Bab 1. Kehidupan Kedua

1621 Kata
Happy Reading "Kamu harus percaya padaku, Julio! Aku benar-benar tidak bersalah! Aku tidak pernah mencelakai Feya, dia sendiri yang melukai pergelangan tangannya. Bukan aku, sumpah demi Tuhan!" ujar Kania dengan tubuh bergetar hebat, air mata mulai menggenangi pelupuk matanya. Ketakutan yang luar biasa mencengkeram hatinya saat suami yang selama ini dia cintai, pria yang dia berikan seluruh hidupnya, kini membela wanita munafik dan penuh tipu muslihat itu. "Apa menurutmu aku percaya? Mana mungkin Feya melukai tangannya sendiri jika pisau itu ada di tanganmu?!" ujar Julio dengan nada suara dingin dan penuh amarah. Tatapannya tajam menusuk ke dalam mata Kania, seolah-olah ingin menguliti setiap lapisan kebohongannya. Wajahnya yang sejak dulu selalu datar, kini dipenuhi oleh kecurigaan dan kebencian. Kania merasa seperti orang asing di hadapan suaminya sendiri. Kania menggelengkan kepalanya dengan putus asa, air mata akhirnya tumpah membasahi pipinya. Seharusnya tadi dia tidak meladeni Feya, wanita licik yang telah merebut hati suaminya. Ternyata Feya sudah merencanakan semua ini untuk menjebaknya. Kania masih ingat dengan jelas bagaimana Feya mengiris nadinya sendiri dan dengan cepat menyerahkan pisau itu padanya saat melihat Julio datang. Sebuah jebakan yang begitu rapi dan kejam. Julio pun tidak akan pernah percaya dengannya. "Aku benar-benar tidak melakukannya! Demi Tuhan, aku tidak melukai Feya!" seru Kania dengan suara parau, isak tangisnya semakin menjadi-jadi. Selama ini dia sudah mengorbankan banyak hal demi menyenangkan Julio, mulai dari meninggalkan karirnya, mengurus rumah tangga dengan sepenuh hati, hingga berusaha menjadi istri yang sempurna. Tetapi semua pengorbanannya sia-sia, Julio tetap tidak bisa mencintainya sepenuh hati. Julio bahkan membawa Feya, wanita yang merupakan sekretarisnya karena mengaku hamil anak Julio ke kediaman mereka. Dan Feya, wanita licik itu, selalu memainkan peran sebagai korban, selalu bisa membalikkan keadaan dengan begitu mudah hingga Kania selalu nampak salah di mata Julio. Padahal, selama ini Kania lah yang menderita akibat ulah Feya, mulai dari hinaan, fitnah, hingga perlakuan kasar yang disembunyikan dari Julio. Isak tangis Kania tidak didengar oleh Julio. Telinganya seolah-olah tuli, hatinya tertutup oleh rasa benci dan amarah. Menurut Julio, Kania adalah wanita yang licik dan selalu ingin mencelakai Feya. Pikirannya telah diracuni oleh kebohongan Feya, membuatnya buta terhadap kebenaran. "Julio, jangan menyalahkan Kania, dia pasti tidak sengaja. Akulah yang salah karena hadir di antara kalian," suara lemah Feya terdengar, semakin menambah bahan bakar dalam api kemarahan Julio. Feya, dengan wajah pucat dan air mata yang berlinang, berhasil memainkan perannya sebagai korban dengan sempurna. "Tidak, Feya! Aku harus memberi pelajaran pada wanita ini agar dia tahu jika bermain-main denganmu, dia akan mendapatkan masalah!" Julio semakin kalap, matanya merah menyala. Dia menggenggam pisau itu semakin erat. Seakan ingin menghabisi Kania saat itu juga karena hampir membunuh wanita yang telah mengandung anaknya. Kania yang melihat adegan Julio yang lagi-lagi selalu membela Feya, merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Senyum miris terbit di bibirnya. Entah kenapa, di tengah situasi yang mencekam ini, dia menyadari bahwa Julio tidak pantas untuk dicintainya. Pria yang dia puja selama ini ternyata buta dan tuli terhadap kebenaran, lebih memilih mempercayai kebohongan daripada istrinya sendiri. Julio bahkan percaya jika anak yang di kandung oleh Feya itu adalah anaknya, padahal Feya mengatakan padanya jika sebenarnya itu bukanlah anak Julio. Feya telah menjebaknya dan jika Kania mengatakan hal tersebut, yang ada Julio akan semakin membencinya. Dengan gerakan cepat, Kania merebut pisau dari tangan Julio. Rasa putus asa dan amarah yang terpendam selama ini meledak. Dia melayangkan pisau itu ke arah tangan Feya. "Kau menuduhku bukan? Sekarang aku akan melakukannya!" teriak Kania. Biar saja sekalian dia melukai wanita licik ini. Bagaimanapun dia mengatakan bahwa dia tidak bersalah, Julio tetap menyalahkannya. Kania sudah lelah, lelah dengan semua drama dan kebohongan ini. "Ah, Julio... tanganku sakit!" seru Feya dengan jeritan dramatis, memegangi tangannya yang terluka. Darah segar mengalir dari lukanya yang tadi hanya sebuah goresan, kini semakin dalam, membuat Julio semakin panik. Dia menatap Kania dengan tatapan penuh kebencian, seolah-olah Kania adalah monster yang paling kejam di dunia. Julio yang melihat kegilaan Kania, langsung merebut pisau itu, tetapi Kania tetap mempertahankan dengan sekuat tenaga. Mata Kania yang biasanya lembut berubah menjadi dingin saat menatap suaminya. Julio sedikit terkesiap, menurutnya, Kania benar-benar gila. "Kania! Lepaskan pisaunya!" Julio masih berusaha merebutnya, takut jika Kania benar-benar akan membunuh Feya. Keduanya berebut pisau itu hingga tiba-tiba, pisaunya menancap tepat ke jantung Kania. Tubuh Kania membeku, darah mengalir dari dadanya. Julio terkesiap, dia juga ikut terkejut melihat pisau itu menusuk istrinya. Kania ambruk, dia melihat Julio hanya diam saja. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, tetapi yang paling sakit adalah hatinya. Dia menyesal telah mencintai pria itu selama bertahun-tahun hingga berakhir tragis seperti ini. Kania melihat wanita yang sudah menjadi sumber masalahnya selama ini tersenyum sinis di belakang Julio. Feya, wanita itu membuatnya semakin dibenci oleh sang suami. Jika diberi kesempatan kedua, Kania tidak akan pernah mempercayai ucapan Feya yang ternyata selama ini justru menjatuhkannya ke jurang yang dalam dan dia juga tidak akan pernah mencintai pria itu. Pandangan Kania semakin lemah, namun sebelum mati, dia bersumpah dalam hatinya. "Aku tidak akan pernah terima dengan kematian ini, semuanya tidak adil bagiku, aku sama sekali tidak bersalah dan aku tidak akan pernah memaafkan orang-orang itu! Tuhan, jika aku diberikan kesempatan kedua, aku tidak akan menjadi wanita bodoh yang mengejar cinta dari pria yang tidak pernah mencintaiku!" Sakit sekali rasanya! Namun, di antara rasa sakit itu, Kania sempat melihat Feya yang memeluk Julio dengan erat. Julio bahkan hanya diam saja, menatap ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Pandangannya semakin mengabur dan perlahan dia menutup matanya dengan setetes air mata mengalir di sudut. Seluruh hidupnya seakan sia-sia tanpa mendapatkan apapun yang dia inginkan. Dia telah kehilangan segalanya dan disakiti oleh orang yang paling dia cintai setelah ayahnya pergi meninggalkan dunia. *** "Euhh, sakit!!" lenguh wanita yang tidak lain adalah Kania. Matanya terbuka perlahan, dia merasa kepalanya sangat sakit. Kania tercengang melihat sekelilingnya saat ini. Dia berada di ruangan serba putih dan sebelah tangannya diinfus. Itu artinya dia sedang berada di rumah sakit. "Apa aku masih hidup?" batin wanita itu. Kania kembali merasakan kepalanya berdenyut denyut, sangat sakit. Bukankah tadi dia baru saja tertusuk pisau di bagian dadanya, tetapi kenapa ini yang sakit bagian kepalanya? Kania melihat ke bawah, meraba dadanya dan tidak terasa sakit sama sekali. "Bukankah seharusnya d**a bagian kananku sakit, ya? Tadi Julio menusuknya di sini?" Kania bingung dengan apa yang terjadi. "Aaww!!" kembali rasa sakit di kepalanya datang. Pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok Ayahnya yang dirindukan selama ini berjalan dengan tergesa ke arahnya, tetapi tunggu dulu! Ayahnya masih hidup! "Sayang, bagaimana keadaan mu, nak?" tanya Alex dengan raut wajah khawatir. "Ayah?" Alex memeluk putrinya. Kania semakin bingung dengan keadaan ini, kalau memang ayahnya adalah hantu, seharusnya dia tidak merasakan dekapan hangat pelukan sang Ayah. "Yah, sebenarnya apa yang terjadi? Aku kenapa dan ayah sekarang masih hidup?" ucapan Kania sontak membuat Alex mengerutkan keningnya. Perlahan tangannya memegang kening sang putri, "Nak, apa kamu bermimpi bahwa ayah telah mati? Ayah masih hidup dan sehat, putriku!" Alex tersenyum, dia merasa lega keadaan sang putri yang sepertinya sudah membaik. "Mana ponselku, Yah, aku ingin lihat!" Raut wajah Alex langsung jadi muram. "Nak, apakah kamu akan menghubungi Julio? Tadi aku sudah menghubunginya, dia sedang ada di luar kota dan akan pulang esok pagi, jadi tenang dulu, ya?" Kania mengerutkan keningnya, apa-apaan ini? Sebenarnya apa yang terjadi? Ayahnya masih hidup dan dia merasa familiar dengan keadaan ini. Tiba-tiba Kania membelakakan matanya. Apakah dia kembali ke masa lalu? Kania melihat kalender di dinding. Matanya semakin membola ketika melihat saat ini tahun 2025. "Tahun 2025? Bukankah tahun ini adalah setahun setelah pernikahanku dengan Julio? Jadi, aku benar-benar kembali ke empat tahun silam, saat ini ayah masih hidup? Ya Tuhan!" jerit batin Kania. "Ya, aku kembali ke waktu empat tahun yang lalu, setahun setelah aku menikah dengan Julio!" Alex memperhatikan sang putri, dia merasa jika Kania harus lebih banyak istirahat. "Kania–" "Yah, aku mau tanya? Kenapa aku bisa di rumah sakit, dan kenapa kepalaku berasa begitu sakit?" tanya Kania. "Kamu tidak ingat? Apa kamu amnesia?" "Mungkin saja, yah." "Kamu jatuh dari tangga, untung saja saat itu ada Feya yang menolongmu," jawab Alex. Kania sekarang ingat, ini adalah kejadian dimana dia didorong oleh Feya tanpa ada orang yang tahu dan wanita itu mengaku telah menyelamatkannya. "Wanita licik itu!" gumam Kania. "Apa sayang?" "Ah, tidak apa-apa, yah. Sepertinya aku butuh istirahat." "Baiklah, kamu istirahat dulu. Ayah selalu ada di sini menemanimu," ujar Alex. Kania tersenyum dan kemudian memejamkan matanya. Tangannya mengepal di dalam selimut. "Feya!" batin Kania. Feya adalah sekretaris Julio, suaminya sangat baik terhadap Feya karena wanita itu telah menyelamatkan nyawa Julio, tetapi sebenarnya semua itu hanyalah Feya agar dia bisa menjerat Julio. Padahal Feya sendiri yang membuat jebakan agar Julio dalam bahaya dan dia datang menyelamatkannya, sungguh sangat licik. Kania tahu semua itu karena Feya sendiri yang mengatakan di kehidupan masa lalunya. Dan ketika Kania mengatakan pada Julio yang sebenarnya terjadi, suaminya sangat marah dan menuduh Kania memfitnah Feya. Mengingat Julio dan Feya, tiba-tiba dia teringat dengan kematiannya yang tragis, dua orang itu telah menghancurkan hidupnya. Sekarang dia tidak akan mencintai Julio lagi. Kalau bisa, dia harus secepatnya bercerai dari pria itu. Julio selalu menganggapnya wanita manja yang bodoh, padahal selama ini Kania hanya menyembunyikan kebodohannya dengan sikapnya yang seperti itu karena dia ingin membuat Julio mencintainya. Feya mengatakan jika pria itu senang dengan wanita yang manja dan centil, Kania yang tidak tahu apa-apa hanya menurut saja. Padahal Feya hanya membohonginya dan sikap bodohnya itu sangat dibenci oleh Julio. "Sekarang, aku harus memimpin perusahaan Ayah, perusahaan yang seharusnya menjadi milikku dan aku tidak akan membiarkan Julio mendapatkan posisinya sebagai CEO," batin Kania. Dia bertekad akan mengambil alih jabatan CEO yang diberikan Ayahnya pada Julio setelah ayahnya jatuh sakit. Itu artinya, sebentar lagi Julio akan diangkat menjadi CEO dan seharusnya kondisi sang ayah sudah melemah sekarang. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN