Ebas berjalan dengan langkah cepat menuju ruang tamu, namun suara teriakan histeris dari lantai atas memaksanya berhenti sejenak.
“Jangan sentuh aku! Jangan dekat-dekat!”
Suara itu melengking, pecah, seperti seseorang yang benar-benar terpojok oleh rasa takut. Jantung Ebas berdegup kencang. Dia berbalik, berlari menaiki tangga, dan mendapati ART-nya berdiri dengan wajah kebingungan di depan kamar tamu.
“Pak, saya tidak tahu harus bagaimana. Dia sangat ketakutan. Saya hanya mencoba membantunya keluar dari kamar, tetapi dia…” ART itu menggantungkan kalimatnya sambil menunjuk pintu kamar yang sedikit terbuka.
Ebas melambaikan tangan, meminta ART-nya mundur. “Aku yang akan menangani ini. Pastikan tidak ada yang naik ke lantai ini,” katanya dengan nada tegas, meskipun dalam hati ia merasa sedikit gugup.
Ketika mendekati pintu kamar, dia berhenti sejenak. Dari celah pintu, dia melihat Nala meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar hebat. Selimut tebal melilit tubuhnya, seolah menjadi tameng dari bahaya yang hanya dia sendiri yang tahu.
“Nona,” Ebas memulai, suaranya lembut tetapi cukup tegas untuk terdengar. “Aku di sini. Aku tidak akan menyakitimu.”
Namun, tanggapan Nala langsung menusuk hatinya.
“Tidak! Jangan mendekat! Aku… aku tidak akan membiarkanmu melukaiku!” teriaknya, disertai isakan yang semakin keras.
Ebas menarik napas panjang. Dia menundukkan kepala sejenak, mencoba mencari cara agar tidak memperburuk situasi. Dia tahu bahwa memaksa wanita ini berbicara hanya akan membuatnya semakin panik.
“Oke,” katanya, mengubah nada suaranya menjadi lebih tenang. “Aku tidak akan masuk. Kau tidak perlu takut. Aku hanya ingin berbicara. Kita bisa berbicara dari sini.”
Isakan Nala mulai mereda, tetapi tubuhnya masih gemetar. Matanya, meskipun merah dan bengkak, tetap terfokus pada pintu, penuh rasa curiga.
“Kenapa… kenapa aku di sini?” tanyanya, suaranya lemah tetapi penuh dengan keputusasaan. “Apa yang kau inginkan dariku? Jangan… jangan sakiti aku…”
Ebas menelan ludah. Setiap kata yang keluar dari mulut wanita itu seperti menumpahkan beban berat di pundaknya. Apa yang telah dialaminya hingga ia begitu ketakutan?
“Kau berada di sini karena aku menemukamu tadi malam,” jawab Ebas, suaranya tetap lembut. “Kau tergeletak di tengah jalan. Aku membawamu ke sini karena aku tidak bisa meninggalkanmu seperti itu.”
Nala menatapnya dari balik pintu. “Kenapa kau tidak membiarkanku mati saja?” tanyanya dengan nada yang lebih rendah, tetapi setiap kata itu seperti tusukan belati bagi Ebas.
Ebas terdiam beberapa detik sebelum menjawab. “Karena tidak ada orang yang pantas mati sendirian di jalan,” katanya pelan, tetapi penuh keyakinan.
Hening menyelimuti ruangan. Isakan Nala berhenti sepenuhnya, meskipun tubuhnya masih gemetar. Perlahan, dia menurunkan selimut yang melilit tubuhnya, matanya mulai melirik ke arah pintu dengan sedikit keberanian.
“Dengar,” lanjut Ebas. “Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu, dan aku tidak akan memaksamu untuk bercerita. Tapi kau aman di sini. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”
Nala tidak menjawab, tetapi pandangannya tidak lagi sekeras sebelumnya. Dia mengangguk kecil, meski ragu-ragu.
“Baik,” ujar Ebas. “Aku akan meninggalkanmu sekarang. Kalau kau butuh sesuatu, ada bel di samping tempat tidur. Tekan saja, dan seseorang akan datang.”
Ebas menutup pintu perlahan, memastikan tidak ada suara berisik yang dapat mengejutkan Nala lagi. Dia berdiri sejenak di luar kamar, menghela napas panjang. Kepalanya penuh dengan pertanyaan, tetapi dia tahu ini bukan saatnya untuk mencari jawaban.
Ketika berjalan menjauh, dia bertemu kembali dengan ART-nya. “Pastikan tidak ada yang mengganggunya,” katanya singkat sebelum melanjutkan langkah ke ruang kerjanya. Namun, langkahnya terasa berat, karena bayangan ketakutan wanita itu terus terngiang di benaknya.
****
Di ruangan CEO yang luas dan elegan, Ebas duduk di balik meja kayu mahoni besar. Jendela kaca di belakangnya menawarkan pemandangan kota yang sibuk, meskipun pikirannya tidak sedang berada di sana. Tatapannya terfokus pada layar laptop di depannya, tetapi jelas terlihat bahwa ia tidak benar-benar memperhatikan apa yang ada di sana.
Pintu ruangannya diketuk perlahan, dan tak lama kemudian Galih, asistennya yang setia, masuk dengan membawa tablet di tangannya.
"Anda memanggil saya, Tuan?" tanya Galih dengan nada sopan, berdiri tegak di depan meja Ebas.
Ebas mengangkat kepalanya, menatap Galih sejenak sebelum mengangguk. Dia menutup laptopnya dan melipat tangannya di atas meja.
"Ya, Galih. Saya butuh bantuanmu untuk menyelidiki sesuatu," kata Ebas, suaranya serius.
Galih mengangkat alis, namun tidak berkata apa-apa, menunggu perintah lebih lanjut.
"Wanita yang saya temukan kemarin malam," lanjut Ebas. "Saya ingin kau mencari tahu siapa dia. Namanya, asalnya, dan yang paling penting, apa yang terjadi padanya hingga dia tergeletak di tengah jalan seperti itu."
Galih mengangguk perlahan. "Baik, Tuan. Apakah ada petunjuk awal yang bisa saya gunakan untuk memulai pencarian ini?"
Ebas terdiam sejenak, mengingat malam itu. "Dia tidak membawa apa-apa. Tidak ada tas, dompet, atau dokumen. Tapi pakaiannya... kelihatan seperti dia melarikan diri. Periksa juga daerah sekitar tempat kita menemukannya, tanyakan ke pihak keamanan atau penduduk di sana. Mungkin ada yang melihat sesuatu."
Galih mencatat dengan cepat di tabletnya. "Saya mengerti. Apakah ada hal lain yang perlu saya cari tahu, Tuan?"
Ebas menggeleng, lalu menambahkan, "Kita tidak tahu apa yang dia alami, tapi aku yakin itu bukan sesuatu yang sederhana. Jadi lakukan dengan hati-hati. Jangan sampai ini membuat masalah bagi wanita itu."
"Baik, Tuan," jawab Galih sambil mengangguk lagi. Dia bisa merasakan bahwa Ebas sangat serius dengan permintaan ini.
Sebelum Galih keluar dari ruangan, Ebas memanggilnya kembali.
"Galih," katanya, nada suaranya sedikit melunak. "Jika kau menemukan sesuatu yang menyangkut keluarganya atau orang-orang terdekatnya, pastikan untuk memberitahuku terlebih dahulu sebelum mengambil langkah lebih lanjut."
"Dimengerti, Tuan," jawab Galih tegas.
Setelah pintu tertutup, Ebas menyandarkan tubuhnya ke kursi. Dia memijat pelipisnya, mencoba meredakan ketegangan yang perlahan merayap.
Wanita itu… ada sesuatu tentang dirinya yang membuat Ebas merasa terikat, meski dia belum tahu apa. Keputusasaan di matanya, luka-luka di tubuhnya, dan ketakutan yang begitu nyata—semua itu seperti menanamkan tanggung jawab yang tak bisa dia abaikan.
Dia memandang jendela kaca di belakang meja kerjanya, menyaksikan lalu lintas kota yang tak pernah berhenti.
"Siapa kau sebenarnya?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.