Di ruang tamu megah keluarga Mahardika, cahaya sore jatuh menembus tirai renda Prancis, menimbulkan pantulan lembut di marmer putih yang mengilap. Aroma teh melati memenuhi udara — tenang, beradab, tapi dingin. Sean berdiri di tengah ruangan dengan wajah yang sulit dibaca, mengenakan jas biru gelap yang sedikit kusut seolah ia baru saja keluar dari hari panjang yang tidak mudah. Di tangannya ada amplop cokelat tebal yang tampak sudah lecek di beberapa sudut, namun segelnya masih utuh. Ibunya, Madame Mahardika, duduk di kursi berlapis beludru merah marun — elegan dan berwibawa, seperti biasanya. Rambut peraknya disanggul rapi, dan jemarinya yang dihiasi cincin berlian mengetuk ringan gagang cangkir porselen. Tatapannya menelusuri anak semata wayangnya dari kepala hingga kaki, seolah sedan

