“Lelang?” Alexandra bergumam dan teringat akan acara lelang yang mereka lakukan setiap tiga bulan sekali.
“Kau akan ikut, ‘kan?” tanya Valery yang dibalas gelengan oleh Alexandra. “Kenapa?”
“Itu adalah acara penting. Aku tidak ingin merusaknya.” Alexandra dengan halus menolak.
“Omong kosong apa itu? Kenapa kau akan merusak acaramu sendiri?” omel Gwen tidak setuju.
Valery mengangguk setuju. “Lagi pula, Ayah dan Ibu tidak akan bisa menghadiri lelang nanti. Mereka akan pergi berbulan madu ke Roma.”
“Lagi? Seingatku bulan lalu mereka sudah berbulan madu ke Bali. Bukankah mereka melakukannya tiga bulan sekali? Kenapa sekarang menjadi satu bulan sekali?” Alexandra mengerutkan kening.
Valery mencebikkan bibir seraya berbaring dan meletakkan kepalanya di paha sang kakak dengan manja. “Mereka bahkan berencana untuk berbulan madu setiap hari jika Ayah sudah menyerahkan kursinya padamu.”
Gwen terkekeh. “Paman dan Bibi benar-benar sangat romantis bahkan ketika usia mereka sudah tidak muda lagi.”
“Mereka hanya mencari cara agar bisa bermalas-malasan,” cibir Alexandra yang tengah mengelus rambut adiknya.
“Makanya cepatlah kembali agar Ayah dan Ibu bisa bersantai secara terang-terangan,” rayu Valery dan membuatnya menerima jitakan dari Alexander yang baru datang.
“Sudah kubilang untuk berhenti membahas hal itu. Lexy akan kembali jika dia sudah siap,” tegur pria itu, segera duduk di samping kekasihnya.
“Ugh! Lexy! Kau lihat itu?! Dia melakukan k*******n padaku!” adu Valery kesal. Meski Alexandra dan Alexander adalah saudara kembar, tapi Alexandra lahir lima belas menit lebih dulu dari pada Alexander.
“Kau bodoh? Jitakan tidak termasuk dalam k*******n,” olok Alexander.
“Siapa yang kau bilang bodoh?! Aku ini CEO Serene Fashion and Accessories, tahu!” Valery memiliki sumbu yang pendek, jadi amarah membakarnya dengan cepat.
“CEO mana yang yang bersantai di sini pada jam kerja?” Alexander kembali mengolok.
“Kau sendiri?! Apa yang seorang kepala koki sekaligus CEO Serene Food and Drink sepertimu lakukan di sini? Harusnya kau ada di dapur peyotmu sana!” balas Valery mengolok.
Seketika wajah Alexander berubah serius. “Lery, kau bisa menghinaku sepuasmu. Tapi, jangan pernah menghina dapurku!”
“Aku tidak peduli. Dapur peyot, dapur peyot~” Valery kembali mengejek pria itu sambil memeletkan lidahnya. Namun di detik berikutnya, ia berteriak histeris sambil bersembunyi di pelukan Alexandra ketika Alexander berdiri dengan wajah marah. Untungnya Alexandra menghentikannya sebelum pria itu benar-benar mendekat.
“Ini terakhir kalinya aku membiarkanmu. Jika bukan karena Lexy, aku pasti sudah melemparmu ke hadapan Shawn,” kecam pria itu penuh penghargaan pada Alexandra. Bukan karena wanita itu lahir lebih dulu darinya, melainkan karena kebijaksanaan dan auranya yang mematikan.
Sementara itu, Valery menatap Alexander dengan tatapan horor. “Kau tahu itu?”
“Bahkan semut yang lewat pun tahu kalau kau menyukai Shawn.” Pria itu memutar bola mata malas.
“Benarkah?” Kini Valery menatap Alexandra dan Gwen yang dibalas anggukan oleh keduanya. Sontak, ia langsung berteriak malu sambil menyembunyikan wajahnya di perut Alexandra manja.
