Rumah keluarga Mahardika di kawasan Menteng selalu tampak seperti istana—halaman luas dengan taman yang rapi, jendela-jendela besar berbingkai putih, dan suara gemericik air dari kolam di tengah taman. Dari luar, semuanya terlihat sempurna, seolah keluarga ini tidak pernah mengenal retak. Namun bagi Sean, setiap kali ia melangkahkan kaki ke dalam rumah itu, perasaannya seperti menembus ruang yang terlalu rapi, terlalu sunyi, terlalu dingin. Hari itu, ia datang setelah menerima panggilan mendesak dari ibunya. “Datanglah ke rumah,” begitu pesan singkatnya. “Kita perlu bicara tentang Eclat.” Begitu mobilnya berhenti di halaman depan, ia disambut oleh suara tumit sepatu ibunya yang berdetak pelan menuruni tangga marmer. Ibu Sean — Madame Amara Mahardika — masih tampak anggun seperti biasan

