Tiga tahun lalu. Didalam sebuah rumah besar...
"Kapan kamu bakal siap? Kapan Cecil?"
"Tiga tahun lagi, setelah aku nyelesain kontrak terakhir ini..." Wanita cantik itu–Cecilia, menatap Candra yang memandangnya dengan tatapan keras, yang Cecilia balas dengan tatapan penuh permohonan.
"Ini kesempatan emas buat aku, Can, buat karir aku."
Wajah Candra penuh dengan garis hitam, ekspresinya terlihat buruk, seolah menahan sesuatu yang bergolak di dalamnya. Dia berkata dengan nada suara rendah.
"Kamu juga bilang hal yang sama bertahun-tahun lalu."
"Can," Cecil melirih, berharap dia bisa menggerakkan hati sang suami seperti bertahun-tahun lalu yang sudah dia lakukan.
"Aku cuma mau anak, Cecil. Tahun-tahun itu, kamu juga punya banyak alasan untuk nunda hal itu. Kamu bilang kamu belum siap, kamu bilang tunggu sampe kontrak yang kamu tanda tanganin selesai dan itu udah satu tahun lalu, kontrak itu seharusnya udah selesai, kan? Dan sekarang... Apa yang kamu lakuin? Kamu malah nandatanganin kontrak baru tanpa sepengetahuan aku–aku maupun kamu udah bukan anak muda lagi, umur aku bukan dua puluh lima lagi, Cecil."
"Aku gak bisa lepasin kesempatan ini, Can," Bisik Cecil, dia menunduk. Air mata memenuhi wajah cantiknya.
"Aku atau karir kamu itu."
Cecil mendongak, tersentak saat mendengar perkataan Candra. "Apa maksud kamu, Can?" Tanyanya dengan marah.
"Aku kasih kamu pilihan, Cecil, aku atau karir kamu," Ulang Candra dengan wajah tanpa ekspresi. Bahkan, dari nada bicaranya, orang dapat mendengar bahwa dia putus asa, berusaha menekan kekecewaan nya. Dengan setitik harapan bahwa Cecil akan memilihnya nanti.
"Can–!"
Candra menekan nada suaranya. "Pilih."
Cecil berdiri tegak, mengigit bibir bawahnya dengan depresi. Kemudian, dia menjawab. "Karir."
Mendengar jawaban wanita cantik di depannya, kekecewaan yang dia tekan sebelumnya luluh lantak, setitik harapan yang tersisa dalam hatinya terbang terbawa angin. Seperti debu halus.
"Itu pilihan kamu. Besok mita bakal ngurus perceraian kita." Setelah mengatakan itu dengan nada datar, Candra melenggang pergi menaiki tangga.
Melihat punggung Candra yang menghilang dibalik dinding, Cecil jatuh tergugu, menangis, dia berteriak pada Candra yang sudah menghilang di sana.
"KAMU EGOIS, CAN! KAMU EGOIS! INI KARIR AKU! APA YANG AKU TUNGGU-TUNGGU DALAM HIDUP AKU! KAMU GAK BERHAK BUAT AKU MEMILIH–aku–aku gak mau ninggalin sesuatu yang udah aku bangun dari awal...aku gak mau."
***
Tidak ada yang lebih tau dari Candra betapa rasa penyesalan itu menyakitkan. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap denting jarum jam, rasa sesak akan selalu ada, menghantui di setiap hembusan nafasnya. Tidak ada yang lebih mengerti dari Candra bahwa sebuah penyesalan dari salah memilih itu adalah hal yang menyiksa.
Mungkin jika dia...
Jika saja dia...
Andai saja dia...
Apabila tahun itu dia...
Semuanya penuh dengan jika, tapi Candra tau itu hanya angan-angan.
Candra menghela nafas, melihat keluar jendela kaca mobil. Seolah-olah pemandangan diluar akan menetralisir kegelisahan yang telah menghantuinya dari semalam.
Mita duduk di kursi samping sopir, melirik bosnya yang duduk di kursi penumpang, tengah memandang keluar jendela kaca dengan tatapan kosong. Lagi-lagi ngelamun. Mita tidak mengerti apa yang telah dialami pria itu, membuatnya banyak melamun selama seminggu ini. Beban berat seperti apa yang mampu membuat bosnya melamun sebanyak ini? Mita benar-benar tidak mengerti.
Sepanjang perjalanan menuju perusahaan, suasana didalam mobil begitu hening. Hingga mobil itu berhenti di depan gedung perusahaan, Candra belum juga tersadar dari lamunannya. Melihat bahwa bosnya masih tidak menyadari bahwa mereka sudah tiba, dia mengingatkan dengan suara pelan dan sopan. "Pak, kita sudah sampai."
Namun, tidak ada jawaban apapun dari Candra.
Mita berdehem, terus mengulangi. "Pak, kita sudah sampai."
Masih hening.
"Pak!" Panggil Mita dengan suara yang agak keras.
Candra akhirnya tersadar dari lamunannya, dia memperbaiki posisi duduknya.
"Kita sudah tiba di perusahaan."
Candra mengangguk, Mita turun untuk membukakan pintu untuknya.
Berjalan melewati lobi, beberapa karyawan menyapa dengan sopan.
"Pagi, pak!"
"Selamat pagi, pak!"
"Pagi!"
Candra hanya mengangguk sebagai jawaban. Di ikuti Mita di belakangnya, langkahnya tiba-tiba terhenti. Dia kemudian menyadari bahwa dia menabrak sebuah ember berisi air. Membuat sepatu dan ujung celana bagian bawahnya basah.
Wanita yang tengah mengepel lantai juga menoleh, menyadari bahwa ember bekas air pelnya tumpah mengenai sepatu kulit pihak lain. Wanita itu bahkan tidak sempat melihat siapa itu ketika dia langsung membungkuk membersihkan sepatu basah.
"Kamu–" Candra hampir memuntahkan amarahnya ketika suara panik wanita itu terdengar.
"Maaf, pak! Ini salah saya, saya ceroboh–" Wanita berseragam OG itu buru-buru membungkuk, mengelap sepatu pria di depannya dengan panik. Dia berulang kali berkata 'maaf' dan 'saya ceroboh'. Tidak menyadari bahwa tubuh Candra membeku ditempat ketika mendengar dan melihat Wajah serta suaranya.
Mita di belakang Candra juga panik, dia tau bahwa tempramen bosnya tidak begitu baik.
"Kamu berdiri, beresin semua kekacauan," Titahnya pada wanita itu. Lalu, Mita berbalik, mengalihkan tatapannya pada Candra. "Saya akan menyuruh sopir untuk membawakan pakaian anda."
Wanita yang tak lain adalah Jennie itu berdiri, tapi terus menunduk. Tidak berani mengangkat wajahnya untuk melihat pihak lain. Suasana jatuh keheningan yang kaku, Jennie terus berdoa dalam hati bahwa bosnya ini tidak akan memecatnya.
Candra menatap Jennie yang terus menunduk, melihat wanita itu memainkan jemarinya dengan gelisah.
Dia tidak tahan, akhirnya bersuara dengan nada rendah. "Tidak perlu."
Itu adalah suara pria dewasa berumur 35 tahun. Tapi, suara itu begitu familiar ditelinga Jennie. Meskipun dia sudah tidak mendengarnya selama bertahun-tahun lamanya. Jennie akhirnya mendongak, tatapannya bertabrakan dengan tatapan pria itu. Melihat siapa itu, tanpa sadar, Jennie melangkah mundur–
Candra memalingkan wajah, melanjutkan langkahnya, meninggalkan Jennie dengan tatapan tercengang.
Mita buru-buru berjalan mengikuti langkah lebar Candra.
Disana, Jennie membereskan semuanya dengan mengigit bibir, menahan sebuah rasa yang bisa kapan saja meledak dihatinya.
Selesai, dia buru-buru pergi ke bagian gudang, merosot bersandar didinding. Menankup wajahnya dengan tangan. Menangis. Entahlah, Jennie jiga tidak tau kenapa dia menangis...hanya saja, melihat orang itu, orang yang menjadi sosok terpenting dalam rasa bahagia dan sakitnya...dia sedih.
Rasa sakit dan sesak yang menusuk tak mampu dia tahan. Air matanya deras keluar tanpa bisa dia cegah. Jennie menahan suara tangisnya agar tidak terlalu keras. Apasih, apa yang aku tangisin? Udah bertahun-tahun lalu dan seharusnya semuanya udah kembali normal.
Rasanya seperti, luka yang sudah sebagian tertutup, kembali tergores pecahan kaca dengan ujung tajam. Perih.
Kenapa aku gak bisa bersikap biasa aja?