Evan merasa hancur ketika menandatangani persetujuan kuret untuk Zola. Entah bagaimana dia menggambarkan perasaannya saat ini, ketika dia tahu istrinya tengah hamil justru ketika janin tersebut gagal untuk bertahan.
"Ya Allah, maafkan aku, maafkan aku!" ucapnya berbisik berulang kali. Dia menyangga kepalanya yang terasa berat, dan semakin berat sejak mengetahui kehamilan Zola.
Awan setia menemaninya dan duduk mendampingi majikannya itu.
Selagi mereka menunggu proses kuret di dalam ruangan tindakan, Evan terlihat gelisah dan tidak tenang. Wajahnya tegang dan penuh dengan gurat kecemasan di sana.
"Minum dulu, Tuan," ucap Awan sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Evan.
Lelaki berwajah campuran dengan jambang halus di rahangnya itu menerimanya seraya mengucapkan terimakasih.
Saat itu Surendra datang, dia baru saja selesai melaksanakan shalat sunnah sekaligus mendoakan keselamatan putrinya.
"Bagaimana?" tanyanya ketika dilihatnya Evan masih saja berada di depan pintu ruang tindakan.
Evan menggeleng lesu, "Mereka masih di dalam," jawabnya sambil menghela nafas berat.
Bagas pun ikut menarik nafas, "Semoga Zola baik-baik saja," ucapnya menggumam pelan, dan diamini oleh Evan dan Awan.
Ketiga lelaki berbeda usia itu kemudian duduk menunggu dengan harap-harap cemas. Evan yang paling tidak sabar, entah sudah berapa putaran dia berjalan mondar-mandir di depan pintu itu, berharap segera terbuka dan dokter keluar membawa kabar baik.
Selang beberapa menit kemudian, pintu itu terbuka. Mereka bertiga pun langsung berdiri dengan wajah tegang.
Pemandangan yang terlihat pertama adalah dua orang perawat mendorong ranjang dimana Zola terbaring tak sadarkan diri diatasnya. Evan pun segera menghampiri namun dihalau oleh perawat lain.
"Zola ...."
"Maaf, Pak, pasien masih harus ditangani di ruang observasi, silahkan menunggu sebentar lagi!" kata perawat itu sambil bergegas mengikuti rekannya.
Evan hanya bisa melihat saja sampai ranjang Zola menghilang di belokan.
"Dia akan baik-baik saja!" ucap Surendra menepuk bahu Evan.
Lelaki itu pun mengangguk mengiyakan. Sekarang pikirannya berkecamuk sendiri, bagaimana mengatakan hal ini pada Zola? Istrinya itu pasti shock mendengar calon bayi mereka harus gugur bahkan sebelum benar-benar terisi ruh.
"Dia pasti sangatlah terpukul!" ucapnya lirih.
***
Efek anastesi berlangsung hingga beberapa jam kemudian dan Zola akhirnya sadar. Dia sudah dipindahkan ke ruang perawatan.
"Mas," panggil Zola lirih ketika melihat Evan masuk bersama Surendra, ayahnya.
Evan segera mendekat dan menggenggam tangan istrinya itu dengan hangat.
"Hai, Sayang," sapanya tersenyum, berusaha terlihat ceria meski jantungnya berdebar, jangan sampai Zola bertanya tentang keadaan yang sebenarnya.
"Aku kenapa, Mas?" tanya Zola masih dengan suaranya yang lemas.
Evan menelan saliva, melirik ke arah Surendra yang juga terlihat gugup dan kebingungan.
"Kamu hanya kelelahan, Sayang, sebentar lagi juga sembuh!" ucap Evan mengusap kepala Zola dengan sayang.
Zola menatapnya sejenak lalu menarik nafas panjang, dia tampak letih dan wajahnya masih terlihat pucat.
"Mas nggak usah berbohong, aku tahu apa yang terjadi," ucapnya lirih.
Evan pun tertegun, sontak saja dia pun gugup sekaligus menahan tangis sedih di wajahnya.
"Ma-maaf, Sayang, aku tidak bermaksud seperti itu!" ucapnya sedih.
Zola menggeleng lemah, bibirnya lalu tersenyum tipis.
"Harusnya aku yang minta maaf karena ceroboh dan tidak menyadari kehamilanku sendiri," kata Zola, air matanya mengalir dari sudut matanya lalu terisak-isak menangis lirih.
Evan menggeleng dan mengeratkan genggaman tangannya.
"Tidak, Sayang, jangan menyalahkan diri! Mungkin ini belum saatnya kita mendapatkan buah cinta kita," tepisnya menghibur Zola, "Allah sedang memberi ujian, dan kita harus kuat melaluinya, jangan berputus asa!"
Zola mengangguk, "Sekali lagi maafkan aku, Mas!" bisiknya.
Evan berdiri dan mencondongkan tubuhnya, mencium kening Zola dengan penuh haru dan berbagi kekuatan dengannya.
"Sekarang, fokus saja pada kesehatanmu, InsyaAllah kita pasti bisa segera mendapatkan gantinya suatu hari nanti!" ucap Evan.
Zola pun tersenyum mengiyakan.
Surendra yang sedari tadi memperhatikan anak dan menantunya itu, terlihat lega dan menarik nafas panjang. Semoga dengan kejadian ini keduanya semakin harmonis dan saling menguatkan satu sama lain.
***
Keesokan harinya ...
Zola masih harus mendapatkan perawatan karena kondisinya yang lemah, dan Evan menemaninya.
"Mau makan apa? Nanti Mas carikan," kata Evan sambil mengelus kepala istrinya itu.
Zola tersenyum, dia ingin makanan berat seperti bakso atau nasi padang. Terbaring sakit selama 2 hari rasanya seperti berlangsung 2 minggu. Tapi kondisinya masih tidak memungkinkan untuk itu.
"Aku ingin salad aja, Mas, boleh?" pinta Zola, sepertinya menikmati cacahan sayuran dan suwiran ayam ditambah lelehan bumbu khas minyak zaitun akan sangat nikmat.
"Jangan dulu makanan mentah, Sayang! Bubur saja, ya? Mau?" tawar Evan yang langsung membuat wajah Zola berubah masam.
"Tadi nawarin makan, sekarang malah nggak boleh!" ujarnya ketus, merajuk.
Evan terkekeh, "Iya, maksud Mas makanan yang lebih lembut," katanya tersenyum geli melihat wajah istrinya yang cemberut.
Zola menghela nafas panjang, memang seharusnya seperti itu. Dia saja yang tidak sabar!
"Iya maaf, Mas! Habisnya aku bosan makan masakan rumah sakit, rasanya hambar semua!" gerutu Zola seraya bergidik jijik.
Evan terbahak karenanya. "Nggak seburuk itu, Sayang! Buktinya tadi sup ayam dan perkedel itu aku yang habiskan!" gelaknya.
Zola kembali menekuk wajahnya.
Ya menu rumah sakit 'kan biasanya semacam itu, mungkin karena yang makan orang-orang sakit, jadi indera perasa mereka masih terganggu. Itulah sebabnya semua makanan yang disajikan terasa hambar dan kurang garam, menurut Zola.
"Iya bagaimana dong? Aku juga lapar!" keluh Zola.
Evan pun iba melihatnya.
"Sabar, Sayang! Nanti Awan datang membawa masakan rumah," ucapnya mengusap-usap tangan Zola dalam genggamannya.
Zola pun mengangguk. Itu lebih baik daripada makan masakan rumah sakit.
"Sudahlah, sambil menunggu Awan, kamu mau apa?" tanya Evan lagi, tak ingin membuat istrinya suntuk dan suasana hatinya semakin memburuk.
Zola tersenyum, tahu upaya Evan untuk menghiburnya.
"Nggak apa-apa, Mas, aku senang kamu ada di sini!" ucap Zola, tangannya yang masih terpasang jarum infus menjangkau wajah Evan dan membelainya.
Evan menatapnya dengan penuh cinta. Maka dia pun bangkit sejenak dari kursi dan mendaratkan sebuah ciuman hangat di kening Zola.
"Semangat ya, Sayang! Jangan berputus asa!" ucapnya sembari duduk di pinggir tempat tidur.
"Kita terus berusaha, InsyaAllah nanti pasti kita bisa mendapatkan bayi mungil yang kita dambakan!" hibur Evan.
Zola mengangguk membenarkan.
"Bagiku, Mas, selama kamu masih bisa menerimaku seperti ini, hatiku tenang dan berusaha yang terbaik di lain waktu!" ungkapnya, ada sedikit rasa haru menyeruak ke tenggorokan dan itu membuat air matanya meleleh.
Evan mengangguk seraya menghapus air mata Zola. Dia lalu berpindah tempat ke samping Zola dan membiarkannya bersandar di dadanya.
"Iya, Sayang! Sekarang kamu harus sehat dulu, dan setelah itu jangan terlalu memaksakan diri bekerja dan berkegiatan penuh," ucap Evan mengusap-usap bahu Zola.
Zola menghela nafas panjang lalu mengangguk.
"Mungkin pekerjaan aku di kantor akan aku limpahkan sebagian pada asisten pribadiku saja, jadi aku bisa fokus pada kalian, suami dan ayahku!" kata Zola.
Evan sedikit tertegun mendengar kata terakhir Zola, ada perasaan tidak nyaman di hatinya. Tapi kemudian segera ditepisnya pikiran buruk yang datang, lalu mengangguk.
"Ya, selama kamu bisa menjaga kesehatan dan nyaman, itu boleh saja!" ucap Evan, sedikit lega dengan posisinya yang berada di belakang Zola sehingga istrinya itu tak harus melihat ekspresi wajahnya yang mungkin kurang mengenakkan.
"Hanya saja, jika suatu hari kamu sakit, maka aku sebagai suami berhak meminta kamu untuk berhenti kalau kamu terlalu memaksakan diri," kata Evan lagi.
"Aku tidak akan memaafkan itu semua!" lanjutnya kemudian yang membuat Zola pun terdiam.