Apa Kau Butuh Bahu Untuk Bersandar?

1115 Kata
     Aku memberanikan diri dan menguatkan hatiku untuk turun dari mobil mendekati pria  yang menghisap rokoknya itu dari samping. Berpikir, ada apa dengan pria ini? Kadang ia bersikap baik, kadang ia bersikap arrogant. Sangat sulit bagiku untuk mengerti sifat pria yang tak masuk akal ini.       Tiba-tia ia berbicara memecahkan keheningan. “Nona…jika kau ingin melampiaskan kesedihanmu, berteriaklah sekencang-kencangnya ke lautan luas.”       Aku tertegun mendengar ucapannya, kenapa pria ini tahu kalau aku sedang bersedih? Aku yang masih tertegun melihat pria itu, seketika merasa ada yang menarik pergelangan tanganku. Pria yang ada di sampingku tadi menarikku hingga ke bibir pantai. Sepatu yang aku kenakan menjadi basah karena terkena ombak air laut.        “Nona…teriaklah!” Pria itu tersenyum ringan padaku.       Tanpa berpikir lama, aku pun berteriak sekuat tenaga. Berteriak seperti ingin melampiaskan semua kesedihanku. Tangis dan tawa bercampur aduk. Aku menagis karena aku merasa sedih dan merindukan Carlson, pria yang seumur hidup aku cintai. Aku tertawa karena ada sedikit rasa lega di dadaku yang sudah lama tertahankan.     Setelah lama berteriak dan sedikit merasa lega, aku dan pria itu berjalan menjauhi bibir pantai. Aku berjalan dengan kaki telanjang dan sepasang sepatu basah di tanganku. Malam semakin larut dan angin lautpun terasa dingin. Kami masih saja berada di pinggir pantai dalam diam. Kami kembali duduk di kap mesin mobil menatap laut yang ada di depan mata.       “Apa kau butuh bahu untuk bersandar?” Pria itu menatapku dengan tatapan datar yang sulit dimengerti.       Aku hanya diam menatapnya dengan pikiran kosong. Tiba-tiba tangannya menuntun kepalaku untuk bersandar di pundaknya. Ia berbicara dengan lembut, “Bersandarlah!”       Saat ini hatiku merasakan sebuah kehangatan yang sudah lama hilang dalam hidupku. Kehangatan yang sangat aku rindukan sebagai gadis yang hidup sebatang kara. Seperti kehangatan yang pernah Carlson berikan untukku beberapa tahun lalu. Aku terbuai dalam kehangatan yang diberikan pria ini padaku. Membuatku kembali teringat akan kenanganku dulu bersama Carlson.   Flashback On…                 Dulu setelah kedua orang tuaku meninggal dan kakakku Adam menghilang, aku di asuh oleh kakekku. Kakekku sangat menyayangiku bahkan memanjakanku. Beliau selalu memberikan yang terbaik untukku. Tapi kakek sangat sibuk, hingga waktu beliau sangat kurang untukku. Aku setiap hari selalu dijaga oleh seorang bodyguard dan seorang pengasuh. Mereka juga menjaga dan melayani ku sepenuh hati.       Selain kakek dan orang - orang di rumah, aku pun tumbuh dewasa bersama Carlson. Ia yang selalu menemani hari - hariku hingga aku dewasa. Ia tidak pernah meninggalkanku walaupun sehari. Meskipun kami tidak bertemu dalam sehari, tapi ia masih menghubungiku menanyakan kabarku. Dia sangat peduli dan memperhatikanku.       Hingga suatu hari, aku di tinggalkan oleh satu –  satunya anggota keluargaku, yaitu kakekku. Kakekku meninggal karena penyakit jantung yang di deritanya. Ia sudah bertahun – tahun mengidap penyakit tersebut. Tapi saat beliau berumur 70 tahun dan aku masih berumur 17 tahun, beliau pergi meninggalkanku menyusul kedua orang tuaku.       Saat itu Carlson sedang mengadakan rapat dengan kliennya di luar negeri. Mendengar berita kematian kakek, ia secara langsung membatalkan rapat yang mengakibatkan perusahaanya mengalami kerugian hingga puluhan milyar dan berangkat pulang menemuiku. Ia selalu hadir saat aku mengalami kesulitan. Ia pu menemaniku saat pemakaman kakek.       “Sudah…jangan menangis lagi. Kamu masih punya aku.” Carlson memelukku yang sedang menangis karena kehilangan kakek.       “Tapi…” aku yang hendak berbicara terhenti karena sentuhannya di bibirku.       Ia memegang pipiku dan menyentuh bibirku yang hendak berbicara dengan telunjuknya. “Sssssstt…Percayalah, aku akan menjagamu sampai akhir hayatku. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian.”   Flashback Off…         “Hari sudah hampir pagi, ayo kita pulang!” Pria itu menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangkat kepalaku yang bersandar di bahunya, dan kemudian mengangguk. Pria ini…benar-benar sulit di mengerti.       Pria itu mengantarkanku hingga depan pintu perusahaanku. Aku turun dari mobil dan menunggu mobilnya pergi terlebih dahulu sebelum memasuki kantor. Namun setelah aku turun, pria itu tetap saja di sana dan tidak menjalankan mobilnya. Aku pun bertanya dengan penasaran, “Ada apa Tuan?”       Ia tersenyum lembut padaku, “Pergilah ambil barang – barangmu segera. Aku akan menunggumu di sini.”       “Tidak usah, Tuan pulang saja.” Aku berusaha menolaknya.       “Tidak apa – apa. Aku akan menunggumu di sini. Tidak baik wanita pulang sendirian, apalagi dini hari seperti ini.”       “Baiklah, tunggu sebentar.” Aku pun bergegas memasuki kantor untuk mengambil barang - barangku.       Beberapa menit kemudian aku kembali sampai di depan pintu perusahaan. Pria itu masih saja menungguku sambil merokok di dalam mobilnya. Saat ia melihatku sudah ada di hadapannya, ia mencegatku untuk memasuki mobil.       “Tunggu sebentar. Asap rokoknya masih ada di mobil.” Pria itu berbicara sambil membuka jendela mobil lebar – lebar dan mengibas – ngibaskan tangannya. “Asap rokok sangat tidak baik untuk kesehatan”.       Aku yang mendengar ucapannya berpikir sejenak, kalau tahu asap rokok tidak baik untuk kesehatan kenapa dia masih saja merokok?. Tidak lama kemudian ia membukakan pintu mobil dari dalam. Aku memasuki mobil tersebut dengan tas kecil di tanganku dan memberi tahu alamat apartemenku. Selama di perjalan kami tidak saling bicara. Hanya ada keheningan dan kami dengan pikiran kami masing – masing.       Dua puluh menit kemudian mobil Ferrari p4/5 itu berhenti di depan apartemenku. Aku turun dari mobil pria itu dan mengucapkan terimakasih. “Terimakasih untuk hari ini, Tuan.” Aku tersenyum menatapnya.       Ia tidak menjawab tapi memberikanku senyuman ringan. Aku membalikkan tubuhku hendak memasuki lobby apartemenku. Tiba – tiba pria itu memanggilku, “Nona…”       “Ya?”       “Jangan lupa kopermu.” Pria itu mengingatkanku bahwa koperku masih ada di bagasi mobilnya.       Aku menepuk dahiku sambil tertawa tipis, “Oh iya, maaf tuan.”       Lagi – lagi pria itu hanya menjawab dengan senyuman. Aku bergerak mengambil koperku yang masih tertinggal di bagasi mobilnya. Saat aku sudah menurunkan koperku, aku mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi. Tapi pria itu masih saja belum pergi. Aku mebalikkan tubuhku kembali dengan penasaran bertanya, “Oh ya Tuan, siapa namamu?”       “Namaku Abraham Xander. Panggil saja Abraham.” Pria itu tersenyum lagi padaku.       Aku menganggukkan kepalaku mendengar jawabannya dan kemudian memperkenalkan diri. “Perkenalkan namaku Freya…Freya Adrein Saralee.”       “Ya…aku tahu.” Pria itu mengangguk dan melanjutkan ucapannya. “Masuklah…istirahatlah sebentar sebelum berangkat ke kantor.”     “Baik. Sekali lagi terimakasih. Sampai jumpa.” Aku pun beranjak pergi memasuki apartemenku.       Saat sampai di apartemenku, aku pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih dan meminum vitamin. Alicia dan Rachel sudah istirahat dan tertidur lelap di kamarnya masing – masing.  Sebelum memasuki kamar, aku melihat ke sekitar ruangan. Tiba – tiba aku seperti melihat seorang pria sedang duduk di sofa depan TV. Pria itu seperti Carlson. Aku menyapa pria yang sedang duduk di sofa itu dan segera menghampirinya. “Carlson…”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN