, dari mamanya yang terkekeh pelan di seberang sambungan telefon sana, Reya sudah dapat mengerti kalau dugaannya memang betulan ada.
"Hehe enggak, mau pergi ke kondangan sepupunya tante kamu, mama pernah ketemu dulu, jadi di undang."
Maksudnya tante di sini adalah istri dari kakak laki-laki mama Reya. Yang memang bertempat tinggal di Bali. Kalau untuk yang tante ini _tante Rita_ dia bukan tipe mak mak julid yang seperti tante tante Reya lainnya. Atau malah tante Rita sangat baik pada Reya, meski begitu Reya juga masih kekeh dengan keputusannya untuk tidak ikut, dia malah untu menjelaskan berbagai pertanyaan yang lebih condong ke nyinyiran tante tantenya itu.
Sebenarnya kalau Reya pikir pikir keluarganya sendiri lumayan berkecukupan, ia bisa tinggal nyaman, dan makan enak sejak kecil, meski ayahnya hanya seorang pegawai dengan gaji yang bisa di bilang lumayan, karena sudah berpangkat tinggi. Tapi entah kenapa ada 2 tante lainnya dari keluarga mamanya _istri adik dan kakak mamanya_ yang seperti tidak menyukai keluarganya terlebih Reya, julidnya itu loh astaga, Reya sampai harus geleng geleng kepala. Pokoknya kalau julidnya sudah kumat, Reya harus sudah siap sedia menutup telinga dan hati, juga kata kata balasan yang skak mat tentu saja.
Tantenya itu selalu berkata Reya sudah tua, bakal jadi perawan tua kalau tak kunjung menikah, hellow sorry dorry ya... padahal jelas wanita paruh baya itu juga tinggal di kota besar, umur 26 bukan lah apa-apa jika di kota macam ini. Apa mungkin karena anaknya nikah muda ya. Cihh ... Padahal desas desusnya anak perempuannya nikah muda juga karena 'tek dung' dahulu, tapi sombongnya minta ampun. Ya kali, married by accident lebih berkelas dari pada nikah di umur matang, gila memang.
"Kamu beneran nggak mau ikut?" Setelah semuanya, sepertinya mamanya itu masih belum juga menyerah apa ya.
Reya memutar bola matanya malas, "Dih, pasti ngajak ngajak karena alasan tertentu. Ngaku mama kalo pengen nyombaling aku di sana," tidak salah lagi bukan jika memang itulah niat mamanya. Bukan sekali dua kali loh, mamanya itu mengajak Reya ke acara kondangan.
Tidak tau saja mamanya, kalau kondangan adalah salah satu list tempat yang sering Reya hindari, alasannya juga karena dia tidak mau di tanya-tanyai lebih atau pembahasan perihal pernikahan yang pasti akan menyakiti hati Reya tersebut.
"Hehe, enggk kok." Mama Reya sontak menyangkal tuduhan anaknya itu.
Tapi ya tetap saja, Reya tidak akan pernah bisa di bohongi, Dia sudah terlalu mengerti sifat ibu Gita. "Enggak salah!"
"Ih kamu mah, ini serius kamu nggak mau?" Sekali lagi Gita akan mencoba bertanya, dan ini yang terakhir anaknya tersebut bisa berubah fikiran atau tidak, setelah itu dia tidak akan bertanya lagi.
"Iya, enggak mau," Reya menjawab dengan penekanan di sana.
"Padahal enak." Gumaman tersebut tapi masih dapat Reya dengar dengan jelas.
"Reya mah liburan sendiri juga minggu depan," Reya menanggapi asal, yang padahal dia tidak ada rencana liburan sama sekali di sana.
"Lah katanya sibuk," Cibiran itu mama Reya lontarkan begitu saja.
Dan Reya langsung membalas dengan kekehan pelan, seolah lupa akan masalah tertekannya tadi, "Ya tadi katanya suruh healing." balasnya.
"Iya iya serah kamu deh, asal jangan lupa, pulang pulang bawa calon mantu haha." Bukan hanya candaan semata, tapi jelas kalimat di sana tersemat maksud sungguhan nan harapan, Gita berharap anaknya memang segera membawa menantu ke hadapannya.
Reya memutar bola matanya malas, tapi detik berikutnya malah berganti tersenyum miring ketika mendapat suatu ide. "Dih, apa gini aja, kalo calon mantunya nggak ada, calon cucunya dulu gimana?" Haha ... Tidak betulan kok, sengebet ngebetnya Reya ingin punya anak tapi dia jelas tidak sudi kalau harus merelakan tubuhnya di cicipi orang tidak di kenal.
"Eh ... Bentar mama bingung."
Reya mendengus mamanya itu benar benar loading lama akan candaanya. Okay lah tidak masalah, "Ya ya ___"
Tapi belum juga Reya melanjutkan ucapan dia malah di buat terkejut dengan pekikan mamanya di seberang telefon sana,
"EH ... Jangan berani berani kamu gitu ya Reya!" Mama Reya berucap secara menggebu gebu di sana.
"Haha iya iya, Reya cuma bercanda." Reya menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, apa candaannya terlalu mengejutkan mamanya itu? Padahal kan mamanya sudah paham betul sifat Reya, tidak mungkin juga anaknya yang cantik dan unyu ini berani bertingkah macam macam.
"Awas aja kamu aneh aneh, di mintai halal dulu nggak mau malah langsung gas. Jangan sampe darah tinggi mama kambuh gara gara tingkah kamu loh," peringat mama Reya sungguh sungguh. Dia tidak akan pernah terima jika anaknya sampai melakukan hal tersebut di luar sana tanpa ikatan yang sah. Dia tidak akan rela.
"Iya ma, enggak bakal." tutur Reya dengan penuh keyakinan, agar mamanya tidak cemas. Bisa berabe kalau betul hipertensi mamanya kambuh.
"Ya udah mama tutup, mau nyiapin milk tea buat papa kamu," kebiasaan papa Reya sebelum ya seperti itu, meminum milk tea sebagai ganti kopi yang selalu mama Reya larang minum di malam hari.
Reya pun mengiyakan, "Okay ma,"
"Ya udah mama tutup." Pamit Gita akhirnya.
"Iya," Dan Reya berucap sambil mengangguk setuju, walaupun gerakannya tidak di lihat oleh mamanya tersebut.
Tut ...
Sambungan telefon pun akhirnya terputus. Membuat Reya segera menghela nafasnya panjang.
Dia terdiam sejenak sambil melihat ke arah rak buku di depan sana. Di otaknya saat ini terbesit kata yang dia bahas dengan mamanya tadi.
Liburan ya?
Hm ...
Sepertinya memang Reya perlu liburan kan.
Setelah di fikir fikir, terlalu banyak kejadian yang membuatnya stress akhir-akhir ini, jadi dia butuh liburan. The real liburan yang tanpa membawa pekerjaan dan beban lain. Tapi juga tetap tidak semudah itu untuk saat ini, Reya harus memikirkannya lagi. Kalaupun jadi liburan, dia akan melakukannya sebelum pertunangan Naufal _sepupunya_ dengan Ana.
Reya hendak meletakkan ponselnya tersebut di atas ranjang seperti tadi, tapi tiba tiba dia harus mengurungkan niat ketika merasakan ponselnya yang kembali bergetar.
Awalnya Reya kira yang menelefon adalah mamanya, mungkin ada sesuatu yang mamanya itu lupa di sampaikan. Akan tetapi ketika melihat layar ponsel, Reya malah langsung di buat terkejut dengan nomor yang tidak dia save lah yang memanggil. Dan hanya dengan melihat tiga angka deretan terakhir, Reya langsung bisa mengetahui kalau nomor tersebut milik dari pria sepupu teman Reno _adiknya_, siapa lagi kalau bukan pria dari keluarga Rivendra itu. Aish ... Entah kenapa mengingat nama Rivendra tiba-tiba membuat Reya muak sendiri.
Dan kali ini Reya tak akan mengabaikan lagi, dia berniat mengangkatnya sebab ingin tau alasan pria tidak jelas itu masih menghubunginya. Lagi ... Em .., sepertinya Reya perlu mendengar suara pria tidak jelas itu.
Jemari Reya terangkat dan dengan gerakan cepat jempol tangan kanan Reya pun menggeser tombol hijau di sana. Yang mana langsung saja menampakkan hitungan detik di layar mulai berjalan menandakan jika sambungan telefon berhasil terhubung.
Meski Reya mengangkatnya, tapi kali ini dia tidak akan bersuara dahulu, dia ingin mendengar pria di seberang sana lebih dulu.
Mungkin sekitar tiga detik menunggu, Reya tak mendapat sambutan yang keluar di speaker ponsel, hanya ada suara orang yang seperti tengah menyeruput mie.
Aneh ..., pikir Reya.
Makanya dia memutuskan untuk mematikan sambungan telefon saja, jika nanti di detik ke sepuluh masih tidak ada suara dari sana.
Tapi tiba-tiba,
"Eh, lo telfonan sama siapa?"
Suara pria dengan sedikit tidak jelas seolah mulutnya tengah terisi penuh makanan itu pun berhasil mengejutkan Reya.
Dahi Reya berkerut sebab semuanya hening sejenak, sebelum akhirnya suara grasak grusuk seraya larian kaki terdengar di sana.
Hingga detik berikutnya ...
Tut ...
Panggilan tersebut terputus sepihak.
Dahi Reya makin berkerut dalam, dia menjauhkan ponsel yang menempel di telinganya, lalu menatap layar ponselnya tersebut.
Nomor aneh! Orang aneh! Dasar ...,
Rasanya Reya tidak suka jika terus seperti itu, pria yang menyandang nama Rivendra yang kali ini cukup menyebalkan sebab bersikap aneh. Jadi Reya perlu melaporkannya pada Reno _adiknya_ si pelopor utama yang membuatnya seperti ini, sebab kalau tanpa Reno yang memberikan nomor, pria aneh itu tidak akan bisa menghubunginya.
Dan dengan gerakan cepat, jemari Reya pun mulai mencari nomor adiknya itu. Setelah ketemu dia langsung saja menekan tombol panggil.
Tut ... Tut ... Tut ...
Masih memanggil, karena Reno tak kunjung menjawab.
Sampai beberapa saat setelahnya panggilan pun berhasil terhubung.
"Ada apa?" Suara serak sedikit berat dari Reno _yang memang sudah berubah setelah mengalami puber_ itu pun terdengar.
Reya juga tidak berniat basa basi, dia akan mengadu tentang masalahnya tersebut. "Gimana sih, kok sepupu temen lo masih ngehubungi gue." keluhnya dengan nada jengah tak di tutup tutupi.
"Eh masa iya?" sontak saja Reno malah balik bertanya, meragukan ungkapan kakaknya tersebut.
"Iya bege." Faktanya memang seperti itu, Reya pun juga sama sekali tidak tengah berbohong bukan.
"Boong kan lo."
Rupanya Reno masih juga tidak percaya. Yang mana hal itu membuat Reya mengumpat kesal.
"Anjing."
Tak ada balasan dari Reno setelah mendengar Reya mengumpat. Sampai Reya pikir adiknya itu tidak ada di sana, atau meninggalkan ponsel dengan masih menyala.
Tapi ternyata tidak, adiknya itu masih berada di sana, dia hanya terdiam sejenak. "Berarti enggk." Reno akhirnya paham jika sang kakak memnag tidak tengah berbohong. Karen dari umpatannya saja tak terdengar main main belaka. "Kok aneh ya," lanjut Reno.
"Aneh kenapa?" Ya Reya bingung lah, apa yang Reno maksud aneh, padahal Reya belum juga memberi tahu akan sikap yang memang 'aneh' dari sepupu teman Reno.
"Padahal katanya kakak sepupu temen gue nggak suka cewek." ucap Reno di seberang sana.
Sontak saja mata Reya membulat lebar, gimana gimana, "Homo maksud elo?" tanya Reya sulit di percaya.
"Enggak gitu, maksudnya nggak perduli sama cewe. Cuek banget. Makanya pas dia tertarik sama elo itu hal aneh. Mana masih hubungin lagi," Penjelasan Reno akhirnya memuat Reya mengerti.
"Apa jangan jangan dia beneran suka elo?" ungkapan Reno selanjutnya yang lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan tersebut membuat Reya tertegun sejenak.
"Bukan hanya tertarik loh, tapi sudah ke tahap suka,"
Tidak mungkin!
"Enggak, lah." balas Reya masih juga berfikir, tapi kalaupun memang tertarik nan suka, harusnya pria itu terang terangan dalam mendekati, bukannya bertingkah aneh. Huft, perasaan Reya jadi tidak enak, seperti pria itu ingin membalaskan sesuatu saja, padahal Reya kan tidak mengenalnya, mengenal apanya, tau nama saja tidak jadi tidak mungkin Reya membuat kesalahan fatal terhadap orang itu.
"Lo serius nggak mau sama dia?" Bukannya berhenti Reno malah makin gencar menanyai Reya akan ketertarikan dengan pria bermarga Rivendra tersebut.
"Gue tutup," Tidak mau mendengar ocehan Reno lebih lanjut, yang mana malah akan membuatnya overthinking tersebut, Reya pun memutuskan untuk langsung memutus sambungan telefon sepihak.
Tutt ...
Akhirnya panggilan tersebut benar benar berakhirnya.
Tapi meski begitu pemikiran Reya belum juga berakhir, otaknya masih melayang memikirkan apa yang Reno katakan tadi.
Ke tahap suka ya?
Hm ...
Tunggu ...
Ah ... Ah ... Reya memikirkan suatu ide.
Apa sepertinya Reya memang perlu memanfaatkan sesuatu ya. Karena kalau di fikir-fikir, hidupnya saat ini tengah terancam oleh orang dengan nama akhir Rivendra juga _Bos Dhini_. Jadi bukan kah lebih baik jika Reya mendekati Rivendra lainnya? Mungkin saja dia Rivendra ini adalah sepupunya. Menjalin hubungan baik dengan Rivendra lain pasti akan membuat bos Dhini tidak bisa macam macam dengannya.
Hm ... Okay!
Mungkin tidak apa-apa jika harus memanfaatkan yang ada. Dia hanya perlu menjadikan Rivendra _sepupu teman Reno_ sebagai tameng. Dan setelah semuanya selesai, dia akan pergi baik baik dengannya.
Okay ... Fiks!
Reya buru-buru mengambil ponselnya tersebut, lalu membuka room chat yang terdapat pesan singkat yang belum dia balas itu.
Mengabaikan pesan singkat 'malam' yang di kirimkan pria itu sebelumnya. Reya malah mengetikkan kata sapaan lain, yang juga tak kalah singkat sejujurnya.
____
Pesan masuk
+628****:
'Hai,'
____
Gilak ... Baru kali ini Reya bertingkah gatel seperti ini. Jarang, hampir tidak pernah dia menge-chat nomor pria jika bukan karena pekerjaan.
Sungguh cringe abies!
Reya menunggu dengan harap harap cemas, dan dia amat panik melihat pesannya telah berubah warna centangnya, yang menandakan jika pesan singkatnya telah di baca.
Tapi setelahnya, Reya malah tidak mendapat balasan di sana.
Sepuluh menit ...
Dua puluh menit ...
Tiga puluh menit ...
Masih tidak juga mendapat balasan!
Tai, Reya di cuekin. Sepertinya hal ini karena Reya yang salah telah mendiami sebelumnya. Jadi pria itu balas dendam dan balik mengabaikan.
Aish ... Apa sepertinya Reya sudah gagal ya bercita cita memiliki tameng besar. Karena ya harapannya ternyata pupus di sana, Rivendra kali ini juga sama menyebalkannya dengan Rivendra yang telah menciumnya itu!
Hiks ...
Huwaaa ...
Itu berarti hidup Reya tetap akan terancam dong ya ... Hiks!