Suara rendah yang dikeluarkan oleh Abraham di dekat telingaku membuat bulu kudukku merinding. Suaranya yang sangat enak di dengar mampu menghipnotisku sejenak. Ia melambaikan tangannya di hadapanku, menyadarkanku. Dengan segera aku melepaskan tanganku yang memegang erat lengan Abraham Xander. Aku mendongakan kepala menatapnya dengan wajah bersalah, “So sorry, Mr.Xander. Aku hanya….” Belum selesai aku berbicara, Abraham Xander telah menggenggam tanganku dan menuntunku berjalan ke depan. Tak ada senyuman manis di bibirnya, hanya ada senyum yang terlihat samar di tutupi oleh sikap dinginnya. Ia menuntunku berjalan hingga ke parkiran yang ada di halaman perusahaan. Kami melewati orang-orang yang masih berseliweran di lobby perusahaan yang hendak pulang bekerja. Dan tanpa kami sadar