Gwen yang melihatnya tertawa lalu berkata, “Jika kau sungguh menyukainya, lebih baik langsung hadapi saja.”
Valery kembali menoleh. “Apa menurutmu dia mengetahuinya? Bagaimana jika selama ini dia sudah tahu dan malah menertawakanku?”
“Kalian berdua sama-sama bodoh. Jadi dia tidak akan mengetahuinya jika kau tidak mengatakannya.” Alexander menyahut seraya menggeleng yang membuatnya menerima pukulan dari Gwen.
“Berhenti mengolok mereka. Dan lagi, Shawn tidak bodoh. Dia hanya terlalu polos sampai tidak mengerti dengan hal-hal seperti itu,” bela Alexandra.
Gwen mengangguk. “Bahkan jika kau memberinya banyak kode, dia tidak akan menyadarinya. Kau harus maju lebih dulu.”
“Maju untuk apa?” Itu bukan Valery yang menyahut, melainkan seorang pria bersetelan abu-abu rapi dengan alis tebal. Pria yang baru saja mereka bicarakan. Shawn Otis Stanley, manajer umum di Serene Model Agency. Agensi tempat Lucciano menancapkan karirnya.
Sontak Valery langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan mata melebar terkejut. Melihat Alexander yang menyeringai licik, ia langsung memberi ancaman pada pria itu agar diam melalui tatapan tajamnya.
“Sepertinya kalian sedang membahas hal yang seru.” Suara lain ikut menyahut, Lucciano.
“Kalian datang bersama?” tanya Alexandra.
Shawn menggeleng kemudian duduk di samping Valery. “Kami bertemu di depan.”
Tawa Alexander yang tiba-tiba meledak membuat perhatian mereka tertuju pada pria itu.
Shawn yang hendak mengambil minuman di atas meja seketika berhenti dan bertanya penuh kebingungan, “Apa yang lucu? Kenapa dia tertawa?”
Gwen membalas dengan gelengan. Ia lantas bertanya pada kekasihnya, “Alex, kau baik-baik saja?” Pria itu mengangguk di tengah tawanya. “Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba tertawa?”
Sontak Alexander menunjuk Valery yang terkesiap. “Lery ... Lery, wajahmu sangat merah. Kau malu ka-” Ucapan pria itu terputus ketika Valery menimpuknya dengan bantal sofa.
Alexandra menggeleng tak habis pikir dengan kelakuan kedua saudaranya itu. Ia lalu beranjak setelah melihat jam yang menunjukkan pukul setengah empat.
“Kau mau ke mana?” tanya Lucciano.
“Menjemput Nora.” Alexandra menjawab seraya berjalan ke kamar untuk mengambil mantelnya.
“Ayo, pergi bersama. Aku sudah berjanji untuk mengajaknya bermain seluncur es sepulang sekolah hari ini,” ajak pria itu ikut berdiri.
Alexandra yang mendengarnya dari dalam kamar lantas mengerutkan kening dan bertanya, “Kalian membuat janji tanpaku?”
“Ya. Saat kau ke toilet tadi malam. Kami membicarakan banyak hal saat itu,” jawab Lucciano tanpa rasa bersalah. Semalam mereka semua berkumpul dan mengadakan makan malam besar.
“Kalian berdua benar-benar ....” Alexandra menggelengkan kepala kemudian mengambil kunci mobil di atas meja lalu pamit pada yang lain. Lucciano mengikut di belakang.
Dengan Aelxandra yang menyetir mobil, mereka berdua melesat cepat menuju preschool Nora. Dalam waktu singkat, keduanya telah tiba di depan gerbang sekolah. Bertepatan dengan para murid yang berhamburan keluar menuju penjemput masing-masing. Nora segera berlari menuju Alexandra begitu namanya dipanggil.
“Hai, Cantik.” Lucciano mengelus rambut Nora seraya tersenyum manis.
“Papa!”
Kening Alexandra mengerut dan bertanya, “Papa?’
Lucciano tersenyum seraya menggendong gadis kecil itu. “Sudah kubilang kami membicarakan banyak hal saat kau ke toilet semalam.”
“Mama, aku sangat menyukai Papa. Dia sangat tampan!” Setelah keluar dari keluarga Carter, Nora menjadi tak terkendali dan lebih ramah terhadap semua orang. Dengan tawa kecil, Lucciano mencubit pipi gadis itu. Sementara Alexandra hanya menggelengkan kepala.
Mereka lalu masuk ke dalam mobil, melaju menuju gelanggang es yang cukup sepi pada hari kerja. Lucciano dengan cepat membawakan sepatu roda dan pakaian latihan untuk mereka kenakan. Seusai mengganti pakaian, di bawah pimpinan Lucciano, Nora segera meluncur ke tengah arena.
Dengan sigap Alexandra segera menyusul lalu menggandeng tangan Nora yang lain dan mereka bertiga meluncur bersama. Dalam sekejap gelanggang es dihiasi dengan kehadiran seorang pria tampan, wanita cantik, dan seorang anak yang menggemaskan hingga menarik perhatian serta komentar kagum dari pengunjung lain.
Tak lama, musik yang indah mengalun merdu memenuhi arena. Alexandra yang tak bisa menahan diri lantas menari bebas di atas es, menikmati momen tersebut.
Layaknya figure skating profesional, dengan sosoknya yang cantik dan keterampilan menari yang baik, setiap gerakannya sangat cocok dengan ritme musik. Alexandra tampil elegan dengan gerakan yang terlihat mudah, namun s*****l dan menawan.
Tatapan Lucciano melembut, memerhatikan Alexandra dengan penuh kekaguman. Seulas senyum terukir di wajahnya yang tampan.
“Wow, mereka benar-benar keluarga yang bahagia,” cetus Candise saat dirinya dan Joshua masuk ke arena.
Joshua lantas mendongak dan melihat ketiga sosok tersebut. Karena mereka mengenakan helm, jadi dia tidak mengenali mereka. Seperti Candise, ia juga menganggap pemandangan itu sangat luar biasa dan membayangkan jika Nora juga ada di sini bersamanya.
Beberapa saat setelahnya, musik berhenti. Alexandra yang telah selesai menari lantas melepas helmnya dan mengibaskan rambutnya sambil berseru, “Luar biasa! Ini sangat menyenangkan!”
Melihat sosok Alexandra, seketika wajah Joshua dipenuhi keheranan. Ia tidak menyangka bahwa wanita itu bisa bermain seluncur es, apalagi dengan gerakan seanggun itu. Dalam ingatannya, Alexandra tidak lebih dari seorang penipu, membosankan, dan tidak menarik.
Tak lama, Lucciano dan Nora ikut melepas helm. Gadis kecil itu lalu berkata, “Mama sangat hebat! Benar, ‘kan, Papa?”
Dalam sekejap wajah Joshua menjadi gelap mendengar panggilan tak bersalah itu. Meski pria itu tidak berkata apa-apa, Candise yang berdiri di sampingnya bisa merasakan ketegangan sedingin es di sekitar mereka hingga membuat jantungnya berdetak kencang.
“Lucca, bisakah kau menjaga Nora sebentar? Aku ingin ke toilet,” ujar Alexandra.
“Tentu. Kami akan bermain selama kau pergi.” Lucciano dengan senang hati mengangguk lalu kembali meluncur bersama Nora.
Seusai memercayakan putrinya pada pria itu, Alexandra bergegas beranjak menuju toilet. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia baru saja keluar dari salah satu bilik ketika pintu terbuka dan ditutup dengan keras.
Sontak Alexandra menoleh dan melihat Joshua dengan wajah masam dan dipenuhi amarah. Belum sempat ia bereaksi, pria itu lebih dulu berkata dengan penuh emosi, “Alexandra, apa kau tidak bisa menahan diri? Kau baru saja bercerai dan sekarang kau sudah bermain-main dengan pria lain?”
***
To be continued.