2

869 Kata
Nala berjalan tertatih di tengah malam yang sunyi. Jalanan gelap hanya diterangi lampu jalan yang remang-remang, memberikan bayangan samar pada setiap langkah kecilnya. Kaki telanjangnya terasa perih, terluka oleh kerikil dan aspal dingin yang tak bersahabat. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dinginnya angin malam, tetapi juga karena rasa lapar dan luka-luka yang mendera. Hanya baju tidur tipis yang melekat di tubuhnya, penuh robekan akibat perlakuan kasar suaminya. Kulitnya penuh lebam, dan perutnya melilit karena kosong seharian. Tapi dia terus melangkah, mencoba bertahan di tengah rasa sakit yang tak tertahankan. Pandangannya menyapu ke kiri, ke kanan, lalu ke belakang. Wajahnya dipenuhi kecemasan, berharap tak ada bayangan yang mengejarnya. Dia tahu, Angga masih terkapar di ruang tengah, mabuk dan tak berdaya, bersama wanita yang sama menjijikkannya. Bayangan tubuh Angga yang telanjang di sofa bersama wanita itu kembali melintas di benaknya, membuat perutnya terasa mual. "Menjijikkan," gumamnya pelan, penuh rasa benci. "Apa gunanya aku bertahan di neraka itu?" pikirnya, sementara air mata kembali mengalir tanpa bisa dia cegah. Setiap langkah terasa seperti beban berat, tapi dia tahu, ini adalah satu-satunya jalan. "Tolong, Tuhan... kuatkan aku," doanya lirih. Suaranya hampir tak terdengar, tertelan oleh angin malam yang dingin. Kakinya terus melangkah, meski tubuhnya sudah mulai terasa lemah. Matanya mulai buram, tapi dia memaksa dirinya untuk tetap berjalan. "Jangan sekarang," ringisnya, mencoba melawan kepasrahan yang perlahan menyelimuti tubuhnya. Namun, tubuhnya semakin tak kuat. Rasa perih dari luka-luka di tubuhnya kini bercampur dengan rasa pusing yang semakin hebat. Dunia di sekitarnya mulai berputar, pandangannya semakin kabur. "Jangan sekarang... aku harus pergi lebih jauh..." bisiknya lagi, tapi langkahnya terhenti. Tubuhnya limbung, dan sebelum dia bisa melakukan apa-apa, semuanya berubah gelap. Tubuh Nala terjatuh di tepi jalan yang sepi. Suara jatuhnya tak terdengar, hanya angin malam yang menjadi saksi bisu perjuangannya. --- Malam semakin larut, dan suasana jalanan kota sudah berubah sunyi. Lampu jalan memancarkan cahaya pucat, memantul di aspal basah sisa hujan. Galih, sopir setia Sebasta Bayanaka Indrayan—atau yang lebih dikenal sebagai Ebas—mengemudikan mobil mewah mereka dengan kecepatan sedang, berusaha memastikan perjalanan nyaman bagi majikannya yang terlihat begitu kelelahan. Ebas duduk di kursi penumpang, kepalanya bersandar pada jok mobil. Wajahnya tampak letih, dengan mata yang sesekali terpejam. Seharian ini dia telah didera rapat-rapat yang melelahkan, negosiasi yang memanas, dan keputusan-keputusan besar yang tak bisa ditunda. Baginya, pekerjaan bukan hanya tuntutan, melainkan tanggung jawab besar yang selalu membebani pundaknya. "Tuan, apa Anda akan langsung pulang ke mansion?" tanya Galih, memecah keheningan. "Hmm," gumam Ebas singkat tanpa membuka mata. Tangannya perlahan memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, tanda beban kerja yang terlalu berat. Galih meliriknya melalui kaca spion, khawatir dengan kondisi majikannya. "Apa Anda baik-baik saja, Tuan?" Ebas membuka matanya sedikit dan menatap lurus ke depan. "Sudah, fokus saja pada setirmu. Aku tidak apa-apa," ujarnya dingin, suaranya tajam namun melelahkan. "Maaf, Tuan," balas Galih sopan, menundukkan kepalanya sedikit meskipun pandangannya tetap terfokus pada jalan. Mobil terus melaju, melewati jalanan sepi dengan kecepatan stabil. Hanya suara mesin mobil dan desau angin malam yang menemani mereka. Galih mencoba mengemudi dengan hati-hati, tak ingin membuat majikannya merasa semakin tidak nyaman. Namun, ketenangan itu tiba-tiba pecah. "ASTAGA!" seru Galih panik, kakinya dengan refleks menginjak pedal rem. Mobil mewah itu berhenti mendadak, ban berdecit keras, memecah keheningan malam. Ebas terkejut, tubuhnya terdorong sedikit ke depan meskipun sabuk pengaman menahannya. "Apa-apaan ini, Galih?!" bentaknya, wajahnya berubah tegang. "Tuan... ada seseorang... di tengah jalan!" jawab Galih dengan suara gemetar, menunjuk ke depan. Ebas mengalihkan pandangannya ke luar jendela, dan matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat alisnya berkerut dalam. Di tengah jalan, seorang wanita tergeletak tak bergerak. Rambutnya berantakan, tubuhnya kurus dengan pakaian yang lusuh. Bahkan dari jarak itu, Ebas bisa melihat bahwa wanita itu tidak memakai alas kaki. "Apa dia masih hidup?" tanya Ebas, suaranya penuh nada curiga. "Saya tidak tahu, Tuan. Tapi dia terlihat terluka," jawab Galih cepat. "Keluar dan cek keadaannya," perintah Ebas singkat, dengan nada datar yang tak menunjukkan emosi. Galih segera mematikan mesin dan keluar dari mobil. Dia berjalan mendekati wanita itu dengan hati-hati, menunduk untuk memeriksanya. Wajahnya pucat saat melihat kondisi wanita itu. "Tuan, dia masih bernapas, tapi tubuhnya lemah sekali. Ada banyak luka di tubuhnya," lapor Galih sambil menoleh ke arah Ebas. Ebas menghela napas panjang, mencoba menahan kejengkelannya. "Bawa dia ke mobil. Kita tidak bisa meninggalkannya di sini." Galih ragu sejenak, tetapi kemudian mengangguk dan mengangkat tubuh wanita itu dengan hati-hati. Berat tubuhnya begitu ringan, seperti seseorang yang sudah lama tidak makan. Setelah Galih meletakkannya di kursi belakang, Ebas memutar tubuhnya untuk melihat lebih jelas. Wajah wanita itu penuh luka lebam, dan bibirnya tampak pecah-pecah. Dia terlihat seperti seseorang yang baru saja melarikan diri dari neraka. "Galih, bawa kita ke rumah sakit terdekat," perintah Ebas akhirnya. "Tuan, ini sudah jam satu malam. Rumah sakit terdekat butuh waktu setengah jam dari sini," kata Galih, suaranya ragu. Ebas berpikir sejenak, lalu berkata dengan tegas, "Bawa dia ke mansion. Kita akan panggil dokter ke sana. Jalan sekarang." Galih mengangguk dan segera menyalakan mobil, melajukan kendaraan dengan lebih cepat kali ini. Di kursi belakang, wanita itu terbaring lemah, tubuhnya nyaris tak bergerak. Sementara Ebas kembali menyandarkan kepalanya, memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang kini dipenuhi dengan pertanyaan. "Siapa dia? Dan kenapa dia sampai seperti ini?" pikirnya dalam hati. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN