Matahari pagi menembus tirai tipis kamar, menyinari wajah Karina yang masih terlelap. Tangan mungilnya tergeletak di atas lengan kekar Sean. Perlahan ia menggeliat, membuka mata, dan terperanjat begitu mendapati wajah tampan dengan rahang tegas milik kakak sepupunya hanya sejengkal darinya.
“Kak… Sean?” Karina refleks melirik, hatinya berdegup tak karuan. Kenapa bisa Kak Sean tidur di sebelahku?
Sean membuka mata perlahan, senyumnya tenang. “Selamat pagi, Karina.”
Karina buru-buru duduk, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. “Kak Sean ngapain di kamar aku?!”
Sean menghela napas, lalu menjawab santai, “Kamu semalam mabuk. Pas Kakak gendong, kamu malah narik Kakak ke keranjang. Ya udah, Kakak ketiduran di sini.” Ia sedikit berbohong, menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi.
Karina menunduk, matanya menyapu linggre tipis yang kini melekat di tubuhnya. Alisnya langsung bertaut. “Sebentar… siapa yang gantiin baju aku? Semalam aku kan nggak pakai linggre.”
“Oh itu,” Sean cepat menimpali, pura-pura tenang. “Baju kamu bau alkohol, jadi Kakak suruh housekeeping cewek yang gantiin. Biar kamu tidur lebih nyaman.”
Karina mendengkus pelan, masih ragu. Pandangannya naik lagi ke arah Sean—dan ia tersentak. Pria itu hanya mengenakan celana boxer, d**a bidangnya terbuka jelas di depan mata. Spontan ia semakin merapatkan selimut turun ranjang berjalan ke depan kamar mandi. “Terus kenapa Kakak nggak pakai baju pas tidur sama aku?”
Sean menyeringai kecil. “Kakak memang kalau tidur nggak biasa pakai baju.”
Karina langsung memalingkan wajah, pipinya merona. “Ya ampun… sana ke kamar Kakak. Aku mau mandi.”
Sean tertawa kecil, bangkit dari ranjang. Ia membungkuk, meraih kemeja dan celana yang tergeletak di lantai. Gerakannya membuat otot punggungnya terlihat jelas, membuat Karina buru-buru menunduk di balik selimut.
Sesaat matanya malah tak sengaja melirik ke arah kaki Sean. Astaga… jempol kakinya panjang banget. Ia menelan ludah, teringat ucapan nakal salah satu temannya. Kata Sinta di Jogja, kalau jempol kakinya panjang… berarti Ular pitonnya juga panjang.
Wajah Karina makin panas. Apalagi bayangan kemarin saat ia tanpa sengaja menyentuh “ular piton” Sean saat es krimnya meleleh kembali menyeruak di kepalanya.
Sean berdiri tegak, menoleh sekilas. “Kakak duluan, ya.” Suaranya tenang, tapi matanya sempat menelusuri wajah Karina yang jelas-jelas sedang salah tingkah.
Begitu pintu tertutup, Karina menutup wajah dengan kedua tangannya. “Duh… kenapa rahim aku jadi anget gini…” bisiknya lirih, tubuhnya gemetar oleh perasaan yang tak mampu ia kendalikan.
Karina melempar bed cover ke ranjang lalu buru-buru masuk kamar mandi. Begitu melihat ada sesuatu yang bergerak di lantai, ia langsung terlonjak.
“Ya ampun! Kecoak!! Kak, tolong!!” teriaknya panik.
Dengan wajah pucat, Karina berlari membuka pintu dan langsung menuju kamar Sean.
“Kak Sean! Kak!” panggilnya setengah menangis.
Dari dalam kamar mandi Sean sedang mengerang menuntaskan hasratnya ,yang tidak mungkin ia salurkan kepada Karina.
“Karina? Kenapa pagi- pagi teriak?” suara Sean terdengar sayup.
Tak lama kemudian pintu terbuka, Sean keluar dengan handuk melilit pinggang. Rambutnya masih basah.
“Kenapa teriak-teriak kayak kebakaran rumah?” tanyanya heran.
Karina langsung menerjang dan memeluknya erat.
“Kak… ada kecoak di kamar mandiku! Aku jijik banget, aku takut, Kak,” katanya terbata, matanya berkaca-kaca.
Sean sempat kaget, lalu menepuk pelan bahunya.
“Eh, Kar, pelan-pelan dong. Aku cuma pakai handuk, bisa jatuh ini,” ujarnya mencoba menahan.
“Aku gak peduli! Aku gak mau balik ke kamar kalau masih ada kecoak itu. Jijik banget, Kak!” Karina semakin menempel erat.
Sean menghela napas panjang.
“Aduh… Kar, jangan nempel gini deh. Kakak pria dewasa , loh.”
Karina mendongak, wajahnya masih panik.
“Biarin! Pokoknya aku di sini aja. Tolong aku, Kak, jangan suruh aku kekamar ...takut.”
Sean menutup mata sebentar, mencoba menenangkan diri.
“Ya ampun, Karina… nanti juga Mbak Tias datang, dia bisa usir kecoak itu. Kamu tenang dulu, oke?”
Karina akhirnya melepaskan pelukan, tapi handuk Sean malah ikut terlepas ke lantai.
“Ka-kak…” Karina menahan napas, matanya membelalak menatap tanpa berkedip.Menatap ular piton Sean berdiri tegak berurat.
" Yaampun panjang, berurat, ah... Mantap banget. Kalau dimasukin ke area inti ku yang sempit ini pasti gak muat! " Ucap Karina dalam hati merasakan hasrat yang membara.
Sean buru-buru meraih handuknya kembali.
“Karina!! Astaga, tutup mata kamu jangan lihat-lihat gitu dong!” serunya setengah kesal, setengah malu.
Karina menutup mulut dengan tangannya, wajahnya merah padam.
“M-maaf, Kak… tadi gak sengaja,” ucapnya gugup.
Sean menyipitkan mata, menatap adiknya itu penuh arti.
“Enggak adil banget, ya. Kamu udah lihat punyaku, tapi aku gak boleh lihat punyamu.”
Karina terkejut.
“Ih! Kak, apa-apaan sih? Jangan ngomong gitu,” ujarnya panik, memalingkan wajah.
Sean mendekat setengah berbisik.
“Tapi tadi kamu lihat gak kedip, Kar.”
“Normal aja lah, Kak. Aku kan udah gede,” balas Karina berusaha tegar.
Sean mengangkat alis, senyum miring.
“Dewasa, ya? Pantesan aja semalam ketahuan nonton dan melakukan hal yang aneh-aneh.”
Karina langsung refleks menutup mulut Sean dengan tangannya.
“Ih! Jangan sebut-sebut itu di sini! Malu tau!”
Sean malah terkekeh.
“Kalau malu, berarti bener, dong.”
“Apaan sih, Kak! Aku beneran takut kecoak tadi, bukan mau bahas yang lain,” Karina berusaha mengalihkan.
Sean menyeringai, matanya jahil.
“Kalau gitu… gimana kalau mandi bareng sama Kakak? Biar kamu gak penasarwn sama ular piton ku.”
Karina terbelalak.
“Gila, Kak Sean! Nanti Kak Nana pulang terus lihat kita gimana? Bisa berabe!” protesnya.
Sean mendekat lagi, suaranya lirih menggoda.
“Kesempatan emas gak datang dua kali, Karina…”
Karina menggigit bibir, wajahnya gelisah.
“Duh… gimana ya, Kak…”
Sean tersenyum puas, lalu melangkah masuk kembali ke kamar mandi.
“Yuk, ikut aja kamu boleh pegang-pegang kok. Kakak tunggu,” ucapnya sambil berbisik.
Karina berdiri di depan pintu, jantungnya berdegup kencang.
“Masuk gak ya… aduh, gimana kalau ketahuan…” gumamnya sambil memeluk dirinya sendiri.
Sean dari dalam kamar mandi menyahut lagi.
“Karina… ayo sini. Jangan bikin Kakak nunggu lama.”
Karina menatap pintu, menelan ludah.
“Duh, ini kesempatan… tapi kalau sampai ketahuan… habis aku…” bisiknya ragu.
Karina membuka pintu kamar mandi dan terkejut melihat Sean berdiri di bawah guyuran air, tubuh kekar dan perut sixpack apalagi ular pitonnya karena Sean tidak menggunakan sehelai benang pun. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri.
"Kar, ayo buka linggre kamu,gak adil dong kakak kakak aja yang t*lanjang," suara Sean serak, tapi ada nada menggoda di dalamnya.
Karina tersenyum canggung, melepaskan seluruh linggre yang digunakan hingga kini mereka berdua tidak menggunakan sehelai benang pun.
"Wow… cantik banget," Sean memuji tubuh dan bodynya, matanya tak lepas dari Karina.
"Eh… cuma pegang-pegang aja kan,kak?" Karina berkata sambil mendekat, wajahnya memerah.
Sean tersenyum tipis, "Kalau kamu mau, lebih dari itu juga boleh."
Karina mundur sedikit, gugup, "Nggak, kak…aku takut belum pernah melakukan sama siapa pun. Aku masih v*rgin."
"Kamu serius? Belum pernah sama siapa pun?" Sean bertanya, suaranya rendah.
"Belum… aku takut," Karina mengakui.
Sean melangkah lebih dekat, hanya beberapa inci memisahkan mereka. "Kalau sama kakak… kamu mau nggak?"
"Aku… belum siap, kak," jawab Karina, suaranya hampir berbisik.
Sean mencondongkan tubuh, menatap matanya. "Tenang, untuk pertama enggak sakit … tapi lama kelamaan nanti kamu bakal nyaman dan mungkin malah ketagihan," goda Sean.
Karina menatap Sean, ragu-ragu, tapi akhirnya bertanya, "Boleh aku… pegang kakak sedikit?"
"Boleh… kapan pun kamu mau, asal kakak juga bisa melakukan hal yang sama," Sean menjawab santai.
"Eh… asal jangan sampai masukin ular pitonnya aja," Karina menambahkan, tersipu.
"Oke, deal," Sean mengangguk.
Karina tersenyum malu, tangannya menyentuh pipi Sean, kemudian perlahan menelusuri garis rahangnya, turun ke leher, turun di d**a bidang , tangannya berhenti di perut sixpack dibawah perut.
Sean menatapnya, bisikannya nyaris tak terdengar, "Kamu suka?"
"Of course," Karina menjawab,tangannya menyentuh ular piton Sean menggerakkan maju mundur.
Sean merasakan sensasi yang luar biasa nikmat, "Ah, tangan kamu… lembut dan enak banget, Kar."
"Kakak suka,kakak aku giniin?" Karina menggoda.
Sean terus mendesah " Mmmhhh..ahhh..lebih cepat lagi..baby enak banget sumpah."
Beberapa menit setelah mereka melakukan kegiatan panas sampai klimaks, akhirnya Sean bersandar ke dinding kamar mandi, lelah tapi senang.
"Ah, kamu jago banget," Sean mengaku sambil tersenyum.
"Kalau kakak mau lagi… kakak bisa ke kamar aku aja," Karina menawarkan, masih malu-malu.
"Oke… janji ya, jangan PHP, kakak nggak mau main solo lagi," Sean menambahkan sambil tersenyum nakal.
"Iya, kak," jawab Karina, tersipu.
Sean memegang bahu Karina sebentar, lalu berkata, "Sepertinya waktunya mepet… kamu harus kuliah. Kalau malam aja gimana?"
"Ah ..gimana kalau kakak tidur di kamar aku," Karina menjawab cepat.
Sean menepuk pundaknya, "Karina, kamu kenapa melamun tadi?"
"Ehm… nggak apa-apa, kak," Karina tersenyum malu.
Sean menunjuk handuk yang jatuh tadi, "Tadi gara-gara handuk kakak jatuh, kamu melamun lama banget. Nanti kesambet, jangan bengong, nanti kakak cek kamar mandi kamu," goda Sean.
"Iya, kak," Karina menenangkan diri, menutup pintu kamar Sean, sambil berpikir dalam hati: Jadi tadi cuma halusinasi… huh, astaga udah gilak kali imajinasi gue.jangan sampai Kak Sean tau aku berimajinasi tentang dia.
Di dalam kamar mandi, Sean menggeleng, tersenyum sendiri, "Duh, anak ini benar-benar menguji iman gue. Kalau bukan adek sepupu udah gue tarik ke ranjang."
Setelah Karina keluar kamar Sean, ia tersenyum malu, Duh, jangan berpikiran jorok sendiri… nggak mungkin kak Sean mau sama aku istrinya aja spek model.