Siang ini, Bening datang ke rumah Suci. Tujuannya hanya berkunjung. Siapa tahu, dengan kehadirannya Suci akan terhibur.
“Bagaimana keadaan Mbak Suci, Mbak?” tanya Bening. Mereka sedang berada di ruang keluarga. Ya, meskipun masih dilanda kesedihan dan rasa kehilangan, Suci tidak membenci siapa pun. Ia tetap menganggap Bening keluarganya.
“Masih suka ingat Mas Pras. Ya ... seperti yang kamu tahu, empat belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Sulit rasanya mengikhlaskannya. Meskipun saat dia pergi, aku sudah bukan siapa-siapanya lagi.”
“Tapi, Mbak tetap harus ikhlas, Mbak. Kasihan Pak Pras, kalau Mbak begitu.”
Ya, Suci sadar. Sangat sadar. Namun, rasanya begitu sulit. Tidak ada kenangan manis kebersamaan yang begitu membekas memang, tetapi tetap saja, Suci seperti kehilangan separuh nyawanya.
“Ning, kenapa kamu tidak pindah ke sini saja?” tanya Suci.
Bening tersenyum. “Mbak, bukannya aku tidak mau atau apa, aku hanya ingin menjaga hubungan kita agar tetap harmonis.”
“Apa dengan kita hidup di satu atap, kita tidak akan harmonis?”
Lagi-lagi Bening tersenyum. “Mbak ... aku tahu, untuk saat ini mungkin Mbak belum mencintai Mas Satya. Bukan hal yang tidak mungkin, besok Mbak akan sangat mencintainya. Aku hanya ingin kita menjaga privasi masing-masing. Seperti aku yang ingin tetap menjaga keintiman dengan Mas Satya, pasti kelak Mbak juga demikian. Aku tidak ingin, saat kita hidup satu rumah, cemburu buta menguasai hati kita, Mbak.”
“Cemburu? Bukankah kamu merelakan suami kamu menikahiku?”
“Ya. Tapi aku hanya wanita biasa, Mbak.”
“Apa lebih baik aku mundur saja, daripada nantinya kita saling menyakiti?”
“Jangan, Mbak ... aku benar-benar sudah merelakan Mas Satya menikahi Mbak. Tapi, aku tetap menginginkan adanya privasi. Baik privasiku dan Mas Satya, juga privasi Mbak dan dia.”
Suci memikirkan kata-kata Bening. Ada benarnya.
“Kalau begitu, kamu tinggal saja di paviliun.”
“Paviliun?”
“Ya. Di samping rumah ini ada paviliun. Kamu bisa tinggal di sana. Tidak harus memikirkan bayar kontrak, Satya juga dekat jaraknya jadinya. Kamu mau, kan?”
“Apa tidak akan merepotkan?”
“Ya, enggak, dong ... aku akan meminta tolong Paman untuk mencari orang untuk merapikan dan membersihkan paviliun.”
“Baik, Mbak. Aku minta pendapat Mas Satya dulu.”
“Nah, gitu. Aku tunggu kepastiannya. Aku yakin, dia pasti setuju.”
“Iya, Mbak.”
***
Malam ini jatah Satya tidur di kontrakan bersama Bening. Seperti malam-malam sebelumnya, Bening sudah menunggu sang suami pulang. Ia sudah menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Dia juga sudah berdandan dan menggunakan baju terbaiknya. Setiap detik kebersamaannya, ia tidak ingin mengecewakan suaminya. Ada rumah lain yang kini juga menjadi tempat Satya pulang. Wanita itu tidak ingin Satya lebih nyaman di rumah yang lain. Tidak ingin terlihat unggul, tetapi Bening juga tidak ingin terlihat lebih buruk.
Satya mengetuk pintu. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Tidak ada sosok yang terlihat, karena sang istri bersembunyi di balik pintu. Saat Satya masuk, barulah ia melihat sosok sang istri yang menggunakan gaun tidur tipis, tanpa hijab di kepalanya. Pria itu tahu sekarang, mengapa tadi Bening bersembunyi di belakang pintu. Ia tidak ingin ada pria lain yang melihatnya dengan aurat terbuka.
Pintu ditutup oleh pria yang kini menggunakan kaus polo dan celana training. Pulang dari kantor, Satya memang lebih dulu pulang ke rumah Suci. Ia pamit dulu kepada anak-anak sambungnya. Ikbal sempat marah, namun Suci berhasil membujuk.
Senyum lebar mengembang di bibir Satya. “Kamu berniat menggodaku?”
Dengan jujur, Bening mengangguk. “Ada makmum lain di belakang Mas sekarang. Jadi, aku tidak ingin tampil buruk di depan Mas.”
Satya mencubit hidung Bening. “Apa kamu merasa aku berubah?”
“Ya....”
Kening Satya berkerut. “Benarkah? Apa aku sudah menyakitimu?” tanya Satya, sarat dengan kekhawatiran.
Bening menggeleng. “Suamiku sekarang berubah. Tapi bukan berubah menjadi buruk. Perubahan suamiku ini, jadi lebih baik. Mas, kita sama-sama merasakan, hidup tanpa orang tua itu nggak enak. Jujur, aku sangat senang ketika Anis dan Ikbal mau menerima kamu sebagai pengganti ayahnya. Tiba-tiba menjadi yatim, pasti berat untuk mereka.”
“Benar tidak ada perubahan buruk yang aku lakukan?”
“Benar. Perubahannya, kita jadi lebih romantis. Mas tahu, aku bela-belain beli baju ini, agar Mas merasakan, sekalipun tidak lagi bisa bersama setiap malam, rasa cintaku buat Mas tetap sama. Bahkan semakin besar.”
“Uh ... meleleh aku denger istriku bilang begitu.” Satya mencium hidung Bening. “Ngomong-ngomong, kamu beli di mana? Sama siapa?”
Sebelumnya, Bening memang tidak pernah pergi sendiri. Apalagi tanpa izin kepada suami tercintanya.
“Tadi siang aku ke rumah Mbak Suci, terus pulangnya aku mampir beli baju ini.”
“Kalian ngomongin apa? Nggak terjadi keributan, kan?”
“Mas ... kami bukan seperti yang ada di sinetron-sinetron itu, Mas. Mentang-mentang istri pertama dan kedua, bukan berarti kami nggak akur.”
“Iya, Sayang ... aku hanya bercanda.”
Lagi. Bibir Satya tidak mau diam. Kali ini bibir yang tidak pernah sekalipun menyentuh nikotin itu mendarat di pipi Bening.
“Mbak Suci mengajakku pindah ke sana. Tapi aku menolak.”
“Kenapa?”
“Aku ikhlas dimadu. Tapi, bukan berarti aku terbebas dari rasa cemburu.”
“Kamu cemburu saat aku bersamanya?”
“Sedikit....”
“Apa kamu sakit hati?”
Bening menggeleng. “Cemburuku karena aku memang sangat mencintaimu. Bukan semata-mata cemburu buta. Jadi aku cukup sadar untuk tidak merasa sakit hati.”
“Lalu, kalian ngobrol apa lagi?”
“Karena aku menolak, Mbak Suci menawariku tinggal di paviliun di samping rumah. Tapi aku bilang, aku tanya kamu dulu. Bagaimana?”
“Aku terserah kamu. Kalau kamu mau, dan kiranya betah, aku oke-oke saja. Yang jelas, di mana pun kamu berada, aku pasti menemuimu sesuai jadwal.”
“Oke, aku akan bilang ke Mbak Suci besok. Apa Mas sudah makan malam?”
“Jujur sudah. Tadi menemani anak-anak. Tapi, aku tidak akan menolak kalau kamu mengajakku makan malam lagi.”
Bening tahu, sekalipun ada wanita dan orang lain, Satya akan selalu memberikan yang terbaik untuknya.
Sebelum menyiapkan makan malam, Bening mencium bibir sang saumi dengan agresifnya. Hampir saja mereka lupa makan malam jika perut Bening tidak berbunyi meminta untuk diisi.
“Isi tenaga dulu, setelah itu, aku tidak akan memberikanmu waktu untuk istirahat nanti,” ucap Satya menggoda istrinya.
Tbc.