Bab 1

1081 Kata
"Mei ..." Dio memegangi kepalanya yang terasa berat. Tubuhnya menggigil, keringat dingin bercucuran, dan wajahnya pucat pasi. Ia meraih ponsel di meja samping ranjang, lalu menekan nomor istrinya dengan tangan gemetar. “Rena …” suaranya terdengar lemah. “Cepatlah pulang! Aku demam … Tolong buatkan aku sup ayam dan juga belikan obat penurun panas. Aku benar-benar sudah tidak kuat lagi.” Namun, alih-alih khawatir, suara di seberang sana justru terdengar dingin dan tegas. “Suruh saja si Meila yang membuatkan sup ayam. Dan suruh juga dia ke apotik untuk membelikanmu obat. Aku sebentar lagi meeting bersama Pak Frans. Dia klien kelas kakap. Tidak enak membatalkan janji tiba-tiba. Bisa-bisa, nanti dia kabur!” Dio terdiam sejenak, napasnya berat. Ia memejamkan mata, mencoba menahan rasa kecewa yang menggerogoti hatinya. “Bahkan … mengurus suamimu pun, kau serahkan pada adik tirimu!” katanya lirih, penuh perasaan yang tertahan. Namun Rena hanya tertawa pendek. “Dio, jangan manja. Kau itu laki-laki dewasa. Sup ayam dan obat itu bisa diurus oleh Meila. Lagi pula, aku sedang sibuk. Aku tutup dulu, ya. Meeting sudah mau mulai.” Klik! Sambungan telepon terputus begitu saja. Dio mendesah panjang, ponsel diletakkannya dengan kasar di atas nakas. Matanya sayu, penuh kekecewaan. Istrinya lebih peduli pekerjaan daripada dirinya sendiri. Dengan sisa tenaga, ia memanggil, “Meila …! Meila, tolong ke sini sebentar!” Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka perlahan. Seorang gadis muda dengan wajah polos dan rambut terikat rapi masuk sambil menunduk. “Iya, Kak Dio. Ada apa?” Dio berusaha duduk meski kepalanya terasa berputar. “Bisa tolong buatkan aku sup ayam? Dan … belikan obat penurun panas di apotek terdekat. Kakakmu sibuk … dia tak bisa pulang.” Meila terdiam sejenak. Ada luka di matanya mendengar alasan itu, tapi ia segera menunduk hormat. “Baik, Kak Dio. Aku akan segera masak dan membeli obat.” “Terima kasih, Meila …” suara Dio melemah, namun matanya menatap gadis itu dengan lembut. Di rumah ini, hanya Dio yang memperlakukannya dengan lembut. Kakak dan ayah tirinya justru sering menindasnya. Meila segera berlari ke dapur. Tangan mungilnya cekatan membersihkan ayam, menyiapkan jahe, bawang, dan bumbu lainnya. Meski tubuhnya lelah karena seharian disuruh bekerja oleh Rena, tak ada keluhan keluar dari bibirnya. Sambil mengaduk panci, ia bergumam memaki kakak tirinya, “Dasar! Wanita tidak peka! Suami sakit malah ditinggal kerja! Kalau suamimu jatuh cinta pada wanita lain yang lebih perhatian padanya … kamu pasti akan menangis darah.” Setelah sup mendidih dan aromanya harum, Meila menutup kompor. Ia lalu bergegas ke apotek untuk membeli obat. Hujan deras baru saja reda ketika Meila kembali dari apotek. Tangannya menggenggam kantong plastik berisi obat penurun panas. Baju dan rambutnya agak basah, tapi ia tidak mempedulikannya. Setelah berganti pakaian, ia kembali ke kamar Dio, membawa semangkuk sup hangat dan obat di tangannya. Saat membuka pintu kamar, ia mendapati Dio masih berbaring lemah. Wajah pria itu tampak pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Meila buru-buru mendekat sambil meletakkan kantong obat di meja. “Kak Dio, ini teh hangat dan obatnya. Ayo diminum, biar cepat sembuh,” ucap Meila dengan nada lembut, menyodorkan cangkir berisi teh panas. Meila mengingat, jika Dio belum makan apapun sejak pagi. Bagaimana mungkin dia bisa minum obat? “Kak Dio … ayo makan dulu, aku suapin. Setelah itu, baru minum obat. Biar panasnya cepat turun.” Dio menoleh pelan. Melihat Meila berdiri dengan wajah cemas, hatinya terasa hangat. “Kau benar-benar … malaikat kecilku,” bisiknya. Meila tersenyum tipis, lalu duduk di tepi ranjang. Ia meniup sup agar tidak terlalu panas, lalu menyuapkan sendok pertama ke mulut Dio. Dio menatapnya dalam diam. Ada perasaan aneh yang mulai tumbuh, sesuatu yang tidak seharusnya ia rasakan kepada adik iparnya sendiri. *** Malamnya, Meila kembali ke kamar Dio. Dia berniat mengecek suhu tubuh lelaki itu. "Mas Dio, apa sakitnya sudah berkurang?" tanya Meila sambil memegang dahi sang kakak ipar. Namun Dio hanya diam, bibirnya gemetar, tubuhnya menggigil. Panik melihat keadaan sang kakak ipar, Meila segera mematikan ac kemudian menaikkan selimutnya. Namun, tubuh Dio justru semakin menggigil. Lelaki itu bahkan mulai meracau tidak jelas. "Mei ... Meila ..." “Astaga … Kak Dio! Kak, tubuhmu panas sekali.” Ia refleks memegang kedua pipi Dio, suhu panas yang menyengat membuatnya makin cemas. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke lemari untuk mengambil selimut tebal. Selimut itu segera ia bentangkan dan menyelimuti tubuh Dio yang kaku kedinginan. “Mas, bertahanlah. Aku akan menolongmu,” bisiknya, pelan Tidak berhenti di situ, Meila bergegas ke dapur, mengambil baskom, mengisinya dengan air dingin, lalu kembali ke kamar. Ia merendam handuk kecil ke dalam baskom, memerasnya, lalu menempelkan di kening Dio. Dio bergumam lirih, matanya setengah terbuka. “Mei … la …” Meila tertegun, jantungnya berdegup lebih cepat kala mendengar namanya kembali disebut oleh lelaki itu. Ia meraih tangan Dio dan menggenggamnya erat. “Aku di sini, Mas. Jangan khawatir. aku tidak akan pergi meninggalkanmu.” Keringat terus mengucur dari tubuh Dio. Meila tekun mengganti kompres di keningnya, mengusap pelipisnya dengan penuh kesabaran. Sesekali ia menepuk pelan pipi Dio agar pria itu tidak terlelap terlalu dalam. Jam menunjuk ke angka 12. Namun, hingga saat ini, Rena belum juga pulang. Tak tega meninggalkan kakak iparnya, Meila akhirnya memutuskan untuk menunggu di kamar. Dia duduk di kursi di samping ranjang, matanya sembap menahan kantuk. Namun ia berusaha untuk tetap terjaga. Setiap kali kompresannya terasa hangat, ia langsung menggantinya dengan yang baru. Sesekali ia menghela napas panjang. "Kalau Kak Rena ada di sini, apakah dia juga akan melakukan ini? Atau … dia justru tidur nyenyak dan membiarkan suaminya Dio kembali bergumam lirih, suaranya nyaris tak terdengar. “Terima kasih … Meila …” Meila tersentak, menatap wajah pucat itu dengan perasaan campur aduk. “Tidak perlu berterima kasih, Mas. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya. Mas adalah suami Kak Rena … aku tak mungkin membiarkan Mas sakit sendirian.” Meski ucapannya demikian, hatinya justru merasakan sesuatu yang aneh. Rasa hangat yang mulai menjalar di lubuk hatinya. Tak dapat lagi menahan kantuk, Meila memutuskan untuk tidur sambil duduk di samping Dio. Tangan mereka masih saling tertaut. Dio benar-benar tak mau melepaskan genggaman tangannya. Adzan subuh mulai berkumandang, Dio yang merasa sudah baikan terbangun lebih dulu. Lelaki itu tersenyum saat melihat tangannya yang masih menggenggam tangan Meila. "Kamu cantik, Mei. Apalagi kalau lagi tidur begini." Dio pun memindahkan tubuh Meila agar berbaring di sampingnya. Melihat langit yang masih gelap, Dio kembali memejamkan matanya. Tanpa sadar, Dio memeluk Meila. Posisi mereka begitu dekat saat pintu kamar berderit terbuka ... "Meilaaaa!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN