6.Handuk Melorot

1654 Kata
Sean berdiri menatap shower yang menyala, tubuhnya masih basah. Ia bersandar, menggertakkan gigi. “Ahh… sial… kenapa tiap kali liat Karina, piton gue langsung bangun begini.” Ia mengusap wajah, bergumam pada diri sendiri. “Sadarlah Sean… dia adik sepupu lo sendiri. Jangan gila!” Namun bayangan tubuh Karina terus menari di kepalanya. Sampai akhirnya ia terpaksa melampiaskan hasrat sendirian. Setelah selesai, ia menggeleng pelan. “Dasar gue parah banget…” Sean setelah selesai mandi keluar dengan handuk, lalu cepat berganti pakaian: kemeja rapi, jas, dan celana panjang. Ia mengeringkan rambut, mengoles skincare, dan menyemprotkan parfum. Ia berjalan ke kamar Karina sambil mengetuk pintu. “Tik tok, Karin. Kamu udah mandi belum?” Pintu terbuka, Karina menyembulkan wajah. “Belum, Kak. Takut ada kecoak…” ia meringis, memperlihatkan gigi. Sean terkekeh. “Hahaha, dasar. Sana, mandi di kamar kakak aja.” “Beneran boleh, Kak?” Karina mengangkat alis, sedikit tak percaya. “Boleh lah. Siapa yang ngelarang?” Sean mengacak rambut Karina, mengelus kepalanya pelan. Karina membeku, jantungnya berdegup kencang. “Ya Tuhan… aku bisa pingsan kalau tiap hari diginiin.” Sean tersenyum. “Sana, mandi. Kakak bikinin sarapan.” Ia lalu pergi ke dapur. Karina menatap punggung Sean yang menjauh. “Demi apa… dibuatin sarapan? Kalau dia belum nikah, udah aku pepet in walaupun kakak sepupu juga. Tapi ya… apesnya udah punya istri.” Ia mendesah pelan, lalu masuk kamar Sean. Karina masuk kamar Sean menghirup udara dalam-dalam. “Wangi banget kamarnya. Duh, bikin betah.” Ia lalu masuk kamar mandi. Sementara itu Sean di dapur memakai apron, menyiapkan nasi goreng, telur ceplok, kopi, dan s**u. Sean menatap jam tangannya. “Karina mandi lama banget. Bisa telat kuliah nih… mana ada metting pagi. ” gumamnya. Sean berjalan masuk kekamarnya lalu mengetuk pintu kamar mandi. “Karin, udah selesai belum mandinya?” Pintu terbuka sedikit, hanya kepala Karina yang nongol. “Kak… aku lupa bawa handuk…” Sean menepuk jidat. “Astaga kamu. Bentar ya, kakak ambilin.” Tak lama ia kembali membawa handuk bersih. “Nih, cepat dipakai.” “Makasih, Kak.” Karina tersenyum manis, lalu menutup pintu lagi. Setelah selesai, ia keluar dengan handuk melilit tubuhnya. Sean menghela napas. “Sana, cepat ke kamar. Nanti masuk angin.” “Bentar, Kak—” Karina melangkah, tapi kepleset karena keset licin. Refleks Sean menangkapnya. Tubuh Karina jatuh tepat di pelukan Sean. Sejenak, dunia berhenti. Mata mereka bertemu. Nafas memburu. Jantung berdegup kencang. Handuk Karina terlepas jatuh ke lantai. Sean menelan ludah susah payah. “Karina…” suaranya serak. Karina cepat-cepat meraih handuknya kembali, wajah merah padam. “Astaga… maaf, Kak!” Sean menarik napas panjang, mencoba menguasai diri. “Hati-hati. Nanti kakak suruh Mbak Tari ganti kesetnya.” --- Tiba-tiba… Pintu kamar terbuka. Nathalia berdiri di sana, menatap mereka. “Kalian ngapain berduaan di kamar?” Karina terkejut, mundur sambil merapikan handuk. “Ini, Na… kamar mandi Karina ada kecoak. Dia takut. Jadi aku suruh mandi di sini. Aku cuma manggil dia karena belum selesai, mau ngajak sarapan.” Sean cepat menjelaskan. “Iya, Kak. Jangan salah paham. Aku cuma numpang mandi.” Karina menambahkan. Nathalia mendengus. “Nggak lah. Ngapain aku mikir aneh-aneh? Karina kamu kan sepupu mas Sean.” Ia lalu berjalan santai masuk kamar. Karina buru-buru pamit. “Aku ke kamar dulu, Kak. Permisi.” Sebelum pintu tertutup rapat, ia mendengar percakapan Nathalia dan Sean. Nathalia melepaskan sepatunya duduk diranjang. “Pantes kamu masak sarapan banyak. Biasanya nggak pernah dimakan juga.” Sean mendengus. “Kamu kenapa tiap hari pulang jam segini, Na? Kelayapan terus. Aku juga butuh dilayani sebagai suami.” Nathalia menoleh, wajah lelah. “Aku kerja, Mas. Ngerti nggak sih? Aku lembur. Capek!” “Aku pria dewasa, Na. Aku butuh hal biologis juga. Lima tahun pernikahan, tiga tahun terakhir rumah tangga kita dingin banget. Kamu sadar nggak?” “Mas, aku udah bilang. Aku capek kerja. Kenapa selalu nuntut aku terus? Aku ini model, sibuk!” “Berhenti kerja aja. Kekayaan ku cukup buat hidup in kita tujuh turunan. Kamu tinggal urus aku sama anak-anak kita.” Nathalia mendengus sinis. “Itu lagi, itu lagi. Anak, anak, anak. Aku capek!” Ia langsung masuk kamar mandi, menutup pintu keras. Sean mengacak rambut frustrasi. “Arrghh…” --- Di luar kamar Karina berdiri terpaku, mendengar semuanya. “Jadi… pernikahan mereka nggak harmonis. Ada kesempatan dong buat aku deketin Kak Sean. Maaf ya kak Nana tapi suami mu itu sangat menggoda.” Ia berjalan cepat ke kamarnya, membuka lemari pakaian, lalu berganti dengan rok mini seksi. Ia menatap dirinya di cermin, tersenyum nakal. “Sayang banget tuh ‘ubi kayu’ seberurat dan panjang itu dianggurin tiga tahun. Kalau aku yang punya… bakal aku manfaatin sebaik-baiknya.” Sean keluar kamar berjalan duduk termenung, menatap kosong ke arah meja. Sesekali ia menghela napas panjang. Dari kamar, terdengar suara pintu terbuka. Karina keluar dengan rambut masih basah sedikit, tubuh segar beraroma parfum manis. “Pagi, Kak,” sapanya ceria. Sean menoleh, berusaha tersenyum. “Pagi juga. Duduk, Kar. Sarapan dulu. Maaf ya, kakak cuma sempet bikin nasi goreng doang.” Ia menyendokkan nasi goreng dan telur ceplok ke piring Karina. Karina duduk manis, tersenyum lebar. “Nasi goreng juga enak, kok. Apalagi buatan Kak Sean. Aku yakin rasanya spesial.” Sean terkekeh pelan. “Ayo, makan.” Karina melirik pintu kamar Sean dan Nathalia yang tertutup rapat. “Kak Nana nggak sarapan bareng?” Sean menaruh sendok, nada suaranya datar. “Dia nggak makan nasi. Katanya nanti gendut.” Karina tersenyum maklum. “Hehe, wajar sih. Kak Nana kan model, harus jaga badan.” Sean mengangguk tanpa ekspresi. “Ya, mungkin.” Karina mulai makan, matanya berbinar. “Kak, ini enak banget! Kayak makan di restoran bintang… sepuluh!” Sean mendengus, tak bisa menahan senyum. “Hahaha, mana ada restoran bintang sepuluh. Ngaco kamu.” “Nah, gitu dong. Senyum. Jangan murung terus. Kalau ada masalah, cerita aja sama aku. Siapa tau aku bisa bantuin.” Karina menatap Sean penuh perhatian. Sean menunduk, menyendok makanannya. “Kamu nurut aja sama apa kata kakak, itu udah lebih dari cukup.” Karina menggoda. “Cuma itu? Nggak ada bonusnya?” Sean menoleh, tatapannya tajam bercampur senyum tipis. “Bonusnya… kamu bisa makan masakan kakak tiap hari.” Karina tertawa kecil, lalu melanjutkan makan sampai habis. Setelah sarapan Karina berdiri, membawa piring ke wastafel. “Ayo berangkat, Kak. Aku cuci piring dulu biar rapi.” Sean bangkit, berjalan mendekat. “Gak usah, Kar. Sebentar lagi Mbak Tari datang, dia yang urus.” “Biarin deh. Aku kan bisa bantuin. Hehe.” Sean berdiri tepat di belakangnya, memperhatikan wajah Karina dari samping. Tiba-tiba ia melihat ada butiran nasi menempel di bawah bibir Karina. “Kar…” Sean memanggil pelan. Karina menoleh, heran. “Iya, Kak?” Sean melangkah makin dekat. Karina reflek mundur sampai punggungnya menempel ke kitchen set. Jantungnya berdegup kencang. “Astaga… Kak Sean mau cium aku? Tiba-tiba banget…” Sean mengangkat tangannya, memegang dagu Karina dengan lembut. “Jangan gerak.” Karina memejamkan mata, wajahnya merah padam. Nafasnya tercekat. Sean tersenyum samar, lalu dengan santai menyentuh bibir Karina dengan jarinya, mengambil sisa nasi itu. Ia kemudian memasukkan jempolnya ke bibirnya sendiri. “Hmm… ternyata nasi gorengnya enak juga,” gumamnya. Karina membuka mata, terkejut. “Hah?” Sean tersenyum tipis. “Maaf, ada nasi nempel di bawah bibir kamu.” Ia berbalik, berjalan menjauh. Karina menutup wajahnya dengan tangan. “Ya ampun… aku kira dia mau cium aku. Malu banget sumpah!” batinnya menjerit. Sean menepuk pelan bahu Karina. “Ayo, nanti telat kuliah kamu,” katanya lembut. Karina mengangguk cepat. “I-iya, Kak.” Tanpa banyak pikir, Sean meraih tangan Karina, menggandengnya keluar dari unit apartemen. Karina tersentak, wajahnya memerah. “Ya Tuhan, tangannya hangat banget. Pliss, jantung gue… jangan kenceng-kenceng gini, malu kalau ketahuan.” Mereka berjalan menyusuri koridor menuju lift. Begitu pintu lift terbuka, Sean menoleh sambil tersenyum kecil. “Masuk, Kar.” Karina buru-buru masuk, menunduk, pura-pura sibuk menatap layar ponselnya padahal layar mati. Di dalam lift suasana hening. Hanya bunyi musik lembut dari speaker. Sean melirik sekilas. “Kamu nervous banget ya? Tangan kamu sampai dingin.” Karina tersentak. “Hah? Nggak kok, Kak. Hehe…” ia menunduk lebih dalam. “Gila, ketahuan lagi… mukaku merah banget pasti.” Lift berbunyi ting dan pintu terbuka di basement. Sean melangkah keluar duluan, masih menggenggam tangan Karina tanpa sadar. Karina menatap tangannya yang digandeng. “Apa dia nggak sadar? Atau memang sengaja? Aduh, makin deg-degan.” Pintu lift terbuka mereka keluar berjalan menuju mobil sport berwarna hitam mengilap. Sean menekan remote, lampu mobil menyala. “Masuk, Kar.” Sean membukakan pintu untuknya. Karina ternganga. “Wow… ini Lamborghini beneran ya, Kak? Aku baru pertama kali naik mobil kayak gini. Papa ku gak mau beli dia mah hemat.” Sean tersenyum tipis. “Hahaha,Om Langit emang gak suka barang-barang yang mahal banget dia lebih suka investasi jadi kamu jangan kaget. Cuma kendaraan biasa. Sama aja kayak motor bebek, cuma… ya lebih cepet.” Karina terkikik kecil sambil duduk di kursi penumpang. “Motor bebek katanya. Kalau kayak gini sih, motor bebeknya dewa.” Sean masuk lewat sisi pengemudi, menyalakan mesin. Suara raungan halus terdengar. “Pegang seatbelt kamu, Kar. Mobil ini suka ‘ngambek’ kalau nggak dipakai bener.” Karina buru-buru mengenakan seatbelt, lalu melirik Sean. “Kak, seriusan? Atau kamu lagi nakut-nakutin aku?” Sean menoleh sebentar, senyum nakal muncul di wajahnya. “Kamu takut ya kalau aku ngebut?” Karina memalingkan wajah, tapi pipinya merah. “A-aku… nggak takut. Cuma deg-degan aja.” Sean menyalakan lampu sein, lalu berbisik sambil melirik Karina. “Deg-degan karena mobilnya… atau karena duduk di sebelah aku?” Karina kaget, matanya melebar. “Hah? Kak… ya ampun, jangan gitu dong!” Sean tertawa kecil, lalu menginjak pedal perlahan. Mobil pun meluncur mulus keluar basement. Karina memeluk tasnya erat-erat. “Astaga, aku bisa meleleh kalau tiap pagi begini bareng Kak Sean.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN