Keputusan Besar

1051 Kata
Bella tiba di klinik. Klinik bernama Bunda itu merupakan sebuah bangunan modern dengan lingkungannya yang tenang dan asri. Siapapun tak akan menyangka jika di tempat tersebut memiliki program kontrak rahim atau ibu pengganti. Bella pun langsung menuju meja resepsionis untuk menyampaikan tujuannya. "Baik, Mba. Silakan tunggu dulu. Nanti kami panggil." Petugas yang adalah seorang perempuan muda itu meminta Bella untuk menunggu. "Terima kasih." Bella duduk di sebuah sofa empuk yang ada di ruang tunggu. Menunggu dengan perasaan campur aduk, takut, ragu, tapi begitu berharap. Sambil menunggu, Bella memperhatikan ruangan di mana ia tengah duduk saat ini. Tempat itu sepi, tapi tidak membuatnya takut. Tak ada orang lain atau pasien yang datang selain dirinya. Tak berapa lama petugas resepsionis tadi memanggil Bella dan mempersilakannya masuk. Bella bangkit berdiri, lalu mengikuti langkah si petugas. Ia diantar ke sebuah ruangan dengan nama bagian konseling pada papan yang ada di pintu. "Selamat pagi! Maaf harus menunggu." Seorang wanita cantik berpakaian dokter menyapa dengan hangat dan ramah. "Silakan duduk!" "Selamat pagi juga, Dok. Terima kasih." Petugas resepsionis tadi meninggalkan Bella berdua dengan dokter yang di name tag baju-nya ada nama Siska Aurelia." "Jadi, Mba ... Bellanisa Kailani," ucap Dokter Siska menyebut nama Bella sembari melihat layar laptop. "Iya, betul." Dokter itu tersenyum. Lalu, kembali membaca profil Bella yang sudah masuk ke sistem datanya. "Bellanisa Kailani, nama panggilan Bella. Usia dua puluh lima tahun. Single dan masih perawan. Bekerja sebagai seorang desain grafis di salah satu perusahaan periklanan sebagai staf freelance." "Ya, itu data diri saya." "Baik. Untuk data awal ini sudah cukup. Kita bisa lanjutkan dengan proses berikutnya kenapa akhirnya Mba Bella dipanggil hari ini." Bella mendengarkan dengan seksama. Ia tak mau ada satu kata pun yang terlewat yang keluar dari mulut perempuan di depannya. "Sekarang saya akan menjelaskan prosedur program ini. Apa saja resiko dan manfaat dari program yang mau Mbak Bella ambil." "Saya akan dengarkan, Dok." "Pertama saya akan jelaskan prosedur yang akan Mba Bella jalani. Yaitu konsultasi, pemeriksaan kesehatan, lalu penandatanganan kontrak." Bella mengangguk mengerti. "Baik, proses selanjutnya adalah melakukan inseminasi buatan, pemeriksaan kehamilan termasuk USG di dalamnya." "Saya mengerti." Bella merasa bersyukur karena tidak harus melakukan hubungan badan dengan kliennya nanti. "Untuk proses akhir, Mba Bella akan melahirkan di tempat yang klien tunjuk. Setelah itu proses penyerahan bayi sekalian melakukan pemeriksaan paska persalinan." Untuk penjelasan barusan Bella merasa sedikit tak rela. Ada perasaan yang menyakitkan saat mendengar bahwa nantinya ia akan menyerahkan bayi yang ia lahirkan kepada lelaki yang membayarnya. "Mba Bella juga mengerti untuk proses ini?" tanya dokter yang menyadari perubahan raut wajah Bella. "Ehm, saya mengerti, Dok. Silakan lanjutkan!" Dokter mengangguk. Ia lalu menjelaskan prosedur berikutnya, yaitu resiko apa saja yang akan Bella hadapi dari program tersebut. "Ada resiko kesehatan, emosi dan psikologis, kehilangan privasi, konflik moral, resiko hukum, atau yang lainnya." Dokter menyebutkan secara mendetail. Tiba-tiba Bella merasa jika keputusannya untuk mengambil penawaran tersebut adalah sebuah keputusan yang salah. 'Banyak sekali resiko yang harus aku hadapi,' batinnya berkata. "Tapi, melihat resiko yang mungkin saja timbul, ada juga manfaat yang setimpal dari program ini." "Bayaran 'kan, Dok?" tanya Bella merasa ironi. "Ya, tentu saja," sahut dokter tersenyum. "Ada kompensasi finansial yang Mbak Bella dapatkan. Uang satu milyar akan klien berikan jika Mbak berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan. Selain itu pengalaman kehamilan serta terciptanya hubungan simbiosis mutualisme di antara kalian." "Satu milyar? Bukankah di iklan hanya tertulis lima ratus juta?" Bella fokus pada jumlah uang yang disebutkan. "Iya betul. Itu standar yang kami buat pada klien yang mau bergabung dengan kami. Tapi, ada beberapa kasus di mana klien yang menentukan jumlah kompensasinya. Seperti kasus Mbak ini, klien kita sendiri yang menggandakan jumlahnya." Entah kenapa resiko yang sebelumnya membuat Bella ragu, seketika saja menguap tatkala ia mendengar jumlah uang yang akan didapatnya. 'Aku bisa membeli rumah dan menghidupi Ibu dengan sisa uang yang ada.' Bayangan akan banyaknya uang yang nanti ia miliki, telah menari-nari di pelupuk mata Bella. Tanpa ragu, ia langsung menyetujui tawaran tersebut. "Baiklah. Kalau begitu, biar saya hubungi klien kita, kapan ia bersedia datang untuk bertemu denganmu," kata dokter seraya mengangkat telepon. "Oh ya, hampir saja lupa. Selama menjalani program ini, klien menyiapkan satu tempat di mana nantinya Mba Bella akan hidup dan tinggal bersama." "Hah! Gimana, Dok? Tinggal bersama?" "Iya. Klien melakukan ini agar bisa memantau dan memberi perhatian ekstra pada calon anaknya nanti." Bella mengerti. Lelaki itu sepertinya mau mendapatkan calon unggul yang bisa diandalkan. Bella lalu melihat Dokter Siska menekan tombol telepon, lalu menghubungi seseorang yang diduga adalah klien-nya nanti. "Siang, Pak Nugraha. Iya saya dengan Dokter Siska." 'Iya, ada apa?' "Begini, saya mau menyampaikan perihal permintaan kontrak rahim yang Anda minta lusa kemarin. Satu mitra sudah datang dan setuju. Kiranya kapan Anda bisa datang dan bertemu dengannya?" 'Apakah saya yang menjadwalkan?' "Bebas saja. Terserah mau Anda, Pak." 'Baiklah. Apakah bisa siang ini? Kebetulan saya ada meeting di luar. Sebelum meeting, saya akan menyempatkan datang ke klinik.' "Oh, iya, baik. Saya akan memintanya menunggu kalau begitu." 'Ok.' "Baik. Terima kasih untuk waktunya. Maaf sudah mengganggu Anda." Dokter Siska menyudahi panggilannya dengan calon klien Bella. Perempuan berusia kira-kira empat puluh tahun itu kemudian meminta Bella untuk menunggu lelaki itu. "Mungkin sekitar dua atau tiga jam lagi dia datang. Terserah Mba Bella, mau menunggunya di sini atau mau pulang dulu." Bella memilih untuk menunggu di klinik saja. Kalau ia balik ke rumah sakit, hanya akan membuang banyak waktu di jalan. Belum lagi ongkos yang harus ia keluarkan untuk naik transportasi umum. Sedangkan menghemat adalah tujuannya sekarang. Lagipula sembari menunggu ia bisa mengerjakan tugas proyek yang sudah harus diserahkan lusa nanti. "Saya tunggu di sini saja, Dok. Boleh 'kan?" "Tentu saja. Itu jauh lebih baik." Bella kemudian menunggu di ruang tunggu. Duduk di sofa empuk yang sempat ia duduki saat kedatangannya. Ia menggeser sedikit ke sudut ruangan supaya bisa memandangi halaman luar klinik. Tak berselang lama ia sudah fokus mengerjakan tugas desain yang belum selesaikan. Di tengah asiknya mengerjakan tugas, Bella dikejutkan dengan kedatangan seorang perempuan yang tak asing di matanya. 'Feby?' gumam Bella saat melihat perempuan yang membencinya itu masuk dan menemui Dokter Siska. Sontak Bella menyembunyikan tubuhnya lebih ke pojok. Beruntung ada pot dengan tanaman yang cukup tinggi, yang mampu menghalanginya dari pandangan orang-orang yang datang. "Apa yang Feby lakukan di tempat ini? Apakah ia juga mau menjalani program yang aku lakukan?" tanya Bella dalam hati. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN