Bab 8 Lembur

1288 Kata
Mata Nindy mulai berkaca-kaca, dia sedikit mendongakkan kepala ke atas, mencegah air matanya keluar. Billy tidak boleh melihat kelemahannya. Meskipun kata-kata Billy sangat menyakiti perasaannya, tapi sebisa mungkin dia tetap bersikap biasa. "Baik. Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya tanpa bantuan orang lain." Nindy pun langsung berdiri usai mengatakan itu. "Saya sudah selesai. Maaf saya kembali ke kantor lebih dulu." Setelah berpamitan pada Angga dan Pak Edwin, Nindy segera pergi dari sana. Dia tidak mau kalau sampai Billy melihatnya mengeluarkan air mata. Dewi yang merasa iba pun segera menyusul Nindy, dia tidak mungkin membiarkan Nindy kembali ke kantor sendirian. Terlebih, ketika melihat wajah Nindy tampak berubah setelah berdebat dengan Billy. Setibanya di kantor, Nindy langsung mencari berkas dengan wajah yang terlihat masih kesal. Billy sudah membuat moodnya hancur. Meskipun kesal, Nindy tetap berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Dia akan membuktikan pada Billy kalau dirinya bisa mengerjakan semuanya tanpa bantuan siapa pun. Dia tahu kalau Billy sengaja ingin menyiksanya. Itu sebabnya, dia melarang semua orang membantunya. Dia tidak akan membiarkan Billy melihat kelemahannya. Semakin Billy ingin menindasnya, semakin kuat juga keinginannya untuk bertahan. Sore harinya, Nindy menyerahkan berkas pada tim audit yang sudah dia temukan. Masih banyak berkas yang harus dia cari, jadi dia berencana untuk lembur seperti yang diminta oleh Billy. Setelah jam kantor usai, satu persatu mulai meninggalkan kantor, tersisa, Nindy, Pak Edwin, Billy, Angga, serta dua karyawan lainnya. Pukul 7 malam, Nindy akhirnya keluar dari ruangan penyimpanan, ketika melewati ruangan Billy, dia melihat masih ada Angga, Pak Edwin, dan juga Billy di sana. Nindy memilih kembali ke ruangannya untuk bersiap-siap pulang. "Mbak Nindy, belum pulang?" Seorang OB bertanya pada Nindy ketika melihatnya memasuki ruangan saat dia sedang membersihkan ruangan itu. "Iya, lembur." Nindy merapihkan meja kerjanya, lalu mengambil tasnya. "Saya pulang duluan, ya?" pamit Nindy pada OB yang bernama Ihsan. "Iyaa, Mbak, hati-hati." Nindy mengangguk sambil tersenyum. Tiba di parkiran dia bertemu dengan rombongan Billy ketika dia akan berjalan menuju mobilnya. Dia pun menyapa dengan sopan. "Kamu baru pulang, Nin?" tanya Pak Edwin, dia memang tidak tahu kalau Nindy masih ada di kantor. "Iyaa, Pak. Habis lembur, ini baru mau pulang," jawab Nindy sopan. Tidak sekali pun dia menoleh pada Billy, hanya pada Angga dia melemparkan senyuman tipis setelah menjawab pertanyaan Pak Edwin. Bukannya tidak mau menoleh pada Billy, hanya saja debaran jantungnya tidak terkendali, jika dia bertatapan dengan mantan kekasihnya itu. Padahal, pria itu sudah membuatnya kesal tadi siang. "Yaa, sudah. Kamu hati-hati." Nindy mengangguk sopan, lalu masuk ke dalam mobilnya setelah berpamitan pada semuanya. Tatapan Billy tertuju pada mobil Nindy yang mulai melaju meninggalkan parkiran. "Bill, apa kau tidak keterlaluan dengan Nindy? Kasihan dia kalau nyari berkas sebanyak itu sendirian," ujar Angga setelah mereka berdua masuk ke dalam mobil Billy. "Jangan terlalu kejam sama dia, aku saja kasihan ngeliatnya." "Itu memang udah jadi tugasnya." "Iyaa, tapi setidaknya ijinkan orang lain untuk membantunya." "Biarkan dia bertanggung jawab dengan pekerjaannya." Angga memicing ke arah Billy sebentar, sebelum berbicara lagi, "Sepertinya kau menyimpan dendam dengannya. Apa sebenarnya kalian sudah saling mengenal sebelumnya?" "Tidak. Kau tahu sendiri, aku belum pernah ke Surabaya lagi setelah pulang dari luar negeri." Angga terlihat masih memicing. Sepertinya, dia tidak mempercayai jawaban Billy. "Tapi, aku melihatmu memandangnya dengan cara berbeda. Seperti sudah lama mengenalnya." "Sebaiknya, kau periksakan matamu ke dokter, mungkin saja matamu bermasalah." Usai mengatakan itu, Billy menghidupkan mesin mobilnya, lalu memasang sabuk pengaman. Bukannya marah, Angga justru terkekeh pelan. "Sebaiknya, kau juga ke dokter. Sepertinya, emosimu nggak stabil belakangan ini." Billy mendengkus dengan wajah dinginnya. "Jangan sok tahu." Angga tersenyum miring sembari melirik Billy yang baru saja menginjak pedal gas, meninggalkan area kantor. "Aku cuma sedikit heran, kenapa dia bisa dengan mudah memancing emosimu. Pasti ada sesuatu antara kau dan dia." Selama ini, Angga belum pernah melihat ada yang bisa mempengaruhi emosi Billy. Meskipun Billy terkenal tegas. Namun, dia jarang sekali menunjukkan emosinya di depan karyawannya, kecuali karyawan itu melakukan kesalahan yang fatal. Billy tidak banyak bicara, tapi sekali bicara, tidak ada yang berani membantahnya. Meskipun begitu, Billy sangat dihormati dan disegani oleh karyawan di kantor pusat. "Dia cuma karyawan biasa, tidak cukup penting untuk bisa mempengaruhiku." "Kalau begitu, jangan terlalu keras dengannya. Biarkan Denis dan Bayu membantunya mencari berkas. Pekerjaan kita akan lebih cepat selesai kalau mereka berdua membantu Nindy. Kita juga bisa cepat pergi dari sini. Kamu sendiri yang bilang, ingin cepat kembali ke Jakarta." ******* Esok harinya, Nindy berangkat lebih awal seperti kemarin. Dia terpaksa datang lebih pagi karena harus segera menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Billy tepat waktu. Masih banyak berkas yang harus dia cari, sementara Billy hanya memberikan waktu 3 hari untuk mengumpulkan semua dokumennya. Hari ini dia bertekad bekerja lebih agar semua pekerjaannya agar pekerjaannya cepat selesai. Beruntung dia tidur dengan cukup, jadi ketika bangun di pagi hari, tubuhnya sudah segar kembali. Tiba di parkiran kantornya, dia melihat mobil Billy sudah terparkir di dekat pintu masuk. Nindy melirik sejenak pada mobil tersebut sambil melangkah menuju pintu masuk, ternyata di dalamnya ada Billy sedang duduk di kursi kemudi. Nindy segera memalingkan kepala ke samping saat Billy menangkap basah dirinya sedang menatap ke arah pria itu. Dia mempercepat langkah kakinya sebelum Billy keluar dari mobil, karena tidak mau berbasa-basi dengan pria itu. Apalagi, setelah kejadian memalukan barusan. “Nin, sarapan, yuk?” ajak Dewi yang sudah berdiri di dekat pintu ruangan penyimpanan dokumen. Setelah meletakkan tasnya di ruangan, Nindy langsung pergi ke ruangan penyimpanan dokumen untuk memulai pekerjaannya. “Aku lagi banyak kerjaan, Wi. Kamu aja yang sarapan, tadi aku udah sarapan roti.” Pagi tadi dia sengaja membawa bekal roti yang sudah diisi selai coklat dan memakan roti tersebut saat dalam perjalanan ke kantornya. “Temenin bentar aja, aku males sarapan sendirian.” Dewi langsung menarik Nindy keluar menuju kantin yang berada di lantai bawah tanpa memperdulikan penolakannya. Kantin itu berada di belakang gedung kantor mereka. Ternyata di kantin itu ada Billy, Pak Edwin, dan juga seorang wanita yang Nindy ketahui adalah salah satu dari rombongan orang pusat. Mereka sedang sarapan bersama sambil mengobrol. Melihat itu, Nindy pun menarik Dewi untuk duduk jauh dari mereka. Dia hanya tidak ingin berbasa-basi dengan Billy dan yang lainnya saat ini. “Nin, kamu beneran nggak kenal sama, Pak Billy?” tanya Dewi sambil menikmati sarapannya. Kemarin, ketika mereka pulang bekerja, Dewi juga menanyakan hal yang sama dan dijawab tidak oleh Nindy. Nampaknya Dewi masih tidak percaya dengan jawabannya sehingga kembali bertanya lagi pada Nindy pagi ini. “Nggak. Aku aja baru pertama kali ketemu di sini.” “Beneran?” Mata Dewi memicing ke arah Nindy, seolah meragukan jawaban temannya itu. “Padahal, kalian dari kota yang sama, masa kamu nggak kenal atau gak pernah ketemu sama Pak Billy?” Dewi memang tahu kalau Nindy juga berasal dari Jakarta, sama seperti Billy. Nindy merotasi bola matanya sambil menghela napas. “Jakarta itu luas, Wi, ada 11 juta jiwa lebih, mana mungkin aku kenal semuanya.” Dewi berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Benar juga. Apalagi, Pak Billy kuliah dari luar negeri, ya? nggak mungkin kamu bisa kenal dia.” Nindy seketika teringat dengan sesuatu setelah mendengar penuturan Dewi. “Oh, ya. Kamu tahu dari mana kalau Pak Billy kuliah di luar negeri? Setahuku dia kuliah di Jakarta dulu sampai selesai S1.” “Kok kamu tahu Pak Billy kuliah S1 di Jakarta?” Dewi semakin memicing ke arah Nindy saat melihatnya menutup mulutnya tiba-tiba. "Aku, kan, belum pernah cerita sama kamu soal ini." Dewi memang belum pernah memberitahu Nindy hal itu. Yang pernah dia beritahukan pada Nindy hanyalah saat Billy menyelesaikan study-nya di Singapore dan bekerja di sana setelah lulus. Di kantor itu, yang tahu Billy pernah berkuliah di Jakarta hanya Dewi dan Pak Edwin. Itu sebabnya dia merasa heran pada Nindy karena mengetahui informasi itu. "Itu ... aku ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN