"Tujuan setan menempel pada manusia ada dua : Karena mengawasi atau merindukan orang yang dicintai."
❣❣❣
"Mau bubur?"
Kepalaku kontan mengangguk saat pertanyaan itu terlontar. Bukan sudah lapar, melainkan waspada tawaran itu bakal mubazir. Terlebih, itu meluncur dari mulut Life, kakak Die yang sudah dinyatakan sembuh. Apesnya, kini dia gantian harus merawatku yang sedang sakit. Ralat, merawat tubuh Die yang sakit. Entah sakit apa dan kenapa, aku nggak mau tahu.
"Tunggu sebentar," ujar Life lalu keluar dari kamarku.
Aku mengangguk.
Hening. Tak ada siapapun di kamar selain aku. Kecuali, sesuatu yang bukan manusia.
Bola mataku akhirnya berani untuk menyorot seorang lelaki yang berdiri di depan ranjangku. Lelaki itu nggak melakukan apapun, hanya diam di sana. Wajah pucatnya masih tanpa ekspresi dengan bibir terkunci. Dia nggak berbicara lagi setelah mengucapkan namaku waktu itu.
Pol. Begitu dia memanggilku. Padahal, aku dalam raga Die. Entah ikatannya dengan Die yang begitu kuat atau ada alasan lain sehingga dia bisa tahu tentang aku. Ya, dia lelaki yang sama. Dia ayah dari Die dan Life.
Memang, sejak Life masuk rumah sakit, dia muncul dan menunjukkan dirinya padaku. Bahkan, dia menyelamatkan aku waktu itu. Awaknya aku mengira dia menyelamatkan aku karena menyangka aku adalah Die. Ternyata dugaanku salah. Buktinya, dia menyebut namaku kemarin. Dimana hal itu langsung membuatku pingsan. Seolah energiku terserap habis hanya karena namaku disebut.
Bukankah ini aneh?
Seandainya Die dan Tsabit nggak melihatku pingsan dan datang menolong, entah bagaimana nasibku. Alih-alih membawaku ke rumah sakit, mereka memutuskan untuk membawaku pulang ke rumah. Bahkan, saat Life dinyatakan boleh pulang, Die dan Tsabit-lah yang menjemput. Aku rasa, seburuk apapun hubungan antar saudara, kepedulian mereka nggak akan pernah sirna.
Contohnya sekarang, Life bersedia merawatku. Padahal, waktu itu dia bilang nggak akan menolongku lagi. Life masuk, membawakan aku semangkuk bubur yang masih mengepulkan asap panas. Juga segelas s**u hangat. Lelaki itu meletakkannya di meja samping ranjangku.
"Masih panas, kamu bisa memakannya setelah agak dingin," katanya.
Aku mengangguk mengiyakan.
Lelaki menyebalkan itu duduk di tepi ranjangku, mengulurkan tangan dan meletakkannya di dahiku sedangkan tangan yang lain di dahinya. Sepertinya dia sedang memeriksa suhu tubuhku.
"Demammu belum turun," katanya.
Aku diam, nggak tahu harus mengatakan apa. Lagipula, aku lebih tertarik untuk melirik lengannya. Urat-urat panjang itu, masih ada.
"Life."
"Hm?"
"Lenganmu kenapa?" tanyaku.
"Ah, ini? Bukan apa-apa," jawabnya sembari menurunkan lengan bajunya yang sempat digulung hingga siku.
"Kamu yakin?"
Life mengangguk.
"Pikirkan saja dirimu. Dokter bilang, aku sudah sembuh."
Life kemudian berdiri.
"Aku akan ke kamar, jika kamu butuh apa-apa, kamu bisa memanggilku," pesannya.
Aku mengangguk lantas melirik lagi ayah Die. Dia masih di sana, nggak bergerak sedikitpun. Padahal, logikanya, semua setan akan menghilang jika ada Life.
Mengapa itu nggak berlaku pada ayah Life? Apa karena Life adalah anaknya?
Perhatianku teralihkan saat Die menelponku. Seperti biasa, dia pasti hanya memastikan keadaanku. Dia jadi seperti kekasihku beneran. Padahal, dia menolak pernyataan cintaku kemarin.
"Ya, Die?" sahutku saat telpon kami sudah terhubung.
"Kamu baik-baik saja, Pol?"
"Iya, aku sudah nggak apa-apa, Die," jawabku.
"Kamu sudah makan?"
"Sebentar lagi, buburnya masih panas. Bagaimana denganmu?"
"Aku juga sudah. Tsabit mentraktir aku makan," jawabnya yang membuatku merinding.
"Sebaiknya kamu jangan lagi makan makanan darinya, Die," nasehatku.
"Kenapa?"
Aku khawatir dia akan memeletmu. Aku ingin berkata begitu tetapi tidak jadi. Die pasti akan menertawaiku atau mungkin menuduhku paranoid.
"Kenapa Pol? Ada yang salah dengannya?" tanya Die lagi.
"Ah, nggak. Hanya nggak enak saja ditraktir terus," jawabku berbohong, enggan mengatakan alasan sebenarnya.
"Tenang saja, Tsabit kaya, dia nggak akan jatuh miskin hanya karena membelikanku makan," kata Die lantas tertawa. Gadis dingin itu tahu cara menertawakan lelucon ternyata.
"Baiklah, yang penting, kamu harus bisa menjaga tubuhku," pesanku.
"Tenang saja, tubuhmu aman. Aku sehat, kok. Kamu yang seharusnya aku marahi. Bagaimana bisa kamu membuat tubuhku sakit?" omelnya.
"Maaf, Die."
"Kamu dimaafkan, Pol."
"Kenapa kamu menelponku Die? Apa kamu sudah pulang sekolah?" tanyaku.
"Belum," jawab Die. "Aku hanya ingin tahu keadaanmu."
"Fokuslah, aku nggak apa-apa," suruhku.
"Iya, nanti aku akan ke sana dengan Tsabit."
"Kenapa harus sama dia?"
"Memangnya kenapa?"
Dia homo.
"Kenapa, Pol? Kamu nggak suka kalau aku bersamanya? Jangan cemburu buta, dia temanmu," tegur Die.
Aku hanya menghela napas kasar, menahan diri agar nggak menyanggah perkataan Die. "Iya."
"Bagus, sudah ya. Bye."
"Bye."
Telpon berakhir, tetapi rasa khawatirku belum.
Aku mengangkat kepalaku, menyorot lagi ke tempat yang sama dimana aku selalu ingin melihat ke sana. Lelaki itu—seolah memiliki pesona yang mendorong kuat diriku untuk tahu kehadirannya, masih ada atau sudah pergi.
Ada. Dia masih di sana. Aku penasaran alasan mengapa dia di sini dan mengapa baru sekarang aku dihantui. Ini sungguh aneh karena dia tahu bahwa aku bukan Die. Hubunganku dengan Life juga buruk. Lantas untuk apa? Tak ada alasan baginya untuk menunjukkan diri padaku. Apa Die tahu bahwa ayahnya suka berada di dekatnya atau Life selama ini? Ah, entahlah. Akan aku tanyakan nanti.
***
Sesuai janji, Die dan Tsabit benar-benar datang berkunjung. Life membukakan pintu untuk mereka berdua, juga mengantarkan keduanya ke kamarku. Namun, Die dan Life sangat terlihat tegang. Aura permusuhan keduanya terlalu nyata untuk disembunyikan. Sepertinya, di tubuh siapapun Die, permusuhannya dengan Life nggak bisa dihindari.
Tapi kenapa harus saat berada di tubuhku? Bukankah kesannya aku jadi sangat buruk di mata Life? Bagaimana nanti jika aku dan Die sudah kembali normal?
"Menjauhlah dari Die, kamu hanya membawa dampak buruk padanya," ketus Life saat Die dan Tsabit sudah di kamar. Die bahkan hendak duduk di sampingku tetapi larangan Life membuat gadis itu berhenti sejenak.
"Kamu yang memberikan dampak buruk padanya, Life," sahut Die dengan berani.
Life mendengus.
"Dampak buruk seperti apa yang kamu maksud, Pol?" tantang Life.
"Kamu sudah membuatnya menjadi seorang pecundang sama sepertimu, Life. Ka-mu men-ji-jik-kan," jawab Die dengan pengucapan yang terlalu jernih membuatku dan Tsabit hanya bisa bertatapan sambil menelan ludah.
Sungguh, aku merasa kalau kami seharusnya nggak terlibat dalam perang saudara ini.
"Kamu, lebih MEN-JI-JIK-KAN!"
Kali ini, Life yang melakukan pengucapan dengan sangat jernih. Lelaki yang memang menyebalkan itu bahkan menyunggingkan senyuman culasnya. Die melipat tangannya di depan d**a.
"Kamu bilang aku menjijikkan? Kamu tahu apa soal aku huh?"
Die masih melakukan perlawanan. Sorot matanya bahkan berkilat, memancarkan keberanian yang aku rasa salah tempat dan waktu.
"Untuk apa aku tahu soal kamu? Yang jadi pertanyaan di sini, apa kamu tahu siapa kekasihmu?" sahut Life yang membuat pupil mata Die membulat.
"Kamu, apa yang akan kamu katakan padanya, Life?!" tanya Die dengan intonasi yang tiba-tiba naik.
Reaksi Die membuat Life merasa menang. Lelaki itu seperti telah menemukan kelemahan Die.
Life berjalan maju, kini jaraknya dengan Die semakin dekat. Aku menjadi semakin khawatir, sempat aku kirim sinyal pada Tsabit agar menyeret Die keluar, tetapi pemuda kaya yang satu itu hanya memiliki nyali seukuran atom. Terbukti, sekarang dia berdiri dengan wajah pucat. Takut.
Aku menghela napas, mencoba untuk menyela tetapi belum menemukan waktu yang tepat untuk mengakhiri perang saudara antara Die dan Life. Entah kenapa, rasanya nggak nyaman untuk memperlihatkan sesuatu seperti itu padanya, yang sadari tadi juga ikut menyaksikan.
"Pergi kamu!" usir Life dengan suara tinggi.
Die yang sempat kaget hanya mendesah kasar.
"Bukankah seharusnya kamu yang pergi? Kamu sudah sembuh, jadi enyahlah! Jika dirimu nggak bisa berguna dalam menolong adikmu, bukankah harusnya kamu mencari uang agar setidaknya berguna?" Die kembali menyiram minyak panas dalam peperangan.
Life mendecih keras.
"Aku nggak berguna? Anak kecil sepertimu tahu apa? Tanpa aku, Die hanyalah anak cengeng," sanggah Life.
Kali ini, Die yang mendecih keras.
"Anak cengeng? Kamu lupa? Aku yang menyelamatkanmu saat kamu hampir mati karena setan asrama waktu itu. Kamu yang menangis saat itu Life, bukan aku. Jadi, siapa anak cengeng di sini?"
Tangan Life terkepal. Lelaki itu terlihat sangat marah, wajahnya bahkan sudah merah padam. Pandangan mata sinis Die saat ini sangat kentara kalau dia begitu meremehkan Life.
"Tutup mulutmu, Die!" umpat Life keras.
Die tergelak pelan.
"Die? Kamu terbawa suasana huh? Aku Pol, Life. P-O-L," ujar Die dengan santainya.
Life tercenung beberapa saat lalu menoleh ke arahku. Aku sampai menahan napas saat Life melihatku, rasanya sebentar lagi aku akan muntah darah karena perang saudara ini. Untungnya, Life segera beralih menatap Die lagi.
Lelaki itu mengulurkan tangannya dan urat-urat saraf berwarna ungu itu mulai memberikan reaksi. Lengan baju Life mendadak sobek saat urat-urat itu menyeruak keluar, lagi. Kali ini warnanya sudah berganti menjadi kapiler darah, sama seperti waktu itu.
Angin yang nggak biasa mulai berhembus, awalnya pelan, lama-kelamaan semakin kencang. Entah datang darimana, lantai kamar dan semua benda di kamar atau mungkin seluruh rumah bergetar.
Apa sedang terjadi gempa bumi? Bukankah harusnya sekarang kami lari untuk menyelamatkan diri?
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Berlari.
Tsabit, ah, tentu saja, pemuda itu memang memiliki mental lemah. Dia langsung ciut karena takut lalu menyeret dirinya keluar dengan segera. Lari tunggang-langgang, sendirian. Responnya terhadap keadaan berbahaya memang luar biasa.
Dasar teman nggak setia!
Die dan Life masih di tempat mereka. Berdiri berhadapan dengan tatapan mata yang susah diterjemahkan. Keduanya sama sekali nggak bereaksi, seolah apa yang terjadi pada tangan Life, hanya sebuah efek animasi yang nggak bisa mereka lihat.
Saraf-saraf kapiler darah itu mulai meruncing, membentuk sebuah sabit yang siap menebas siapapun. Aku mulai merasakan bahwa Die nggak beranjak dari sana bukan karena nggak ingin tapi nggak bisa bergerak.
Tubuhku bereaksi, berlari kencang ke tengah-tengah keduanya. Aku dorong Die hingga terpelanting ke lantai. Sementara tubuh Life juga terpelanting keras ke belakang, menabrak tembok saat kumpulan saraf berwarna kapiler darah itu hancur menjadi serpihan.
Bukan aku. Bukan aku!
Aku menoleh, menatap rantai yang sudah mengelilingi tubuhku. Rantai itu nggak menjerat, hanya melayang di sekitarku selama beberapa detik lalu menghilang.
Aku berdiri, menatap ke arahnya. Di tempat ini, ada Die dan Life, anaknya. Lantas kenapa dia menyelamatkan aku? Kenapa?
Aku memegang kepalaku dengan satu tangan, sakit. Tiba-tiba saja berdenyut keras, perih. Aku terduduk, bahkan mulai berguling-guling di lantai. Potongan-potongan ingatan mulai keluar, menjadi sebuah adegan-adegan nggak tuntas yang setiap kali terputar memberikan bekas menyakitkan di kepalaku.
Die yang melihatku kesakitan segera mendekat. Gadis itu mendekap erat tubuhku, berusaha menenangkan aku.
"Pol, kenapa? Kenapa? Ada apa denganmu?" teriak Die dengan cemas.
Aku nggak menjawab, mencoba nggak mengerang keras karena sakit di kepalaku saat ini. Lantas, tiba-tiba sakitnya menghilang. Aku kembali tenang. Napasku masih belum teratur, keringat juga sudah banjir.
Die membantuku untuk duduk. Gadis itu bahkan mengelap keringatku dengan ujung bajunya.
"Ada apa, Pol? Kamu baik-baik saja?" tanya Die dengan cemas.
"Die," panggilku lirih, mendadak tenggorokan dan bibirku terasa kering.
"Kenapa Setan menempel pada manusia?" tanyaku lirih.
Die terdiam beberapa saat lalu tersenyum hambar.
"Alasan Setan menempel pada manusia ada dua, mengawasi atau merindukan orang yang dicintai," jawabnya.
"Kenapa? Apa kamu melihat Setan lagi?" tanya Die, raut wajahnya sangat terlihat khawatir.
Aku hanya menggeleng.
"Nggak," bantahku.
"Kamu yakin, Pol?"
Aku mengangguk.
Die membantuku kembali ke kasurku. Setelahnya, dia keluar, berniat mengambilkan aku air. Namun sepertinya, Die pergi di saat waktu yang kurang tepat. Life terbangun. Lelaki itu langsung mendatangiku, mencengkram kuat kerah bajuku.
"Katakan!" hardiknya. "Mengapa ayah melindungimu?"
Gelas yang dibawa Die pecah. Gadis itu menatapku nanar.
Aku melirik seorang lelaki yang berdiri di sampingku.
“Jadi, katakan padaku, mengapa anda melindungiku?”