Bab 4 - Rencana Menyusup

1235 Kata
Desa yang Fadia tempati terbilang sepi apalagi kalau malam hari. Itu sebabnya tidak ada yang melihat saat Fadia dijemput paksa oleh Bruno. Bahkan, tetangga Fadia sekalipun tidak melihatnya. Fadia sebenarnya sempat berteriak, tapi mulutnya langsung disumpal dan tidak lama kemudian Bruno dan orang-orang yang dibawanya segera memberikan obat bius sehingga Fadia langsung kehilangan kesadarannya. Sampai pada akhirnya, di sinilah Fadia berada. Di kamar yang sangat asing baginya. Kamar dengan nuansa putih yang dokorasinya cukup modern dan mewah. Sepertinya ini sudah pagi, terlihat dari sinar matahari yang mulai menerobos masuk melalui jendela kamar. Sejak membuka mata, Fadia langsung teringat segala kejadian semalam. Tunggu, mungkinkah ini merupakan salah satu kamar di rumah pamannya? Tapi apa mungkin paman yang hobinya menghabiskan uang di meja judi bisa memiliki rumah sebagus ini? Fadia yang hendak beranjak dari baringnya, spontan menyadari tangan dan kakinya dalam keadaan terikat. Fadia tahu Bruno memang sejak awal bukanlah paman yang baik, tapi ia tidak habis pikir kalau level kejahatan pamannya bisa sampai di tahap penculikan dan penyekapan seperti ini. Ya, Fadia diculik dan sekarang sedang disekap. Bagaimana caranya melarikan diri dari sini? Tak lama kemudian, pintu pun dibuka. Tampak seorang wanita mendekat ke arahnya. Wanita itu tentu tidak asing bagi Fadia. Ya, siapa lagi kalau bukan Bonita, istri Bruno. Wanita itu tidak pernah meninggalkan Bruno sekalipun pamannya tersebut kecanduan berjudi. “Bibi,” gumam Fadia pelan. “Rupanya kamu masih ingat bibi padahal penampilan bibi sudah sangat berbeda dengan saat terakhir kali kita bertemu.” Benar, dulu Bonita berpenampilan acak-acakan dan tidak terawat seperti gelandangan di pinggir jalan. Namun, saat ini Bonita berpenampilan selayaknya nyonya-nyonya terhormat. Dengan make-up yang cukup menor serta pakaian mahal yang melekat di tubuhnya. Fadia baru tahu. Sepertinya ekonomi mereka menjadi lebih baik. “Hmm, melihatmu memperhatikan wajah bibi dari ujung kepala hingga kaki … kamu pasti penasaran, kan? Pasti kamu bertanya-tanya bagaimana caranya paman dan bibimu menjadi kaya raya dan menjalani kehidupan berbeda dengan dua tahun lalu?” “Aku nggak penasaran. Aku justru seharusnya bersyukur karena itu artinya kalian nggak akan bergantung pada uangku lagi,” jawab Fadia. Meski sejujurnya Fadia penasaran, tapi ada hal penting lain yang harus mereka bicarakan. “Jadi tolong lepaskan aku. Seharusnya Bibi dan paman nggak membutuhkanku lagi. Kalian udah berkecukupan sekarang,” tambah Fadia. “Kata siapa kami tidak membutuhkanmu lagi? Kalau tidak butuh, pamanmu tidak akan bersusah payah mencarimu ke mana-mana. Konyolnya, dua tahun ini kamu bersembunyi di tempat yang sebetulnya mudah,” kata Bonita. Bonita melanjutkan, “Fadia, pasti pamanmu sudah menjelaskan duduk permasalahannya, kan? Hanya karena hidup kami sudah berkecukupan, bukan berarti utang budimu bisa lunas begitu saja.” Utang budi lagi…. “Anggap aja ini terakhir kalinya alias pelunasan kontan soal utang budimu. Setelah ini, kami tidak akan menagih apa pun lagi. Kita benar-benar impas,” tambah Bonita. “Aku nggak mau jadi istri ke empat, Bi.” “Bukan soal istri ke empatnya, Fadia. Tapi pikirkanlah benefit yang akan kamu dapatkan jika menjadi istri Juragan Iwan. Kamu akan kaya raya tanpa susah payah.” “Memangnya berapa utang kalian pada Juragan Iwan sampai-sampai nekat menjualku padanya? Padahal bibi bilang kalian sudah hidup berkecukupan. Kenapa sampai melakukan ini?” Bonita tertawa. “Tentu saja ini bagian dari bisnis. Kenapa setelah dua tahun kabur, kamu masih saja polos begini? Lagian pernikahan ini bukan hanya menguntungkan bibi dan paman, utamanya itu menguntungkanmu, Fadia. Bisakah kamu tinggal menurut saja?” “Pokoknya aku nggak mau,” tegas Fadia. “Kalau begitu, apa boleh buat. Bibi tidak akan melepaskan ikatan pada tangan dan kakimu.” “Bibi….” “Asal kamu tahu, pernikahanmu dengan Juragan Iwan akan dipercepat menjadi besok. Padahal tadinya dua hari lagi.” Apa? Besok? Tidak! “Ingat, kesempatan tidak datang dua kali.” “Bahkan mau datang seribu kali pun aku nggak akan berubah pikiran, Bi. Aku nggak mau menikah dengan Juragan Iwan. Kalau begini caranya, sama saja kalian menjualku!” “Ini pelunasan utang budi,” sanggah Bonita. Bonita melanjutkan, “Kamu tahu berapa nilai dari pernikahan ini? Miliaran. Juragan Iwan rela membayar mahal demi bisa menikahimu. Kamu ingat, kan, Juragan yang dulu tinggal di samping rumah Paman Bruno? Jangan bilang kamu lupa.” Fadia tentu ingat. Namun tetap saja, ia tidak mau menikah dengan pria yang sudah layak menjadi kakek-kakek. “Masih belum berubah pikiran juga?” tanya Bonita lagi. Fadia tetap menggeleng. “Bodoh. Asal kamu tahu Fadia, rumah ini dan terutama kamar di mana kamu berada sekarang … semuanya milik Juragan Iwan. Kurang baik apa lagi calon suamimu yang sudah memberikan rumah semewah ini untuk kamu tempati? Nantinya, rumah ini akan menjadi tempat tinggalmu yang Juragan Iwan datangi jika ingin menghabiskan waktu bersamamu,” jelas Bonita. “Istri-istri lain pun punya rumah masing-masing.” “Bibi pikir aku tertarik dengan semua ini? Kalau cuma rumah, aku juga punya dan tentunya jauh lebih nyaman dari ini.” “Kamu akan menjadi istri termuda dan tentunya kesayangan Juragan Iwan. Kamu bisa memiliki segalanya. Apalagi kamu masih perawan, Juragan Iwan pasti tergila-gila padamu.” Perawan? Andai tidak ingat kalau ini tentang aib, mungkin Fadia akan jujur kalau dirinya sudah tidak perawan karena dua tahun lalu … wanita itu sudah menyerahkan hal berharga tersebut pada pria bernama Arsen. Seketika Fadia jadi ingat Arsen. Tak bisa dimungkiri kalau pria itu pernah menjadi penolongnya. “Fadia.” Suara Bonita membuyarkan lamunan Fadia. “Pokoknya keputusan tidak bisa diganggu gugat. Suka atau tidak, setuju atau menolak … besok kamu akan tetap menikah dengan Juragan Iwan.” Fadia tahu menyanggah dan memberikan kalimat-kalimat penolakan hanya akan membuang energinya. Itu sebabnya ia memilih diam. Lebih tepatnya diam sambil menemukan cara untuk kabur dari sini. “Setidaknya lepaskan ikatan ini, Bi. Aku ingin ke kamar mandi.” “Sebentar lagi beauty therapist akan tiba. Dia akan melakukan serangkaian perawatan tubuh dan kecantikan terhadapmu, tentunya kamu sekaligus bisa ke kamar mandi,” balas Bonita. “Jangan membuang tenaga dengan coba-coba kabur karena kamu pasti gagal,” pungkasnya sebelum keluar kamar meninggalkan Fadia. *** Tadi malam setelah mengetahui Fadia dijemput paksa oleh Bruno, tentu Arsen tidak punya alasan untuk tetap berada di desa itu. Ia lalu kembali dan berusaha menemukan keberadaan Bruno yang bisa dipastikan ada Fadia di sekitarnya. Setelah melewati hari yang sibuk dan penuh drama, menjelang siang Arsen sudah menemukan lokasi terbaru Fadia. Saat ini ia berada di dalam mobil, menatap ke luar jendela di mana rumah dua lantai itu berdiri begitu megahnya. “Jadi ini rumah milik saudagar kaya itu?” tanya Arsen pada Hedy. “Ya, Tuan. Rumah yang akan dijadikan hadiah pernikahan untuk Fadia. Dilihat dari ramainya orang-orang dan kesibukan mereka mendekorasinya, sepertinya pernikahan akan dilangsungkan di rumah ini.” Arsen tidak menjawab, tapi otaknya sedang berpikir keras. Bagaimana cara menghentikan pernikahan Fadia? Ia tidak rela jika wanita itu menikah dengan pria lain. Maka dari itu Arsen harus secepatnya menemukan cara untuk menyusup ke rumah itu lalu membawa kabur Fadia. Harus! “Hedy,” panggil Arsen setelah beberapa saat terdiam. “Ya, Tuan?” “Sepertinya saya sudah punya cara.” “Cara?” “Untuk menyusup ke rumah itu,” balas Arsen. “Tuan mau menyusup ke sana?” Hedy tahu selama ini bosnya mati-matian mencari Fadia, jadi seharusnya tidak heran jika saat ini Arsen akan melakukan hal-hal di luar nalar termasuk nekat menyusup. Masalahnya adalah … hal ini cukup berisiko jika ketahuan. Arsen pasti berada dalam masalah besar. “Ya, saya akan menyusup ke sana,” tegas Arsen.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN