Hukuman

1178 Kata
Hari ini mungkin akan menjadi hari tersial bagi Viona. Pasalnya, sejak tadi ia bangun tidur, ia sudah mengalami beberapa kejadian apes yang membuat dirinya harus banyak- banyak mengucapkan istighfar. Yang pertama, ia terpaksa harus bangun jam empat subuh dikarenakan dapur di rumahnya hampir saja terbakar gara- gara ulah sang Mama. Yang kedua, laptopnya eror dan ia belum sempat memindahkan semua file ke handphonenya. Yang ketiga, kunci motor kesayangannya tiba- tiba hilang. Jadi terpaksa harus berangkat ke kampus dengan menaiki ojol lagi. Dan sekarang, ia sedang berdebat dengan Raka di kelas gara- gara Raka menyuruhnya untuk membersihkan toilet di kantin, hanya karena ia tertidur di kelas saat jam pelajaran dimulai. “Emang selama Bapak hidup, Bapak nggak pernah ngerasain yang namanya ngantuk? Nggak pernah ngerasain pas lagi enak- enaknya tidur, tiba- tiba dibangunin gara- gara rumah hampir kebakaran? Nggak pernah ngerasain kepala pusing gara- gara mata dipaksa melek pas lagi ngantuk?” cerocos Viona. Melawan segala ucapan Raka yang menyudutkan dirinya. Posisi kelas saat ini sangat tegang. Semua Mahasiswa hanya bisa terdiam, menonton pertandingan sengit antara sang Dosen dengan Viona si bocah tengil. Ini adalah pertama kalinya, mereka melihat Dosen galaknya dilawan oleh mahasiswanya sendiri. Kandidat sama- sama kuat. Raka terus menyudutkan Viona dan memarahinya, bahkan ia tak segan untuk memaki- maki gadis itu. Dan Viona juga tak mau kalah, gadis itu selalu melawan dan membalikkan semua ucapan Raka. Hingga membuat suasana di kelas semakin memanas. “Semua teman- teman kamu di kelas juga banyak yang ngantuk, tapi mereka bisa ngontrol diri. Tau tempat, tau waktu, tau suasana. Nggak kayak kamu yang selalu bersikap seenaknya sendiri. Ini Kampus, bukan kamar tidur. Ada Dosen yang berdiri di depan kamu, jelasin materi sampai berjam- jam, tapi kamu malah nggak menghargai sama sekali. Anak TK aja ngerti tata krama. Masa kamu yang udah Mahasiswa malah minus akhlaknya?” omel Raka. Semua Mahasiswa hanya terdiam menunduk, mendengar amukan Raka pada Viona. Sedangkan Viona hanya bisa menarik napasnya sambil menggigit bibirnya dengan mata yang terpejam. Menahan emosinya yang semakin terbakar karena ucapan Raka. “Kalau ditegur Dosen itu introspeksi, bukan malah ngelawan. Saya ngehukum kamu juga bukan tanpa alasan. Kalau kamu dibiarin kayak gini terus, kapan kamu bisa pintar? Saya yakin, orang tua kamu juga pasti sedih kalau ngerti anaknya kayak gini,” omelnya lagi. Sementara itu, seorang wanita yang duduk di pojok kelas sedang tersenyum miring sambil melipat tangannya di depan d**a. “Ck. Gue bilang juga apa? Mana mungkin orang seperfect Pak Raka bisa tertarik sama cewek t***l kayak dia,” gumam wanita itu, yang tak lain adalah Niki. “Saya tau, saya salah. Tapi nggak seharusnya Bapak ngehukum saya bersihin toilet. Ini Kampus, Pak. Bukan sekolahan yang dikit- dikit dihukum bersihin kamar mandi, dikit- dikit dihukum bersihin kelas, dikit- dikit dijemur di lapangan. Saya itu alergi sama bau WC umum, Pak. Asal Bapak tau ya! WC umum itu lebih bau dari tangki sepiteng,” cerocos Viona blak- blakan. Membuat semua teman- temannya hampir saja menyemburkan tawanya. Raka memijat pelipisanya sambil menghela napasnya kasar. Berdebat dengan gadis ini hanya akan membuat dirinya semakin emosi. Dengan wajah yang memerah dan tangan yang terkepal kuat. Raka memukul mejanya dengan keras, hingga membuat mereka semua langsung tersentak kaget. Termasuk Viona. “Kamu ...” Raka menggantungkan ucapannya, seraya menunjuk Viona dengan jari telunjuknya. Bukannya takut dengan tatapan tajam Raka. Viona justru semakin menantang dengan mendongakkan kepalanya songong, seolah tidak takut pada lelaki itu. Raka menghembuskan napasnya kasar. Habis sudah kesabarannya menghadapi gadis sebandel Viona. Ia pun lantas membereskan semua barang- barangnya dan memasukkannya ke dalam tas lagi. “Ikut saya,” ucapnya dingin. Sebelum benar- benar keluar dari kelas. *** Di sinilah Viona berada. Di ruang Dosen pribadi milik Raka yang besarnya sudah seperti ruangan kelas. Viona heran, kenapa Raka memiliki ruangan pribadi sebesar dan sebagus ini, padahal dia hanya Dosen biasa. Bukan Dekan, bukan Kaprodi, apalagi Rektor. Dalam seminggu saja, ia hanya mengajar selama tiga hari, dan jam mengajarnya juga tidak terlalu padat. Lalu, bagaimanakah asal usulnya dia bisa mendapatkan tempat seistimewa ini? Viona jadi penasaran. “Nih, baca semua buku ini.” Seketika Viona langsung membulatkan matanya sempurna dengan mulut yang menganga lebar, ketika Raka meletakkan setumpuk buku berukuran tebal di depannya. Apa maksudnya? Viona tidak paham dengan keinginan pria itu. “D-di baca?” tanya Viona gugup. “Iya. Bisa baca, kan? Kalau nggak bisa, saya panggilin Guru TK biar diajarin cara membaca,” sarkas Raka. Membuat Viona langsung menghela napasnya kasar. Rasanya Viona ingin menangis sekarang juga. Membaca selembar makalah saja ia malas, apalagi membaca buku sebanyak ini? Kapan selesainya coba? Terlebih, buku- buku yang diberikan oleh Raka ini buku tentang akhlak, attitude, etika dan juga moral. Membuat Viona semakin malas membacanya saja. “Kenapa? Selain alergi sama bau WC, kamu juga alergi sama buku?” tebak Raka. Membuat Viona langsung mendengus kesal. “Nggak! Saya pecinta buku,” ketus Viona berbohong. “Yaudah, baca sampai habis. Saya kasih waktu satu jam,” celetuk Raka. Membuat mata Viona kembali melotot lebar. “Pak, sekalipun saya ini seorang Dewi yang punya banyak kekuatan, buku sebanyak ini juga nggak bakal selesai dalam waktu satu jam. Bapak bisa mikir nggak, sih? Ini termasuk penindasan loh, Pak. Saya bisa laporin Bapak ke Rektor,” cerocos Viona yang tidak bisa menahan kekesalannya. Bahkan ia berani mengancam Dosen galaknya tersebut. Sayangnya, yang diancam malah tersenyum mengejek. “Terus saya harus gimana? Harus takut sama kamu gitu?” balas Raka santai. Membuat Viona semakin kesal sekaligus semakin ingin menangis sekarang juga. Gadis itupun lantas mengambil semua buku tersebut dan pergi dari hadapan Raka, lalu beralih mendudukkan tubuhnya di sofa panjang dengan wajah yang ditutupi oleh salah satu buku tersebut. Sementara itu, Raka hanya memperhatikan gadis itu dari tempat duduknya sambil tersenyum tipis dan geleng- geleng kepala. “Yang ikhlas. Biar ilmunya masuk ke otak kamu,” tutur Raka. Di saat Raka berniat membuka laptopnya untuk memeriksa pekerjaannya yang lain, tiba- tiba ia mendengar suara tangisan yang berasal dari gadis yang duduk di depannya tersebut. Raka tertawa kecil. Kemudian ia lantas berjalan menghampirinya sambil membawa permen yang diberi oleh keponakannya tadi pagi. Sebelum menenangkan gadis itu, Raka memindahkan buku- buku tersebut ke atas laci terlebih dahulu. Sedangkan Viona semakin menangis sesegukan sambil menutupi wajah cantiknya dengan buku. Tidak peduli, meskipun buku tersebut sudah basah kuyup karena air matanya. Raka mendudukkan dirinya di samping Viona. Kemudian ia mengulurkan tangannya untuk mengusap surai lembut gadis itu. “Makanya, lain kali kalau ditegur Dosen itu jangan ngelawan. Kamu itu udah gede, Vi. Harusnya lebih ngerti tata krama. Kamu kuliah di sini itu cari apa, sih? Cari ilmu, kan? Kalau niat cari ilmu itu yang serius. Jangan tidur kalau dosennya lagi jelasin materi, nanti ketinggalan pelajaran. Emang kamu nggak kasihan sama orang tua kamu? Susah- susah cari uang buat biayain anaknya, eh anaknya malah kayak gini di Kampus,” tuturnya menasehati. Lalu sedetik kemudian, Viona langsung menghambur ke pelukan Raka sambil menangis tersedu- sedu. Sedangkan Raka yang kaget hanya bisa menatap gadis itu heran. Tapi lama kelamaan, ia mulai bisa mengontrol rasa canggungnya dan mulai berani mengusap punggung Viona yang masih bergetar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN