Bab. 12

1355 Kata
Jingga tercenung di tempat, perkataan Atha terus terngiang di benaknya. "Ada apa, Ngga?" Jingga menurunkan benda tipis itu dari telinganya setelah membalas salam yang diucapkan suaminya. "Enggak ada apa-apa, Bu. Mas Atha cuma pamit katanya pulang telat karena masih ada sesuatu yang harus diurus." "Memang mau lembur sampai jam berapa lagi, sekarang saja sudah hampir jam tujuh." Nania mendengus sebal teringat akan janji putranya pada Jingga tadi pagi. "Jingga antar Ibu ke kamar ya, sebaiknya Ibu istirahat." Jingga tak mau menambah beban pikiran Ibu mertuanya. Suaminya bahkan tak berpamitan dengan jelas padanya tadi dan mengatakan hendak ke mana tujuan pria itu. Atha hanya berkata harus pergi karena ada urusan yang harus dia selesaikan. "Nggak usah, Ibu mau di sini saja ditemani bibi, lagian Ibu belum ngantuk. Kamu kalau mau istirahat pergi saja. Ibu nggak apa-apa kok," Kata Nania. "Ya sudah kalau begitu." Jingga berjalan lesu menaiki anak tangga menuju kamarnya. Perkataan Atha kembali melintas di benaknya, terus berputar layaknya kaset rusak. Aku ada perlu yang harus diurus, kamu istirahat saja dulu nggak usah nungguin aku. Sebaris kalimat singkat akan tetapi membuat Jingga diliputi penasaran, pasalnya Atha tak memberitahukan dengan lebih jelas lagi tentang urusan pria itu. "Astaghfirullah, nggak boleh punya pikiran jelek sama suami sendiri. Berpikir positif Jingga," Monolognya. Tak mau membuang waktu percuma, Jingga pun membersihkan diri di kamar mandi untuk mempersiapkan diri dengan baik. Selembar lingerie warna merah hati dia pakai dengan dilapisi baju tidur kimono sepanjang lutut. Atha telah mengkodenya untuk bersiap malam ini, dan terlepas dari jam kepulangan Atha yang mundur, Jingga takut suaminya itu akan tetap meminta haknya begitu pria itu pulang nanti. Selesai menyapukan riasan tipis di wajahnya, tak lupa Jingga memulas perona pipi dan bibir. Jingga menyemprotkan parfum di beberapa titik di tubuhnya sebagai sentuhan terakhir. Jingga ingin malam ini menjadi malam yang tak akan bisa dilupakan baik oleh dirinya dan juga Atha. Sambil menunggu kepulangan suaminya, Jingga duduk di kasur sembari membaca novel romantis, salah satu hobi yang dia lakukan di waktu senggang. "Sudah jam sembilan, Mas Atha belum juga pulang," Gumam Jingga, menaruh kembali novelnya. Kegelisahan menyusup di relung hatinya secara tiba-tiba. *** Atha mengayunkan langkahnya menyusuri setiap koridor rumah sakit yang mulai sepi. Sebuah buket bunga mawar merah digenggamnya erat di tangan kanan sementara tangan kirinya membawa kotak kue yang sempat dibelinya dalam perjalanan tadi. Dengan jantung berdebar-debar lelaki itu menyentuh gagang pintu setelah memastikan bangsal rawat yang ditujunya sudah benar. "Permisi, selamat malam." Lelaki itu menyapa. Seorang wanita paruh baya yang semula merebah di sofa pun bangkit menyambut Atha. "Oh, silakan masuk. Silakan duduk, Pak." Atha melirik wanita yang terkulai lemah di bed rumah sakit. Wajah Mayang terlihat sangat pucat, selang infus tertanam di pergelangan tangannya. "Terima kasih, Bu." "Maaf kalau boleh tahu Bapak siapa?" Wanita itu menyodorkan sebotol air mineral untuk Atha. "Saya Atha, Bu. Atasannya Mayang di kantor." Wanita bernama Mirna itu terlonjak kaget begitu menyadari siapa lelaki yang menjenguk keponakannya itu. "Tunggu sebentar, biar saya bangunkan dulu Mayangnya ya, Pak." "Hm, tidak usah Bu. Sepertinya dia sangat butuh istirahat." Atha menyerahkan buket bunga dan kue yang dibawanya pada Mirna. "Seharusnya nggak usah repot-repot, Pak." "Enggak juga Bu, kebetulan tadi sekalian mampir." "Silakan diminum, Pak. Atau mau saya buatkan kopi?" "Nggak usah repot-repot, Bu. Ini saja sudah cukup." Atha meneguk isi botol itu demi menghormati Mirna. Hening menyapa sejenak. Mayang tertidur dengan lelapnya. "Saya tantenya Mayang, dan Mayang sering bercerita tentang Bapak pada saya." Atha mengangguk, bingung tak tahu harus menjawab apa. "Mayang ini keponakan saya satu-satunya. Ibunya meninggal bunuh diri karena depresi ditinggal suaminya selingkuh. Mayang tinggal sama saya sejak dia masih kecil, ayahnya menikah lagi dan nggak pernah kasih kabar bahkan sampai dia sebesar ini sekarang." Mirna melanjutkan ceritanya. "Dia sudah saya anggap seperti anak kandung saya sendiri, dan jujur saya sedih melihat kondisinya seperti ini. Bapak pasti tahu betul apa yang menyebabkan Mayang sampai sakit begini? Asal Bapak tahu saja, dia juga sempat mencoba untuk mengakhiri nyawanya dua hari yang lalu." "Apa!" Atha terkejut. "Ya Pak. Karena rasa cintanya yang begitu besar pada Bapak, dia patah hati ditinggal Bapak menikah. Awalnya Mayang berusaha untuk mengikhlaskan Bapak, tapi makin hari dia sudah nggak bisa menahannya lagi. Dia frustasi sampai puncaknya dua hari lalu dia mencoba bunuh diri. Untung saja saya melihatnya Pak, saya nggak tahu apa yang akan terjadi seandainya saja saya telat menolongnya." Mirna bercerita dengan derai air mata. Tubuhnya bergetar menahan tangis. "Lalu bagaimana kondisinya sekarang, Bu?" "Dokter bilang Mayang terguncang, dan dia harus selalu dalam pengawasan agar tak kembali berupaya melakukan percobaan bunuh diri. Sedangkan saya juga dalam posisi terjepit, orang tua saya sakit-sakitan dan nggak ada yang mengurusnya di kampung. Rencananya saya akan membawa pulang Mayang ke kampung begitu nanti keadaannya sudah jauh lebih baik." "Jadi selama ini Mayang tinggal sendiri di sini?" Mirna mengangguk. "Dia sudah mandiri sejak lulus SMA dan memutuskan untuk merantau. Dia bahkan membiayai kuliahnya sendiri dan bahkan mengirim uang untuk kebutuhan saya sekeluarga di kampung." Atha tak pernah menyangka di balik sifat ceria dan periang Mayang ternyata gadis itu menyimpan luka masa lalu yang cukup dalam. Pantas saja Atha merasa Mayang seperti haus perhatian pada setiap orang yang dekat dengannya. Tak hanya dengan Atha saja Mayang berani bermanja, tapi juga dengan rekan kantor dan temannya. Mayang juga cukup royal dan tak pernah perhitungan pada teman, dan ternyata itu dia lakukan karena selama ini Mayang begitu kesepian. "Maaf jika saya sudah berbicara lancang pada Bapak dan mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya Bapak dengar. Saya hanya bingung harus berbuat apa, dan saya rasa saya perlu mengatakan ini pada Bapak." Atha menatap lekat manik mata wanita itu, hatinya trenyuh melihat kepedihan amat mendalam yang terpancar dari sorot mata Mirna. Satu fakta baru terkuak. Ada bagian dari hati Atha yang seolah dicubit saat pria itu tahu tentang kehidupan Mayang. Rahasia yang selama ini ditutupi Mayang dengan rapat dengan sikap dan gayanya. "Tidak masalah, Bu. Terima kasih sudah menjaga Mayang dengan baik selama ini." Detik jarum jam terus bergulir, malam makin merangkak naik. Atha melajukan kereta besinya pulang ke rumah. Jalanan sudah agak lengang dan pria itu kaget saat melihat jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan kalau malam telah larut. Atha yang memang selalu membawa kunci cadangan pun tak mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam rumah. Begitu tiba di kamar, pria itu lagi-lagi dikejutkan saat melihat penampilan Jingga malam ini. Belum pernah Jingga memakai baju tipis yang panjangnya hanya sebatas lutut. Tatapan pria itu berpindah ke wajah cantik yang tengah tergolek lelap itu, sudut bibir Atha menukik membentuk senyum yang menawan. 'Dia memang wanita yang baik, dia bahkan masih sempat mempersiapkan diri meski aku memintanya untuk tidur lebih dulu. Dia pasti menungguku.' Atha pun gegas ke kamar mandi dan mempercepat ritual mandinya. Ia lalu naik ke kasur, memeluk Jingga dengan pelan, menghidu aroma tubuh wanita itu. Atha mengusap pipi istrinya dengan penuh kelembutan dan kehati-hatian. Perlahan dia memangkas jarak hingga wajahnya sangat dekat dengan Jingga. Atha memejamkan mata bersiap melabuhkan bibirnya akan tetapi tiba-tiba dia teringat pada Mayang. Pria itu menghembuskan napas panjang, kembali ke posisinya dan berkali-kali menggumam dalam hati. Semua percakapannya dengan Mirna tadi kembali singgah di kepalanya. Peperangan terus terjadi dalam benak dan hati lelaki itu hingga akhirnya Atha pun tertidur. Jingga membuka matanya pelan saat mendengar suaminya tengah mengaji. Ia pun melirik jam dan menghela napas lega begitu menyadari waktu belum terlalu siang. Jingga menyingkirkan selimutnya dan bangkit untuk bersiap melaksanakan shalat malam selagi masih ada waktu. "Kamu sudah bangun?" Atha menghentikan bacaannya. Jingga mengangguk. "Jam berapa kamu pulang Mas?" "Setengah dua belas, maaf ya." "Nggak apa-apa." Jingga berlalu ke kamar mandi. "Apa aku sedang ditolak? Lelaki normal tak mungkin melewatkan masa yang paling dia nantikan seumur hidupnya, tapi kenapa dengan Mas Atha? Aku tidak sedang bernafsu untuk melakukan itu, demi Tuhan. Tapi kenapa semakin hari sikapnya padaku justru membuatku yakin kalau dia sudah menolakku," Lirihnya menyadari tak terjadi apa-apa semalam. Jingga mengusap riasan di wajahnya, menyeka titik air yang menerobos paksa meski dia sudah menahannya untuk tak menangis. Wanita itu mempercepat kegiatan membersihkan diri, mengganti pakaian haram itu dengan baju yang biasa dia pakai. Selesai bersuci, Jingga menggelar sajadah. Tak terasa titik-titik bening itu kian menderas dan membasahi kain tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN