03.AINARA: 🎵 PERCAYALAH

2145 Kata
🎤: Afgan, Raisa Kadang cinta tidak datang dengan kembang api. Kadang ia datang setelah yang lain pergi. *** Entah sudah berapa lama aku menangis di dalam kamar mandi ini. Yang jelas jemariku mulai mengeriput karena bergeming terlalu lama di bawah rintik air. Tak pernah aku harapkan pernikahan seperti ini. Dinikahi sebagai istri pengganti. Umurku baru 24 tahun. Aku masih ingin melanjutkan sekolah setelah berhasil mengumpulkan sedikit tabungan. Dan harusnya, aku masih punya cukup waktu untuk memikirkan konsep pernikahan yang kuinginkan, untuk mencari tambatan jiwa yang kuidamkan. Bukan seperti ini. Menikahi seorang pria yang mencintai kakakku sendiri sungguh tak pernah terselip dalam doaku. Aku membuka pintu kamar mandi, keluar dari ruangan yang sudah penuh dengan uap hangat di belakangku. Melangkah kembali ke dalam closet, mengambil piyama ice silk berwarna hitam polos dari dalam koperku lalu memakainya. Ku tatap wajahku di cermin, mataku tampak sembab. Mungkin besok pagi akan terlihat lebih buruk lagi. Kembali aku membungkuk, meraih mukena yang terselip di antara tumpukan baju, lalu beranjak keluar dari ruangan itu. "Ayo kita shalat sama-sama, Nara," ajak suamiku yang sudah siap di atas sajadahnya. Enggan ku sahuti. Hanya langkah kaki yang ku tujukan ke atas sajadah di belakangnya. Aku memakai mukenaku dalam diam, sementara Mas Ay memperhatikan setiap gerak gerikku. Hingga dirasanya aku siap, suara takbiratul ikhram mengisi ruang. "Mau langsung tidur?" tanyanya selepas aku mencium punggung tangannya. Meski sebelum aku melakukan itu, Mas Ay lebih dulu yang menarik tanganku untuk ia kecup. Namun saat ia hendak menggapai wajahku, aku berpaling. "Iya, Mas,” jawabku singkat, masih dengan muka masam. ‘Maafin Nara, ya Allah. Nara ngga bermaksud durhaka. Hanya saja, rasanya terlalu kesal mendengar ucapan Mas Ay tadi.’ "Tidurlah. Aku mau mandi dulu,” ujarnya lagi. Aku mendengus pelan. "Iya, Mas." Saat aku akan berdiri, ia menahan lenganku lalu menangkup kedua pipiku, menarikku mendekat, melabuhkan kecupan singkat di keningku yang membuat mataku membelalak dan perutku terasa ngilu setengah mati. Semua terjadi begitu cepat. “Dek?” “Hmm?” “Mas minta maaf ya?” Aku tak mampu menjawab, pun tak mampu berpaling dari tatapannya. “Dimaafin ngga?” tanyanya lagi. Aku mengangguk kaku. Ia tersenyum, lalu hening mengisi jeda. Dan entah bagaimana mulanya, jarak di antara wajah kami kian mengikis. Embusan napasnya yang hangat menyapa lembut wajahku, membuat kedua mataku memejam. Hingga … suara dering ponselnya membuat kami berdua tersentak dan saling mencipta jarak. “A-ada … telpon, Dek,” ujarnya gugup. “Hmm,” gumamku. Malu. “Kalista,” ujarnya kemudian. “Mas mau aku keluar?” balasku. “Ngga perlu,” tanggapnya. “Kalau aku terima di sini, kamu terganggu?” Ku gelengkan kepalaku. “Silahkan, Mas.” Yang tidak aku sangka adalah saat ia mengangkat panggilan itu lalu menekan tombol pengeras suara. Mas Ay meletakkan ponselnya di atas kasur, duduk di tepian ranjang seraya melepaskan kaitan kancing kemejanya satu per satu. "Mas, besok tuh hari Minggu,” ujar Kalista sebagai prolog. “Senin. Besok hari Senin,” tanggap suamiku. Aku refleks menatap jam di dinding, ternyata benar, bahkan sudah lewat dari pukul satu dini hari. “Terserah!” sahut Kalista, ketus. “Urusan hari aja dipermasalahin! Ribet lo, Mas!” “Segala sesuatu yang salah, harus diperbaiki.” “Oke, masku yang super bijak tapi ditinggal kawin.” “Ngga ngaruh!” “Iyalah ngga ngaruh! Coba kalau Nara ngga mau sama lo, Mas. Amsyong jilid dua kan lo.” “Mbak Nara,” koreksi Mas Ay lagi. “Tuaan gue dikit sih dari Nara. Jangan harap gue akan tunduk!” Aku otomatis terkekeh. “Sorry, ya Ra,” ujar Kalista lagi, kali ini tertuju padaku. “Ngga apa-apa, Kal,” sahutku. “Gimana sih, Dek? Kok ngga kompak?” ujar Mas Ay dengan ekspresi memberengut dan nada suara manja. “Jijik banget Mas ih! Ngga usah sok meletoy gitu! Geli kuping gue tau ngga!” omel Kalista. “Ngga usah didengar!” timpal suamiku. “Mau nyuruh apaan sih, Mas? Buruan elah! Rambut gue masih gimbal nih, mau mandi.” “Kenapa belum mandi?” “Ketiduran tadi, dibangunin Mama,” jawab adik iparku itu. “So? Lo mau ngasih proyek apa ke gue? Ingat lho, Mas … ngga ada yang gratis!” Mas Ay bergumam. “Baju-baju di lemari gue dan Nara, keluarin semua. Ganti.” Tersua hening sejenak. “Oke.” “Tinggi Nara 155 cm.” “Berat lo berapa, Ra?” tanya Kalista langsung padaku. “Kal, ngga usah. Ngerepotin. Gue bawa baju kok. Malah belum bongkar koper,” sahutku. “Nanti uang jajan gue di cut off sama laki lo, Ra.” “Mas begitu?” tanyaku pada sang tersangka. “Iya,” jawab Mas Ay. “Iya lagi!” “Dengar sendiri kan lo? So, berat badan lo berapa, Ra? Tolong mudahkan urusan gue, Ra.” Aku mendengus. “48 kg.” “Short torso ya?” “Iya,” tanggapku. “Oke. Besok gue eksekusi. Setelah kalian berdua pergi bulan madu.” Dua kata terakhir, sontak membuat fokusku hilang. Hingga kakak beradik itu mengusaikan pembicaraan, aku tak lagi bersuara. Suamiku lalu masuk ke dalam kamar mandi, sementara aku kembali masuk ke dalam lemari kami. Jangan tanya kenapa aku melakukan ini, mungkin semacam duplikasi dari apa yang Ibu lakukan sepanjang pernikahannya dengan Ayah. Aku mengambil satu set piyama berwarna sama seperti yang aku kenakan. Aku terkekeh, bahkan baju tidurnya ini bukan barang seharga seratus ribu yang aku beli di Thamrin City. Piyama miliknya memilki merek yang aku tau harganya membuat karyawan bergaji tak sampai sepuluh juta per bulan sepertiku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala kala menatap price tag yang tergantung meski dengan iming-iming diskon sekalipun. Aku benar-benar tak paham, apa yang membuatnya membidik kaum mendang-mending sepertiku, memintaku menikahinya. ‘Mas Ay cuma mau bikin panas hati Kak Ajeng apa ya? Menguji apa Kak Ajeng bakalan kembali karena cemburu sama gue.’ Aku mendengus, tak ku lanjutkan pemikiran tanpa dasar tersebut. Langkahku mendekat ke depan kamar mandi, mengetuk pintunya beberapa kali. "Mas?" panggilku. "Ya?" jawabnya, suaranya terdengar nyaris memekik. "Maaf Mas, piyama Mas sudah aku siapkan. Aku taruh di atas kursi di dalam closet ya?" "Oh iya, Nara. Terima kasih." "Ya, Mas." Aku mematikan lampu tidur di sisi kanan, lalu naik ke ranjang, menarik selimut hingga batas pinggangku kemudian merebahkan diri dan memiringkan tubuhku menghadap kanan. "Ya Allah, capek banget rasanya," lirihku sebelum merapal doa. Mungkin karena sudah terlalu lelah, aku lekas tertidur. Bahkan aku tak lagi sempat menunggu Mas Ay keluar dari kamar ini seperti yang ia katakan tadi. Namun … entah sudah berapa lama aku terlelap, tubuhku tiba-tiba terasa aneh. Aku merasa terperangkap, kesulitan menggerakkan diri. Mataku membelalak, terbangun dengan jantung yang detaknya sampai membuat dadaku ngilu. Pandanganku lalu turun, menatap tangan kekar yang melingkari pinggangku. "Nara?" Aku bergeming, kaku. Lidahku pun kelu. Dari dinding kaca yang berada di sisi kananku, aku memandangi posisi kami. Tak berjarak, bahkan kakinya membelitku. Aku menghela napas panjang, membuat rengkuhannya mengendur. Kemudian ku putar tubuh ini menghadap suamiku. Kedua netra kami bersirobok, saling menatap lekat tanpa ada yang bermaksud mengalah untuk mengusaikan lebih dahulu. Maksudku, aku seperti tenggelam dalam tatapannya. "Mas ngga bisa tidur?" cicitku. Apa ia bisa melihat betapa gugupnya aku? Bukan berarti aku mau menolak melakukan kewajibanku sebagai seorang istri. Tapi … bukankah kami masih asing bagi satu sama lain? Jika aku meminta, maukah dia memberi sedikit ruang untukku menerima pernikahan tiba-tiba ini? Mas Ay tak menjawab. "Mas kalau tidur lampunya diredupkan aja? Ngga dimatikan?" tanyaku kemudian. Oh, aku bertanya karena punya seorang teman kuliah yang memiliki kebiasaan tersebut. Gelap justru membuatnya panik. "Iya. Aku ngga bisa tidur kalau terlalu gelap," jawab suamiku. "Oh. Aku nyalakan dulu deh lampuku," tanggapku, refleks bergerak hendak menggapai penerang tersebut. Ia justru mengeratkan pelukannya, mencegahku bergeser. "Ngga usah, Nara. Lampuku saja sudah cukup," ujarnya kemudian. Kami … tak lagi bicara. Ia hanya menepuk-nepuk lembut punggungku. Nyaman … hingga kantuk kembali menyapaku. Aku menguap. Mungkin karena tubuhku terlampau letih setelah dipajang di ‘singgasana’ selama berjam-jam hari ini. Kelopak mataku kian berat. Namun, saat akan terpejam sepenuhnya, suara Mas Ay membuatku membelalak kembali. "Nara?" panggilnya sekali lagi. Kali ini ia mengendurkan pelukannya, menatapku, mungkin memeriksa apakah aku sudah tertidur. "Iya, Mas?" tanggapku. Jantungku lama-lama bisa lepas dari tempatnya ditatap terus-menerus seperti itu. Ia menghela napas panjang. Embusannya terasa hangat di ubun-ubunku. “Nara …” “Mas, kalau sudah ngantuk, tidur aja yuk? Mas ngga capek apa daritadi Nara Nara melulu,” sambatku. Gelak renyahnya menyapa pendengaranku. “Tidur, Mas.” “Nara ….” “Hmm?” "Kamu … yang kucintai.” Aku syok! Hening menjeda sejenak. “Bukan Ajeng,” lanjutnya. “Tapi kamu.” Aku terdiam. Kantuk yang tadinya mulai menyapa lagi, terempas entah kemana. ‘Gue tidur sambil melek apa ya? Bisa-bisanya mimpi kelewat romantis begini?’ “Nara?” tegurnya lagi. Mataku kian melebar. ‘Bukan mimpi!’ “Aku sungguh-sungguh, Nara.” ‘Ya Allah … bolehkah aku membuka sedikit suara hatiku dengan jujur?’ Logikaku … mungkin, suamiku tengah mencoba menjalani rumah tangga ini. Aku tau, ia bukan pria baj1ngan. Selama mengenalnya, tak pernah sekalipun aku melihatnya tak santun. Ia bukan pria pendiam, justru orang yang menyenangkan saat diajak bicara. Penampilannya sederhana, meski apa pun yang ia kenakan akan terlihat bagus dan mewah—bukan karena merek, melainkan sikapnya yang percaya diri, tenang, dan punya cara sendiri dalam membawa wibawa. Ia bukan tipe pria yang mudah melontarkan pujian, tapi saat ia bilang aku terlihat cantik dalam balutan kebaya akad kemarin, aku percaya. Itu pertama kalinya ia memujiku, dan mungkin hanya karena ingin membuat suasana tak terlalu canggung. Tapi tetap saja, aku percaya. Dan mungkin, aku juga ingin percaya bahwa pernikahan ini bukan hanya jalan keluar teraman dari kekacauan yang tak terduga. Bahwa ia tak menikahiku hanya karena tak ingin mempermalukan keluarganya. Atau karena ibuku terlanjur menangis, ayahku terlanjur mengangguk, dan penghulu terlanjur hadir. Mungkin … ia benar-benar ingin menikahiku. Aku tersenyum getir tanpa diketahuinya. Jauh di dalam hatiku ada sorak sorai bahagia. Namun … relung pikiranku mengatakan jika ia hanya tengah berusaha menjalankan tugasnya sebagai seorang suami—mencintai isterinya. "Iya, Mas," jawabku datar. “Terima kasih.” Ia melonggarkan pelukannya lagi. Kali ini, sampai pergeserannya menyisakan sedikit jarak di antara kami. Matanya memandangku lekat. "Aku ngga bercanda, Nara." "Iya, Mas,” jawabku lagi. Nyatanya memang percakapan ini tak mengandung unsur humor. Ia mendengus. Ekspresinya tampak frustasi. "Nara … apa kamu ngga mengingatku sama sekali?" tanyanya kemudian. Aku terdiam, keningku mengerut. Adakah yang kulewatkan tentangnya? "Aku kakak tingkatmu sewaktu di kampus dulu. Aku di tingkat akhir waktu kamu masuk jadi mahasiswi baru.” Satu jawaban dari kebingunganku. ‘Iya, aku tau, Mas,’ jawabku, membatin. “Memang aku ngga pernah punya keberanian menyatakan perasaanku, Nara. Sampai dua tahun yang lalu, kamu interview di kantorku. Aku memang jarang ke kantor yang di Setiabudi, karena tempatku di kantor pusat yang di Senayan, dan aku juga tidak mewawancaraimu langsung saat itu,” lanjutnya. Aku hanya menatapnya, tak tau harus menimpali dengan kalimat apa. Mengatakan jika aku pun sering memperhatikannya diam-diam hingga ia lulus S1? Mencari-cari alasan ke kampus di akhir pekan hanya untuk mengamatinya yang mengambil program lanjutan? Mengakui jika aku selalu mengambil jalan memutar jika mendapatinya di jalur yang hendak aku lewati? Meski hanya sebatas kekaguman, atau katakanlah ‘crush’ yang tidak tersampaikan … konyol sekali rasanya, bukan? "Dan akhirnya tahun lalu, perusahaan kita menandatangani kontrak dengan Ajeng sebagai brand ambassador produk terbaru. Usai penandatangan kontrak itu, Ajeng mengajakku merayakannya. Di hari itulah aku baru tau jika kamu dan Ajeng bersaudara, ketika aku mengantar Ajeng pulang. Dan sayangnya, malam itu, aku melihatmu bergenggaman tangan dengan mantanmu. Yang lebih menyakitkan lagi, kamu ngga mengingatku sama sekali, Nara." ‘Kak Ajeng pernah ke kampus, Mas. Dia melihatmu. Atau mungkin dia tau aku curi-curi pandang ke Mas. Dia bilang Mas cakep, tipe dia banget. Aku … ngga akan pernah menang bersaing dengan Kak Ajeng, Mas.’ Aku memilih diam. Menyimak semua untaian kata dan kalimat yang ia tuturkan—di antara kebisingan pikiranku. "Awalnya aku berteman dengan Ajeng untuk mendekatimu, selain karena pekerjaan yang memang membuatku terus bersinggungan dengannya. Tapi, aku ngga pernah menyangka kalau akan terjebak di dalam rencanaku sendiri. Ajeng justru benar-benar mencintaiku, setidaknya itu yang kurasakan dulu. Dan kamu selalu bersikap tak acuh padaku. Aku berusaha menjalani hubungan kami sebaik mungkin. Walaupun akhirnya sia-sia, karena Ajeng memilih meninggalkanku." Aku menghela napas panjang, lidahku terlalu kelu untuk menumpahkan isi hati. "Mas tau Kak Ajeng di mana?" tanyaku kemudian. Ia terdiam. “Mas?” Masih bungkam. Tatapannya kosong, seolah banyak hal yang tengah ia pertimbangkan. “Kenapa diam, Mas? Mas tau ngga Kak Ajeng di mana?” Ia mendengus, lalu mengangguk pelan. “Hah?” "Tau," jawabnya. Dadaku … kembali sesak. “Apa rencana, Mas? Apa maksud Mas menikahi aku kalau tau di mana Kak Ajeng? Kenapa Mas ngga jemput Kak Ajeng aja?” “Nara …” “Mas memang niat banget jadiin aku tumbal ya?” “Ngga, Nara. Sama sekali ngga.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN