4.Tidur satu Ranjang

1090 Kata
Mobil Reno berhenti di depan Club de la Rosa. Musik dentuman bass sudah terdengar keluar dari dalam. “Ayo, Karina! Malam ini lo harus cobain wine ,bir sama koktail,” Sisi merangkulnya antusias. Intan ikut nimbrung sambil nyengir. “Iya, jangan canggung. Nikmatin aja musik DJ-nya, gila banget vibes-nya.” Yuda, si birthday boy, angkat tangan ke udara. “Malam ini gue traktir semua orang! Karina, lo harus minum biar makin asik.” Karina menggeleng pelan. “Tapi aku nggak biasa minum…” Reno ngakak. “Santai aja, Rin. Sekali-sekali nggak apa-apa. Lo kan masih muda, harus nyobain.” Mereka masuk ke dalam club. Lampu neon berkedip, DJ di panggung teriak ke mic. “ARE YOU READY TO PARTY?! MAKE SOME NOISE!” Semua orang bersorak, tangan terangkat. Sisi menyeret Karina ke meja VIP yang sudah mereka pesan. “Duduk sini, gue pesenin minum.” Pelayan datang membawa botol wine, koktail berwarna-warni, dan satu bucket penuh beer. “Cheers buat Yuda yang makin tua!” Intan mengangkat gelas. “CHEERS!” yang lain serempak. Karina menatap gelasnya ragu-ragu. “Rasanya aneh, ya?” Sisi menyikut lengannya. “Udah minum aja, lo bakal suka. Nih, cobain koktail, manis kok. Ini cuma fermentasi anggur dong tenang aja.” Karina akhirnya menyesap sedikit. “Hmm… iya sih, lumayan manis.” Yuda tertawa puas. “Nah, gitu dong! Malam ini lo harus joget juga. DJ-nya lagi hot banget!” Reno berdiri, menggandeng tangan Karina. “Ayo ke dance floor, Rin. Jangan duduk doang.” “Aku nggak bisa joget,” Karina menolak halus. “Gue ajarin, gampang,” Reno nyengir, menariknya pelan. Sisi dan Intan sudah lebih dulu asik bergoyang, rambut mereka terayun mengikuti beat musik. Karina akhirnya ikut masuk ke tengah kerumunan. Lampu strobo menyorot, musik makin cepat. “WOOOHOOO!” Yuda teriak, mengangkat botol beer. Karina menutup mata sebentar, membiarkan tubuhnya mengikuti irama. Alkohol mulai bekerja, wajahnya memerah. Sisi berteriak dekat telinganya, “GUE BILANG JUGA APA! ENAK KAN JOGEEEET?!” Karina tertawa kecil. “Iya… ternyata lumayan seru.” Reno menunduk ke arahnya. “See? Lo bagian dari kita sekarang.” McLaren hitam Sean berhenti tepat di depan Club de la Rosa. Lampu-lampu neon menyilaukan, musik bass menggetarkan lantai. Sean turun, menunjukkan kartu VIP-nya. Satpam langsung memberi jalan. “Selamat malam, Pak Sean. Silakan masuk.” Sean melangkah masuk. Begitu berada di dalam, matanya langsung mencari sosok yang ia khawatirkan. Dan benar saja—di tengah kerumunan, Karina sedang berjoget, tubuhnya sudah sempoyongan, wajahnya merah karena alkohol. “Karina…” Sean mendesis pelan, rahangnya menegang. Dari arah meja VIP, Yuda melambaikan tangan sambil mabuk. “Heeeh! Lo tuh nggak gampang masuk ke club ini, tau!” Sean menatapnya dingin. “Oh ya? Hebat dong lo bisa masuk.” Yuda terkekeh, hampir jatuh. “Bukan gue, bokap gue yang hebat. Hahaha!” Intan dan Sisi sudah tertawa cekikikan sambil meneguk koktail. Reno sibuk menggoda Sisi, sementara Yuda mencoba menarik tangan Intan ke dance floor. Sean langsung mendekati Karina, menggenggam lengannya. “Ayo, pulang sekarang.” Karina menoleh dengan mata sayu. “Hah? Kak Sean…?” Sisi menyahut dengan nada mabuk. “Tuh, Karina udah dijemput. Pulang gih, Rin. Kita masih mau joget.” “Iya, bener. Sono pulang, biarin kita lanjutin party lo kan anak mami!” Intan ikut teriak, lalu tertawa keras. Beberapa detik kemudian, Sisi dan Reno mulai berciuman tanpa malu. Begitu juga Yuda yang memeluk Intan sambil menempelkan wajahnya. Karina menarik tangannya. “Aku… mau minum satu lagi…” Sean menatap tajam. “Nggak. Udah cukup. Ayo pulang.” Karina merengek, suaranya serak. “Nggak mau… aku mau minum lagi…” Sean menghela napas, lalu membungkuk. “Kalau gitu, aku gendong.” “Enggak! Emmmhh!” Karina meronta, matanya berkaca-kaca. Ia lalu duduk di rumput taman kecil depan club dan menangis tersedu. Sean jongkok di depannya, bingung. “Hei… ada apa? Katakan ke Kakak.” Karina menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Punya ku… rataaa… emmmhh…” Sean mengerutkan dahi. “Apa yang rata?” “Badanku… tinggi ku cuma 160… beratku 53… ehhh…” ia tersedu, suara patah-patah. Sean menahan tawa. “Hahaha… punya Kakak juga rata. Udah, ayo ku gendong.” Karina mendelik sambil terisak. “Kau… kenapa ketawa?! Kau menertawakan aku!” Sean cepat-cepat menggeleng. “Tidak… Kakak nggak ngetawain. Kakak cuma pengen kamu berhenti nangis. Ayo, kita pulang.” Akhirnya Sean menggendong Karina di punggungnya. Karina bersandar, tubuhnya lemas, napasnya hangat di telinga Sean.Dada empuknya menempel di punggungnya. “Segini aja dibilang rata? Gimana kalau gede… Apa perlu gue mekanikin biar tambah gede? ” Sean bergumam dalam hati, mencoba menahan gejolak. Ia membawa Karina ke McLaren-nya, dengan hati-hati mendudukkannya di kursi penumpang. “Udah, tidur aja. Biar Kakak yang nyetir,” ucap Sean lembut. Karina hanya bergumam tak jelas, matanya mulai terpejam. Sean menyalakan mesin, mobil melaju menuju apartemen mewahnya. McLaren berhenti di basement apartemen. Sean keluar, membuka pintu penumpang, lalu menggendong Karina yang sudah lemas. “Aduh, Rin… berat banget kalau kamu mabuk gini,” gumam Sean sambil menekan tombol lift. Karina hanya bergumam tak jelas, kepalanya bersandar di bahu Sean. “Aku… ngantuk…” Sean menatapnya sebentar. “Iya, sebentar lagi sampai kamar.” Lift berbunyi ting, pintu terbuka, ia melangkah keluar menuju unitnya. Begitu pintu apartemen terbuka, suasana hening. Nathalia tak ada di rumah. “Sepi… baguslah,” Sean bergumam, lalu membawa Karina ke kamar Karina. Dengan susah payah, Sean merebahkan Karina di ranjang. Gadis itu mengerang kecil, tangannya mencari-cari bantal. “Ya ampun, Rin… kamu bikin Kakak kerepotan.” Ia menatap wajah Karina yang tertidur, lalu perlahan melepaskan pakaian dan dalamannya Karina. Tubuh Karina yang tanpa sehelai benang terlihat di bawah cahaya lampu kamar. Sean menelan ludah, matanya tak berkedip. “Sungguh… indah badanmu, baby…” Tangannya tergoda meremas Samantha and Rachepnya, setelah puas ia menarik diri. “Apa yang kupikirkan ini? Tenang, Sean. Sabar. Seorang kesatria tidak akan berperang kalau lawannya tidak sadar.” Ia membuka lemari, mengambil lingerie tidur milik Karina. Dengan hati-hati, ia memakaikan itu ke tubuh Karina agar tidak kedinginan. “ Ternyata koleksinya begini semuanya.Kalau beginni lebih baik jadi kalau besok, dia bangun nggak akan syok.” Sean lalu melepaskan jas kemeja dan celananya sendiri, menyisakan boxer. Ia naik ke ranjang, lalu memeluk Karina dari samping. “Kalau aku gak pakaian kamu pakaian bisa kaget kamu besok.Tapi begini pun Kakak udah bisa curi-curi maskulin…” Karina menggeliat pelan dalam tidurnya, bergumam lirih. “Kak… Sean…” Sean terdiam, dadanya berdebar keras. Ia memejamkan mata, memeluk Karina erat-erat. “Tidurlah, Rin. Biarlah malam ini jadi rahasia Kakak.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN