Air Mata Duka

2348 Kata
Pagi ini terasa lebih canggung dibanding pagi sebelumnya saat masih ada Agil dan Selia. Secanggung mentari yang enggan menampakkan diri meski hari sudah merangkak pukul sepuluh pagi. Baik Gharal maupun Kia sibuk dengan aktivitas masing-masing. Gharal memotret pemandangan di sekitar vila, sedang Kia duduk di gazebo sembari membaca novel yang sengaja ia bawa untuk mengusir kejenuhan. Sebenarnya ada banyak objek wisata yang bisa dieksplor di Lembang. Namun kedua sejoli itu tak berminat untuk bepergian. Tentu saja Gharal kurang berkenan mengajak Kia jalan-jalan. Kia menatap Gharal dari kejauhan. Laki-laki yang semalam mereguk keromantisan bersamanya ini terlihat begitu cuek, tanpa peduli akan keberadaannya. Sejak selesai salat Subuh, kedua orang itu tak lagi saling tegur sapa. Ada rasa sakit yang masih saja menghunjam hingga ke dasar hati setiap kali Kia teringat perkataan Gharal yang menyatakan bahwa dia melakukan hubungan intim dengannya semata karena nafsu belaka, bukan karena cinta. Sejenak ia merutuki diri sendiri. Ada sejuta tanya yang menari-nari di benaknya. Apakah pria selalu seperti ini? Memandang seks semata untuk menuntaskan hasratnya? Hanya sebuah penyaluran syahwat tanpa ikatan rasa. Kia menyerahkan segalanya untuk Gharal dengan segenap rasa cinta yang semakin menguat. Dia tahu sudah kewajibannya sebagai seorang istri untuk melayani suami di ranjang. Dia berharap Gharal akan menyadari bahwa pernikahan sejatinya adalah penyempurna setengah agama. Pernikahan itu ibarat sekolah seumur hidup di mana suami dan istri sama-sama belajar untuk saling mencintai karena Allah, memperbaiki diri, saling menghargai, memahami, dan mengingatkan, lalu berjalan bersama-sama menuju jannah-Nya. Namun sepertinya Kia harus berhenti berharap. Berharap pada manusia pada akhirnya akan mengecewakan. Kia berusaha untuk tetap tersenyum meski dalam hati menjerit. Terkadang dia ingin berteriak, memanggil segala yang ada agar kata hatinya didengar. Sungguh begitu sakit dijadikan sekadar pelampiasan dan tak pernah dicintai. Gambaran ideal pernikahan impian yang dulu mengisi sebagian imajinasinya kini menguap begitu saja. Dia tak mau mengingatnya lagi karena pernikahan yang ia jalani sekarang bagai penderitaan yang tak berujung. Terngiang ucapan Santika yang mengatakan bahwa saat ada seseorang yang melamar, maka hal utama yang dilihat adalah bagaimana agamanya. Apakah dia orang yang taat pada aturan agama atau tidak? Apakah dia seorang muslim yang taat atau tidak? Bagaimana akhlaknya? Bagaimana kesalihannya? Ketika kau menikah dengan pemuda yang salih maka kau sungguh beruntung. Yang namanya salih itu sudah mencangkup segala aspek. Rajin beribadah, menyayangi istri, sayang keluarga, bertanggungjawab, tahu benar apa hak dan kewajibannya. Seorang imam yang baik adalah seseorang yang mampu menjalankan tugasnya seperti yang tercantum dalam surat At-Tahrim ayat enam, yaitu menjauhkan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Dia juga harus mampu menjadi sosok laki-laki seperti dalam salah satu hadis ‘orang yang paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya diantara mereka dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istrinya’ (HR. Tirmidzi). Kia tahu benar, Gharal belum memenuhi syarat itu. Dia memperlakukannya dengan kasar, bukan tipikal suami yang lembut terhadap istri. Kia melirik Gharal sebentar. Gharal jauh dari gambaran sosok suami ideal. Ia juga tahu, dirinya pun bukan istri yang ideal di mata Gharal. Dia mengerti benar bahwa dirinya punya banyak kekurangan. Sesaat ia bertanya, apakah dia salah karena dulu menerima lamaran Gharal tanpa tahu bagaimana kepribadian Gharal? Kia telanjur menerimanya dan kini ia telanjur mencintainya. Kia belum ingin menyerah. Sekelebat asa masih menggantung begitu kuat bahwa suatu saat Gharal akan mencintainya dan menganggapnya ada. Gharal mengedarkan pandangannya dan membidik objek sasarannya dengan sempurna. Kala lensanya menangkap bayangan Kia yang tengah duduk di gazebo, dia tertegun sesaat. Ingatan akan betapa panasnya percintaan mereka semalam mengusik konsentrasinya. Kini ia memaklumi kenapa Agil kerap uring-uringan jika terlalu lama tidur sendiri. Seks itu seperti candu dan ia ingin mengulangnya. Namun untuk kembali membangun keromantisan bersama Kia tentu tak mudah. Dia tak ingin Kia salah paham dan mengiranya begitu menginginkannya. Gharal menatap wanita berperawakan mungil itu lekat-lekat. Setelah diterlisik baik-baik, Kia tidak begitu jelek di matanya. Benar apa yang dikatakan Agil. Dia cute dan manis ketika tersenyum. Ada sensasi yang begitu mendebarkan dan melenakannya kala mereka menyatu seiring dengan gairah yang tak mampu ia bendung. Gharal buru-buru mengenyahkan pikiran mesumnya. Semalam ia telah melihat Kia tanpa sehelai benang pun. Dan ia benci saat sosok mungil itu selalu mencuri imajinasinya kala ia berfantasi tentang indahnya keromantisan yang mereka bangun semalam. Gharal berjalan mendekat ke arah istrinya. Tatapannya menyisir pada jernihnya air yang berkilauan. Ia berpura-pura mengarahkan lensa pada arah air yang tenang. Kia menyadari kehadirannya. Namun ia memilih diam. Dering smartphone Kia yang tergeletak di atas lantai gazebo membuyarkan lamunan gadis mungil itu. “Halo, assalamualaikum.” Gharal memerhatikan cara Kia mengangkat smartphone-nya dan ia menyimak percakapan Kia dengan seseorang di ujung telepon. “Iya, Pak, maaf saya belum bisa datang ke kampus.” “Iya, terima kasih atas perhatian Bapak.” Kia meletakkan kembali smartphone-nya. Gharal penasaran juga siapa sosok yang menelpon Kia barusan. Ingin bertanya rasanya gengsi, tapi dia tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ia berpikir, saat ini dia sudah resmi menjadi suami Kia dan dia berhak tahu semua tentang Kia tanpa ada yang harus disembunyikan. “Siapa yang menelepon?” Kia terhenyak mendengar pertanyaan Gharal. “Dosen pembimbingku,” jawab Kia singkat. Gharal menyeringai, “Keren banget, ya. Biasanya mahasiswa yang nyari-nyari dosen, menghubungi dosen dan mengejar-ngejar dosen, ini sang dosen yang nyari-nyari mahasiswanya karena sudah beberapa hari nggak datang ke kampus.” Kia tak menganggapi apa pun. “Dosen lo bapak-bapak? Atau masih muda?” Gharal melirik Kia dan menatapnya dingin. Kia menoleh ke Gharal. Dia tak mengerti kenapa Gharal berubah menjadi sosok yang selalu ingin tahu tentang apa yang tengah ia pikirkan. “Ya, 29 tahun. Untuk ukuran dosen, dia masih muda.” Kia menjawab dengan begitu tenang. “Sudah menikah atau single?” Lagi-lagi Kia tercekat. Kenapa Gharal begitu ingin tahu sosok dosen pembimbingnya? Kia melirik Gharal yang masih mematung menatapnya dari pinggir kolam. “Masih single. Dia dijuluki dosen idola oleh para mahasiswi.” Gharal terkekeh, “Wow. Dosen idola, ya. Dia cakep?” Pertanyaan Gharal kali ini membuat Kia terkesiap. Dia beranjak dan berdiri dalam jarak satu meter di sebelah suaminya. Ia menatap Gharal lebih tajam dari sebelumnya. “Bukan cakep lagi, tapi sangat tampan. Kalau kamu suka nonton drama Korea dan tahu siapa itu Park Seo Joon, seperti itulah gambaran Pak Abinaya Haidar.” Gharal terperangah. Baru kali ini ia mendengar Kia memuji laki-laki lain. “Park siapa?” mendadak Gharal merutuki dirinya sendiri. Tak seharusnya ia menanyakan hal yang tak perlu karena itu hanya akan membuatnya terlihat semakin konyol. Kia mengalihkan pandangannya ke arah kolam dan mengulas senyum tipis. Ditatapnya Gharal sekali lagi. “Park Seo Joon. P-a-r-k S-e-o J-double-o-n. Googling aja kalau ingin tahu.” Kia berlalu dari hadapan Gharal. Mata Gharal menatap langkah istrinya begitu awas. Saat sosok Kia masuk ke dalam vila dan menghilang dari pandangannya, Gharal mengeluarkan smartphone-nya, dan ia pun mengetik nama ‘Park Seo Joon’ pada kolom pencarian. Setelah keluar gambar-gambar Park Seo Joon, Gharal mengernyitkan dahi. “Masa iya dosen pembimbing Kia seganteng ini? Ah, gue masih lebih ganteng dari dia.” Gharal melayangkan pandangan pada arus air kolam yang begitu tenang. Ia memikirkan tentang apa saja yang mungkin dilakukan Kia hingga dosen pembimbingnya begitu perhatian padanya. Apa Kia pernah membawa masakannya ke kampus dan memberikannya untuk dosennya? Apa Kia merayu dosennya? Tanpa alasan yang jelas, Gharal merasa kesal. Mengapa Kia bisa dengan mudahnya menarik simpati laki-laki? Agil, dan sekarang dosen pembimbingnya. Malamnya atmosfer di antara mereka masih saja kaku. Kia memasak sop jamur hangat untuk makan malam mereka. Gharal melahap masakan Kia yang lagi-lagi begitu enak di lidahnya. Namun tetap saja ia tak memuji apa pun. Smartphone-nya berdering berkali-kali. Panggilan tak terjawab dari Fara mendominasi daftar missed call. Gharal menelepon balik Fara. “Ada apa, sayang?” Mata Kia terbelalak. Ia melirik suaminya yang berjalan mondar-mandir di sebelah tirai sembari menelepon seseorang. Panggilan ‘sayang’ itu memancing rasa ingin tahunya. Mungkinkah Gharal menelepon Fara? Gharal sengaja mengucapkan kata ‘sayang’ sekeras mungkin agar hati Kia panas mendengarnya. “Baiklah, aku akan ke sana.” Gharal menutup teleponnya. Kia setengah bad mood mendengar Gharal akan pergi malam ini. Gharal masuk ke dalam kamar dan mengambil jaket serta kunci mobil. “Kamu mau ke mana?” Gharal melirik Kia, “Gue mau ke kota, mau clubbing. Nanti juga pulang ke sini lagi.” Gharal bicara dengan raut wajah yang datar. Dia melangkah mendekat pada Kia. “Ingat, jangan pernah mengadu ke Ayah Ibu. Cukup jadi istri yang manis.” Tatapan maut Gharal terkadang membuat Kia terhipnotis. Tapi tidak kali ini. Kia ingin mencegah suaminya pergi. “Jangan pergi, Gha. Clubbing itu nggak baik. Night club itu bukan tempat yang baik, Gha. Clubbing hanya akan membawa banyak mudharat.” Kia menarik tangan Gharal tapi segera ditepis oleh laki-laki berambut spike itu. “Lo nggak usah ngatur-ngatur, deh. Secara status lo emang bini gue. Tapi lo nggak berhak ngatur kehidupan gue.” Gharal tetap melangkah keluar. Kia menyusulnya dan berusaha mengejar Gharal meski melangkah tertatih dengan jalan yang terpincang-pincang. “Gha, aku mohon jangan pergi.” Gharal sama sekali tak mengindahkan larangan Kia. Dia masuk ke dalam mobil, menutup kaca jendelanya dan tak menghiraukan gerakan tangan Kia yang berulang kali mengetuk kaca jendela. Mobil melaju meninggalkan pelataran. Ada sepotong hati yang terluka. Kia sudah berusaha maksimal untuk mencegah Gharal berbuat maksiat. Apa mau dikata, Gharal tak mau mendengarkan. Kia melangkah gontai masuk ke dalam vila. ****** Kia yang tertidur di sofa terbangun saat sayup-sayup deru mobil Gharal memasuki halaman. Dia mengucek matanya lalu melirik jam di layar smartphone-nya. Sudah jam tiga dini hari. Kia mendengar suara beberapa orang dari luar. Sepertinya Gharal tidak pulang sendiri. Kia menyambar kerudungnya yang ia letakkan di meja. Setelah mengenakannya, Kia melangkah menuju jendela depan. Disibaknya sebagian tirai. Ia melihat Gharal dipapah Agil dan satu orang cowok. Gharal berjalan sempoyongan. Apa dia mabuk? Kia membuka pintu. Agil menatapnya datar dan ia merasa bersalah karena baru datang ke club di saat Gharal sudah setengah mabuk. Begitu melihat Kia, Gharal langsung menghambur, memeluk tubuh Kia. Bahkan ia mencium pipi Kia serampangan membuat Kia malu dan tak enak hati pada Agil dan temannya. “Untung aku tadi dateng, Ki. Ada yang ngerjain masukin obat perangsang ke minumannya. Makanya aku antar pulang bareng temenku ini. Dia nyetir mobilnya Gharal.” Gharal meracau dan tangannya semakin agresif memeluk Kia. Agil tak enak sendiri melihat obat perangsang itu begitu kuat mengendalikan Gharal. “Kita pulang ya, Ki. Besok gue telepon buat cerita lebih jelas.” “Makasih banyak Agil dan Mas siapa?” Kia melirik teman Agil. Teman Agil yang berambut ikal itu hanya mengulas senyum. “Makasih banyak, ya.” Susah payah Kia menahan tubuh Gharal yang berusaha memeluk dan menciuminya. Agil mengangguk pelan. Dia dan temannya masuk ke dalam mobil. Agil tak enak sendiri melihat tingkah Gharal yang sudah sedemikian terangsang dan agresif pada Kia. Dia tak bisa berlama-lama di vila meski ada banyak hal yang harus diceritakan pada Kia. Mobil Agil melaju meninggalkan sejuta tanya di benak Kia. Siapa yang sampai hati memasukkan obat perangsang ke dalam minuman Gharal? Kia menutup pintu, menguncinya, sementara Gharal masih saja agresif menggerayangi tubuh istrinya. Gharal mendorong tubuh Kia hingga menghimpit tembok. Diciumnya bibir Kia begitu rakus hingga membuat Kia kesulitan mengambil napas. “Kendalikan diri kamu, Gha.” Gharal tak peduli. Ia melepas jaket, sweater, dan terakhir kemejanya. “Gerah ... panas ... please puasin gue. Gue nggak tahan lagi.” Gharal membuka khimar Kia dan menciumi seluruh wajah Kia lalu beralih memberi kiss mark di sepanjang lehernya. Kia tak bisa menolak. Obat perangsang itu membuat Gharal bertingkah begitu beringasan dan kewalahan menahan gairahnya. Gharal mendorong tubuh Kia hingga masuk ke dalam kamar. Sampai akhirnya Gharal menghempas tubuhnya ke ranjang. Gharal melucuti pakaian istrinya dan kembali menciumi Kia tanpa ampun. Kia merasakan sedikit perih kala tanpa sengaja Gharal mengigit bibirnya. Ia melumat bibir Kia begitu ganas. Dalam keadaan seperti ini tentu Gharal tak ingat apa pun untuk berdoa dulu. Kia berdoa dalam hati, memohon ampunan Allah untuk suaminya dan jika dari hasil percintaan malam ini membuahkan kehamilan, ia harap anak mereka kelak akan menjadi anak yang salih kendati ayahnya melakukannya di bawah pengaruh alkohol dan obat perangsang. Ironis. Setitik bulir bening mengalir dari sudut mata Kia. Wanita berperawakan mungil itu menyukai setiap sentuhan dan ciuman hangat Gharal yang membuatnya lupa sejenak pada buruknya hubungan mereka. Namun, ia merasa sedih karena belum berhasil mengubah Gharal menjadi lebih baik. Dan rasanya berat saat membayangkan esok hari ketika bangun tidur, apa yang terjadi malam ini hanya akan meninggalkan jejak tanpa arti di hati Gharal. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN