Enambelas

1717 Kata
"Apa menurutmu sahabat jadi cinta juga berlaku di persahabatan antar laki-laki?" ❣❣❣ Aku sedang bersiap-siap untuk pergi ke kolam renang dengan Die dan Tsabit.  Aku akan menepati janjiku pada Die hari ini. Awalnya kami akan ke pantai tetapi Tsabit bilang mobil keluarganya dipakai. Karena jarak pantai yang lumayan jauh, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke kolam renang saja. Die juga nggak keberatan dengan itu. Aku segera mengambil tas ranselku ketika terdengar suara klakson sepeda motor dari luar rumah. Benar dugaanku, Die dan Tsabit sudah datang. Keduanya datang bersamaan. Die dengan sepeda biasa sedangkan Tsabit dengan sepeda motor. Mereka bisa datang bersamaan karena Die nggak mau mengayuh sepedanya. Tsabit menarik sepeda itu dengan memegang tangan Die. "Sudah siap, Die?" tanya Tsabit ketika aku sudah berada di depan mereka. Aku mengangguk. "Kita akan bersenang-senang hari ini," katanya sambil tersenyum lebar. Aku mengangguk. "Ya," jawabku. "Life ada?" tanya Die. Aku menoleh ke arah Die lalu menggeleng pelan. "Life bilang akan pulang tengah malam," jawabku. "Dia memberitahumu?" tanya Die nggak percaya. "Nggak secara langsung, tapi dia menuliskan memo di depan kulkas," jelasku. "Ah, begitu," gumam Die pelan. Aku mengangguk. "Ya." "Dia belum berubah," nilainya lagi. Aku mengangguk lagi. "Ketegangan macam apa ini, Pol? Kita akan bersenang-senang hari ini," protes Tsabit. Aku dan Die menoleh ke arah Tsabit, satu-satunya teman yang bisa kami ajak berbagi saat ini. "Maaf," ucapku. "Oi, Die, aku sedang menegur Pol, mengapa kamu yang meminta maaf? Selain jadi kekasih Pol, kamu juga merangkap jadi juru bicaranya huh?" omel Tsabit. Aku dan Die tertawa geli mendengar omelan Tsabit. Entah kenapa, rasanya semua akan baik-baik saja saat kami sedang bertiga. "Maafkan aku," kata Die. Tsabit menatap Die yang memberikan tatapan memelas. Tsabit memegang d**a kirinya lagi. "Aw," jeritnya pelan. "Hentikan itu, dadaku sakit setiap kali kamu melakukan itu," protes Tsabit. Aku terkekeh melihat ekspresi wajah Tsabit. Temanku itu jadi lucu. Rasanya, bertukar tubuh dengan Die ada manfaatnya. Setidaknya, kini teman Tsabit nggak hanya aku, tapi Die juga. Aku sudah berhasil membuat dua orang yang nggak memiliki teman bisa berteman. "Oi, Die, kamu mau berenang atau berkemah? Besar sekali tas yang kamu bawa," kata Tsabit sambil menunjuk ke arah tas yang kujinjing. Aku hanya nyengir, enggan menanggapi. Tentu saja banyak, aku ini sedang menjadi perempuan. Nggak seperti lelaki yang bisa berenang memakai celana pendek dan kembali mengenakan baju yang sama dengan yang dipakainya untuk berangkat, perempuan nggak sesimple itu. Aku harus membawa pakaian dalam, baju renang, handuk, peralatan mandi, peralatan untuk tubuhku semacam body lotion, pelembab, bedak, sisir dan lainnya. Ribet. "Sudahlah, taruh tasnya di sepeda motormu," suruh Die. Tsabit berdecak pelan. "Oi, Pol. Aku ini temanmu bukan pesuruhmu, mengapa kamu selalu menyuruhku ini-itu? Aku nggak mau!" oceh Tsabit nggak terima. Die menatap Tsabit dengan ekspresi mata kosong. Dia tampak kalem, hampa dan menakutkan. "Angkat!" suruh Die. Tsabit menurut. Dia mengambil tas dari tanganku dan meletakkannya di bagian depan sepeda motornya. Aku tertawa geli melihat tingkah Tsabit itu. Entah kenapa dia terlihat lucu. Die mampu mengendalikannya. "Ayo berangkat!" ajak Die. Aku mengangguk lalu naik ke sepeda. Tentu saja, aku membonceng sedangkan Die mengayuh. "Kenapa Die nggak membonceng padaku saja, Pol?" tawar Tsabit. "Nggak usah, aku masih kuat untuk mengayuh sendiri," tolak Die. Tsabit mencibirkan bibirnya. "Kalau kamu masih kuat, kenapa tadi nggak kamu kayuh itu sepeda?" sindir Tsabit. "Kamu mau berdebat denganku, Bit?" delik Die dengan nada suara yang tajam. Tsabit nyengir, takut kalau Die marah. "Maaf, aku akan mengunci mulutku dan berangkat," kata Tsabit lantas menyalakan mesin sepeda motornya. "Bagus, karena kamu sampai lebih dulu, tolong belikan tiket." suruh Die. "Hah?" Tsabit menoleh kaget ke Die. Sempat ingin protes tetapi batal ketika Die langsung mengayuh sepedanya. Aku yang melihat kejengkelan di wajah Tsabit hanya bisa menertawainya. "Kamu pandai tertawa sekarang huh?" sindir Tsabit padaku. "Ya," jawabku. Tsabit mendecih pelan. "Aku nggak tahu kalau kalian sekejam ini," gumamnya. Aku tertawa lagi. Tsabit mengklakson, melewati aku dan Die. Die hanya mengangguk dan melambaikan satu tangannya. "Kamu baik-baik saja, Pol?" tanya Die setelah kami hanya berdua. Tsabit sudah berada jauh di depan kami. Aku mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja," jawabku. "Bagaimana denganmu?" "Keadaanku cukup baik, kecuali telingaku." Aku mengerutkan dahi. "Kenapa dengan telingamu?" tanyaku. "Telingaku sakit, sejak pengumuman sampai tadi saat aku akan menemuimu, mamamu masih saja menangis," jelas Die. "Ah, karena hasil olimpiade itu?" tebakku. Die mengangguk. "Aku jadi merasa bersalah kepadanya," sesal Die. "Tenang saja, aku akan tetap masuk ke kampus yang Mama mau, Die. Kamu tahu kan? Aku ini genius," kataku setengah menyombongkan diri. "Ya, aku percaya itu." "Kalau kamu? Apa yang ingin kamu lakukan, Die?" tanyaku. Die diam, nggak menjawab. Gadis itu hanya mengayuh lebih cepat. "Kenapa? Apa kamu nggak punya cita-cita atau sesuatu yang kamu inginkan?" tanyaku seraya melingkarkan satu tanganku di pinggang Die. Die masih diam. Bahkan meski aku lingkarkan satu tanganku di pinggangnya, dia nggak memberikan respon apapun. "Die," panggilku. Hening. "Kamu tidur?" tebakku. "Kamu gila? Bagaimana bisa aku tidur saat mengayuh sepeda?" dengus Die. Aku tergelak. "Ah, begitu. Kenapa nggak jawab?" tanyaku. "Jika aku jawab, apa kamu mau mengabulkannya?" tanya Die balik. "Tergantung, jika aku sanggup mungkin bisa aku kabulkan." jawabku. "Kamu sanggup, Pol," katanya yakin. "Bagaimana kamu bisa seyakin itu?" tanyaku heran. "Kamu genius," jawabnya yang entah kenapa membuat pipiku bersemu merah. "Jadi, apa yang kamu cita-cita kan?" tanyaku. "Aku ingin menjadi dokter," jawabnya dengan nada yang mengambang, penuh harap dan rasa putus asa pada saat yang bersamaan. "Bagaimana? Apa kamu mau mengabulkannya?" tanya Die. Aku hanya diam. "Nggak usah memaksakan, jika nggak bis, aku nggak akan memaksa," kata Die. "Bukan begitu," sanggahku. "Trus?" "Aku, hm.." Aku menggaruk-garuk kepalaku yang nggak gatal. Bingung. "Aku apa Pol?" tanya Die. "Aku takut darah." Hening, kami saling diam. Pun ketika kami sampai di tempat tujuan, kami masih saling diam. Tsabit mendatangi kami, memberikan tiket. Kami pun masuk ke dalam. Setelah menitipkan barang bawaan, kami pun akan berganti baju lebih dulu. "Hei, Die," panggil Tsabit saat aku akan masuk ke kamar ganti. "Ya?" "Itu buat lelaki," katanya. Aku bengong sejenak lalu nyengir. "Ah, haha," kataku tertawa canggung. Die menatapku datar. "Kamu mau mati?" tegur Die. Aku nyengir lagi. "Nggak, terima kasih." jawabku lalu segera pergi ke kamar mandi perempuan. Aku menelan ludah saat masuk ke dalam. Ada banyak perempuan dengan berbagai usia, bentuk tubuh dan penampilan. Mereka semua manusia. Walau tentu, ada juga yang bukan. Aku hendak masuk ke salah satu bilik kamar ganti tetapi batal. "Kamu nggak mau ganti? Boleh aku duluan?" tanya seorang wanita paruh baya. "Ah, silahkan," jawabku seraya mempersilahkan wanita itu. Wanita paruh baya itu sangat senang. Dia mengucapkan terima kasih lalu masuk ke dalam. Padahal seandainya dia tahu bahwa ada Setan lelaki hidung belang dengan mata yang nyaris keluar di dalam, mungkin dia akan mengutukku. Aku kemudian berganti baju di bilik yang lain. Setelah selesai memakai baju renang, aku pergi ke tempat penitipan barang lagi untuk menaruh pakaian yang barusan aku pakai. Tak lama kemudian Die dan Tsabit datang. "Siap berenang?" tanya Tsabit. Aku mengangguk. "Sebaiknya kita melakukan pemasanan dulu," usul Die. Aku dan Tsabit mengangguk mengiyakan. Kami bertiga lalu melakukan pemanasan. "Hei, Pol, kamu mau berenang di mana?" tanya Die setengah berbisik. "Kenapa?" tanyaku heran. "Aku kurang bisa berenang, sebaiknya kamu berenang di tempat yang dangkal," kata Die menyarankan. "He? Di tempat anak-anak? Nggak mau," tolakku. "Tapi Pol, gimana kalau-.." "Die, aku bisa berenang. Tenang saja," potongku cepat. "Bukan itu saja, di dalam air biasanya aku me-.." "Die, tenang saja. Aku akan baik-baik saja," potongku lagi. Die menghela napas berat. "Kamu yakin?" tanya Die masih merasa cemas. Aku mengangguk. "Ya, lagipula jika ada apa-apa padaku, kamu bisa langsung menolongku. Ya kan?" Die hanya tersenyum tipis. "Ya, aku akan menyelamatkanmu," janjinya. Aku tersenyum. "Hei, hentikan drama romantis kalian," tegur Tsabit. Aku dan Die menoleh ke arah Tsabit yang sedang memanyunkan bibirnya, kesal. Aku sempat melupakan kehadirannya. Setelah itu, kami menuju ke pinggir kolam untuk dewasa, bersiap untuk berenang. Die dan Tsabit melompat lebih dulu ke dalam air. Mereka meloncat dengan girang. Die tampak bahagia, rasanya sangat mengherankan dia nggak pernah ke pantai atau kolam renang selama ini. Padahal, nggak ada hal yang perlu ditakutkan di sini. Aku hendak melompat ke dalam ketika melihat sesuatu yang hitam besar bergerak-gerak di dalam air. Awalnya satu, dua, kemudian semakin banyak. Aku mengerutkan dahi. Apa banyak yang menyelam? Aku menoleh kiri-kanan, kolam renang hari ini memang cukup ramai. Namun kebanyakan yang datang para orangtua dengan anak-anak mereka yang masih kecil. Kolam untuk orang dewasa sedikit sepi. Lantas itu siapa? Atau, apa? Aku mengacuhkan pemikiran negatifku dengan melompat ke dalam. Aku pun mulai berenang mencoba bersenang-senang seperti apa yang dilakukan oleh Die dan Tsabit. Keduanya bahkan berlomba. Apanya yang hanya bisa berenang sedikit? Die bahkan bisa memakai gaya kupu-kupu dan d**a. Aku terus berenang, tanpa beban lalu mulai menyelam. Saat berada di dalam air, mataku terbeliak. Ada bayangan hitam, bukan manusia. Bentuknya sangat membuat mual. Kepalanya besar dengan mata besar di tengah-tengah, tubuhnya kecil dengan empat tentakel seperti tangan, sudah mirip ubur-ubur saja. Aku panik saat mereka mendatangiku. Tentakel-tentakel mereka mendekat lebih dulu, mengikat kaki dan tanganku hingga aku nggak bisa ke atas atau melarikan diri. Dadaku terasa tercekik ketika asupan oksigenku mulai habis. Tubuhku meronta-ronta, mulutku mulai terbuka, terbatuk hingga menimbulkan gelembung udara. Aku mencoba melepaskan diriku dengan berbagai upaya. Kakiku berusaha keras untuk lepas dengan menendang kesana-kemari. Namun karena di dalam air dan terikat pula, semuanya jadi sangat berat. Kepalaku timbul-tenggelam. "Die! Die!" Aku terus meneriakkan itu ketika kepalaku berhasil menyembul ke permukaan walau hanya seperkian detik. Aku mulai putus asa ketika tak bisa lagi melakukan apapun, nggak berdaya, bahkan menelan beberapa kali air kolam. Aku tersedak, nyaris saja mati seandainya punya riwayat serangan jantung. Hantu yang bak ubur-ubur itu sangat menakutkan. Wajahnya beringas dengan jiwa bengis yang seakan akan merampas paksa jiwaku. Aku takut, gemetar, bahkan ini lebih menakutkan dari pengalamanku sebelum-sebelumnya. "Die!!!" Tubuhku mulai berangkat ketika sebuah tangan mengunci leherku, mengangkatku ke atas permukaan lalu menyeret tubuhku ke pinggir kolam. "Tarik dia!" perintah Die pada seseorang yang aku yakini adalah Tsabit. Tubuhku diangkat tetapi kesadaranku sudah terlalu tipis. Aku dibaringkan, dadaku ditekan beberapa kali lalu aku mulai merasa hidup saat tubuhku memuntahkan air kolam yang sempat aku telan. Aku terbatuk-batuk. Nyawaku terselamatkan. Aku melihat Die lalu memeluknya. Tangis bahagiaku tumpah, aku bersyukur masih hidup. "Tenanglah," kata Die. "Tolong jaga, Die, aku akan mengambil handuk. Dia tampak kedinginan," kata Die pada Tsabit. Tsabit menurut. Sahabatku itu membantuku berdiri, hendak memapahku untuk ke tempat duduk. "Kamu lihat berapa kerennya, Pol?" kata Tsabit. "Dia semakin keren bukan? Aku diam, sibuk mengais udara untuk jiwaku yang hampir melayang. "Apa menurutmu sahabat jadi cinta juga berlaku pada persahabatan antar lelaki, Die?" tanyanya yang membuatku melepaskan diri dari papahannya. "Eh, anu, bukan, maksudku.." "Shit." Tsabit mengibas-ngibaskan kedua tangannya ke depan. "Bukan, anu, bukan begitu, Die. Aku-.." Tubuh Tsabit terdorong masuk ke dalam air karena aku menendangnya. Entah aku dapat dari mana kekuatan sebanyak itu. Die kemudian datang, hendak menolong Tsabit tetapi aku meraih tangannya. "Ayo pulang!" ajakku lalu menggandeng tangan Die untuk pergi dari sana. "Eh? Kita biarkan saja dia?" tanya Die. Aku mengangguk. "Nggak ditolong?" "Dia bisa berenang." "Oke." Die pun diam. Setelahnya kami pergi ke kamar ganti lalu pulang bersama. Kali ini, aku yang mengayuh sepedanya. Sepertinya aku harus mengawasi Tsabit saat ini. Die nggak boleh dekat-dekat dengannya. Aku harus melindungi tubuhku. Ck, sungguh ini sangat merepotkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN