Eps. 9 Perutku Sakit

1300 Kata
Sore mulai merambat turun, bayangan senja menyusup masuk ke sela jendela besar ruang kantor Devan. Ia baru saja merapikan berkas, mengambil tas kerjanya, bersiap pulang—saat suara dering ponsel kembali mengisi ruangan. Ia menoleh cepat, ekspresinya refleks berubah kaku. Layar ponsel menyala. Nama yang muncul membuat napasnya tertahan. LYLA. Devan mendecak pelan, wajahnya menegang. “Kenapa dia nelepon lagi?” gumamnya dengan nada kesal namun penuh tekanan. Ia enggan mengangkat, tapi ponsel terus berdering, seolah mendesaknya untuk memberi perhatian. Dalam pikirannya, berputar banyak hal. Apakah ada kabar buruk? Apakah soal janin lagi? Atau Lyla ingin menuntut lebih dari sekadar kehadirannya di rumah sakit? Devan memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam. Rasa lelah di wajahnya bukan lagi soal pekerjaan—melainkan hidup yang semakin rumit ia sembunyikan. Devan memandangi ponsel itu dengan rahang mengeras. Jemarinya sempat terangkat, hendak menekan tombol “tolak”, tapi deringnya terus berdentang—semakin nyaring, menyayat, seperti suara yang menelanjangi ketenangan sore itu. Nada dering yang biasanya terdengar biasa saja, kali ini terasa seperti alarm dari kekacauan yang tak bisa lagi ia hindari. Dengan berat hati dan desahan pelan, akhirnya ia menggeser layar dan mengangkatnya. “Ada apa lagi, Lyla?” suara Devan terdengar datar, namun dalamnya penuh letih. Dari seberang, suara Lyla terdengar panik, tegang. “Dev...tolong, kamu harus ke sini sekarang. Perutku...sakit. Aku baru jatuh dari motor.” “Apa?” “Aku baru pulang dari minimarket dan buru-buru mematikan motor di rumah, terus tiba-tiba motor goyah dan hampir mengenai tubuhku. Aku takut saja terjadi sesuatu pada bayi ini. Tolong...kemari sebentar, aku sendiri.” Hening. Devan membeku sejenak. Antara nuraninya sebagai pria yang bertanggung jawab…dan rasa bersalahnya pada Rhea, yang tak tahu apa-apa. Sekali lagi, hidupnya ditarik ke arah yang tak pernah ia rencanakan. Devan memejamkan mata rapat-rapat, lalu meraup wajahnya kasar dengan kedua tangan, seolah ingin menghapus beban yang menempel di setiap jengkal kulitnya. Napasnya memburu, dadanya terasa berat. Ia berdiri di antara dua dunia—yang satu berisi cinta dan ketulusan Rhea, dan yang lain adalah kenyataan pahit dari satu malam kelam yang kini menjelma menjadi tanggung jawab yang tak bisa ia hindari. Pikirannya berteriak, menolak. Tapi hatinya…tak bisa menutup mata. “Kalau anakku sedang terluka, dan aku tahu…bisakah aku tinggal diam?Ayah macam apa yang membiarkan itu terjadi?” Devan mengepalkan tangan, lalu mengangkat ponsel ke telinganya dengan berat. “Ya…tunggu sebentar,” ucapnya akhirnya, suara serak tapi mantap. “Aku akan ke sana.” Tak ada kata lain. Keputusan itu membuat langkahnya terasa berat—tapi ini bukan lagi soal Lyla. Ini soal seorang anak yang bahkan belum lahir…dan butuh ayahnya sekarang. Dengan gerakan cepat dan terburu-buru, Devan menutup laptopnya, memasukkannya ke dalam tas kerja tanpa banyak pikir, lalu meraih kunci mobil dari laci. Suasana kantornya yang biasanya tenang menjelang malam kini terasa begitu sempit, seolah mencekiknya dari segala arah. Langkahnya tergesa, menyusuri koridor menuju parkiran khusus di basement tempat mobil pribadinya terparkir. Setibanya di sana, ia langsung membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi tanpa banyak ragu. Tangannya sempat menggenggam erat setir, menatap kaca depan tanpa fokus. Tapi waktu tidak memberinya kemewahan untuk berpikir terlalu lama. “Ini bukan soal pilihan lagi. Ini soal nyawa.” Ia menyalakan mesin, melaju keluar gedung dengan cepat, menyusuri jalan yang mengarah ke satu tempat yang bahkan tak ingin ia datangi…rumah Lyla. Dan di sepanjang perjalanan, hati Devan semakin berat—karena ia tahu, semakin dekat ia ke Lyla, semakin jauh ia dari Rhea. Mobil Devan berhenti perlahan di depan sebuah rumah bergaya minimalis dua lantai yang terletak di kawasan perumahan tenang. Rumah itu tampak sederhana namun tertata rapi, dengan cat dinding berwarna abu terang dan pagar besi hitam yang terbuka setengah, seolah sudah menunggu kedatangan seseorang. Halamannya kecil, hanya dihiasi beberapa pot tanaman di sisi teras, tapi tampak terawat. Devan turun dari mobil dengan langkah berat. Setiap derap langkahnya menuju pintu rumah terasa seperti menyeret luka yang belum selesai. Tangannya sempat berhenti di atas gagang pintu sebelum akhirnya ia membuka dan masuk. Begitu ia melangkah masuk ke ruang tamu bernuansa hangat, aroma bunga lavender samar-samar tercium dari pengharum ruangan. Sofa cokelat muda di sudut ruangan terlihat sudah diduduki oleh Lyla, yang tampak pucat dan gelisah. Wanita itu duduk membungkuk, kedua tangannya memegangi perutnya yang besar, wajahnya jelas menahan sakit. Begitu melihat Devan, mata Lyla menatap dengan campuran rasa lega dan ketakutan. “Dev…” suara Lyla parau, pelan, penuh ketegangan. “Akhirnya kamu datang…” Devan duduk di samping Lyla, tubuhnya kaku dan gugup. Ia melirik wanita di sebelahnya yang tengah menggenggam perut dengan ekspresi kesakitan. Suara Devan keluar pelan, mencoba terdengar tenang meski dadanya masih penuh konflik. “Bagaimana kondisimu sekarang, Lyla?” Lyla menoleh pelan, matanya sembab, wajahnya pucat. “Masih sakit…,” gumamnya lemah. “Perutku terasa nyeri, seperti ditekan keras dari dalam… kadang menusuk sampai ke punggung. Bayinya bergerak terus, dan aku... aku takut, Dev.” Ia menunduk, mengusap pelan perutnya, mencoba menenangkan diri—tapi yang ia butuhkan bukan sekadar ketenangan fisik. Matanya melirik Devan dengan harap. Harapan akan sesuatu yang lebih dari tanggung jawab…kasih sayang. “Aku tahu…aku cuma istri sirimu, Dev,” ujarnya pelan, namun jelas. “Tapi bisakah…untuk saat ini…kamu ada di sini bukan karena kewajiban, tapi karena peduli?” Suaranya bergetar. Karena yang Lyla harapkan bukan hanya kehadiran Devan sebagai calon ayah. Tapi sebagai pria yang memeluk, menguatkan, dan menghapus rasa takutnya—walau hanya untuk malam ini saja. Devan mengalihkan pandangan dari wajah Lyla dan menatap jam di pergelangan tangannya. Detik demi detik terasa lebih berat dari biasanya. Waktu terus berjalan, dan ia tahu pemeriksaan kandungan bukan hal yang bisa diselesaikan sebentar. Di sisi lain, bayangan Rhea yang mungkin sudah mulai menunggunya di rumah membuat dadanya makin sesak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri. “Kita berangkat sekarang, Lyla,” ujarnya datar namun tegas. Lyla menatapnya sejenak, jelas kecewa karena tidak mendapat respons emosional seperti yang ia harapkan. Tapi ia juga tahu, Devan bukan pria yang mudah menunjukkan isi hatinya, terlebih dalam kondisi seberat ini. Dengan kaku, Devan membungkuk sedikit, membantu Lyla berdiri dan menopangnya perlahan. Gerakan mereka canggung—tidak seperti pasangan suami istri yang saling dekat, tapi lebih seperti dua orang yang diikat oleh keadaan, bukan oleh cinta. Langkah mereka menuju mobil terasa lambat. Beban bukan hanya di perut Lyla, tapi juga di bahu Devan—beban rahasia dan konsekuensi yang makin mendesak untuk dibayar. * Di dalam mobil yang melaju tenang menyusuri jalan kota menjelang malam, Devan menggenggam erat kemudi. Jemarinya menegang, rahangnya mengeras. Ia mencoba tetap fokus, menahan gelombang emosi yang terus naik di dadanya. Suasana di dalam mobil hening—sangat hening. Tak ada percakapan, hanya suara AC dan desiran jalan. Devan berusaha keras menenangkan diri. Tapi dalam diamnya, pikirannya bergemuruh. Wajah Rhea sekilas melintas dalam benaknya. Senyum hangatnya, tatapan teduh saat mereka sarapan bersama, dan suara lembutnya yang memanggil namanya dengan penuh cinta—semuanya tiba-tiba terasa terlalu nyata…dan terlalu jauh. Di kursi penumpang, Lyla menatap Devan dalam diam. Matanya menelusuri garis wajah pria itu, yang terlihat tegang dan tidak nyaman. Ia bisa merasakannya—Devan tak sepenuhnya hadir untuknya. Ada yang jauh dari jangkauannya. Ada wanita lain yang kini jelas ada di antara mereka. Dan di dalam hatinya, Lyla tahu itu adalah Rhea. Wanita yang tidak pernah ia sebut… tapi selalu menghantui. Suara dering telepon mendadak memecah kesunyian di dalam mobil, membuat Devan tersentak kecil. Matanya langsung melirik ke layar ponsel yang terpasang di dashboard. Nama itu muncul jelas. RHEA. Jantungnya seketika berdegup lebih cepat. Lyla melirik pelan, menangkap perubahan raut wajah Devan yang kini makin kaku. Suasana yang sudah tegang, kini berubah semakin mencekam. Seperti dua dunia yang saling bertabrakan—masa kini dan rahasia yang belum terbongkar. Devan tak langsung mengangkat. Tangannya menggantung di atas layar, ragu. Karena ia tahu, satu kata dari Rhea…bisa membuka luka yang belum siap untuk terungkap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN