Happy Reading
Kania berhenti tepat di depan pintu keluar ruangannya, sedetik kemudian dia berbalik badan. Tatapannya bertemu dengan tatapan Julio dan Feya, dua pasang mata yang mengamatinya dengan ekspresi sulit diartikan. Sebuah rasa frustrasi menggelitik hatinya. Sial! Mengapa dia yang harus pergi dari ruangannya sendiri? Bukankah seharusnya mereka berdua yang meninggalkan ruangan ini?
"Ck, sungguh menyebalkan!" gumamnya kesal.
Dengan langkah mantap, Kania kembali menuju meja kerjanya. Jemarinya dengan lincah menyelipkan helaian rambut yang tergerai ke depan telinga. Gerakannya anggun, penuh wibawa, layaknya seorang wanita dewasa yang berpengalaman. Jauh berbeda dengan sikapnya yang dulu, tergesa-gesa dan kadang sedikit berlari. Perubahan ini mungkin dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya yang telah terulang kembali. Kehidupan sebelumnya sebagai wanita dewasa telah menempa dirinya, membuatnya lebih mampu mengendalikan emosi dan bersikap lebih bijaksana.
Sementara itu, Julio dan Feya terus memperhatikan setiap gerak-gerik Kania. Menantikan drama apa lagi yang akan dimainkan.
Kania berdecak pelan sambil bersedekap d**a, menatap Julio dan Feya secara bergantian dengan pandangan meremehkan.
"Sepertinya aku jadi ikut-ikutan bodoh karena ada dua makhluk tidak tahu diri di tempatku!!" suaranya terdengar tajam, menusuk telinga kedua orang yang berdiri di hadapannya.
Dalam hati, Kania mencemooh, 'Ternyata setelah kulihat-lihat, kalian ini begitu serasi! Yang satu bodoh dan mudah ditipu, yang satunya lagi licik dan suka berdrama.'
Julio mengangkat sebelah alisnya, merasa tersindir dengan ucapan Kania. "Apa kamu mengataiku bodoh?" tanyanya dengan nada suara meninggi.
"Apa kamu tidak mengerti ucapanku?" Kania kembali berdecak, kedua tangannya kini bertumpu pada pinggang. Sikapnya menunjukkan rasa kesal yang semakin mendalam.
Feya memperhatikan pipi Julio yang masih memerah bekas tamparan Kania. Rasa iba menyeruak di hatinya. Kulit putih s**u milik pria yang dicintainya itu kini berwarna merah muda, seperti memakai blush on.
Kania menangkap tatapan Feya yang penuh kekaguman terhadap Julio. Senyum mengejek muncul di bibirnya
Memang dasar sekretaris tidak tahu diri! Berani sekali menatap suami orang dengan terang-terangan menatap memuja seperti itu.
"Kania, aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi padamu!" Julio menyentuh pipinya yang masih terasa panas, seolah mengingatkan Kania akan perbuatannya barusan.
"Ck, pria lemah!!" Kania memutar bola matanya, muak dengan sikap Julio yang plin plan. "Sebaiknya kalian segera pergi dari sini karena mulai hari ini dan seterusnya ruangan ini adalah tempat kerjaku!!" usirnya dengan tegas.
"Kenapa aku harus pergi?" Julio masih tidak terima jika Kania mengambil alih jabatannya sebagai pimpinan tertinggi di perusahaan ini. Ia merasa diperlakukan tidak adil.
"Karena tempat ini bukan tempatmu lagi. Silakan kalian berdua pergi!" Kania mengulang perintahnya, kali ini dengan menunjuk ke arah pintu keluar. Ia tidak ingin berlama-lama berdebat dengan mereka.
Dengan berat Julio melangkahkan kakinya menuju pintu keluar, diikuti oleh Feya yang setia. Wajah Julio tampak muram, rahangnya mengeras, dan alisnya bertaut, menunjukkan ketidaksenangannya yang mendalam terhadap tindakan Kania. Keheningan di antara mereka terasa berat, dipenuhi oleh ketegangan yang tak terucapkan. Feya sesekali melirik Julio, ragu untuk memulai percakapan. Langkah kaki mereka bergema di koridor yang sepi, menambah suasana yang sudah tegang.
"Pak, bagaimana ini?" Akhirnya, Feya memberanikan diri untuk bertanya, suaranya dipenuhi kecemasan. Raut wajahnya gelisah, mencerminkan kekhawatirannya akan masa depan perusahaan. Dia tidak bisa membayangkan Kania menduduki posisi CEO. Bayangan Kania memimpin perusahaan terasa asing dan menakutkan baginya. Dia tidak rela jika Kania, yang dianggapnya belum berpengalaman, menjadi bos utama di perusahaannya.
"Apanya yang bagaimana? Kamu tenang saja, Kania hanya sedang merajuk dan bermain-main saja," jawab Julio dengan nada suara yang berusaha terdengar tenang, meskipun sebenarnya dia sendiri diliputi rasa kesal. "Bentar lagi dia juga pasti akan pulang! Ini hanya drama kecil yang dibuatnya." Julio mencoba meyakinkan Feya, sekaligus dirinya sendiri, bahwa situasi ini hanya bersifat sementara. Dia berharap Kania akan segera menyadari kesalahannya dan kembali ke rumah, meninggalkan ambisinya untuk memimpin perusahaan.
"Tapi bukankah kata Tuan Alex, Nona Kania akan menduduki jabatan CEO?" ujar Feya, mengingatkan Julio.
Pertanyaan Feya bagai tamparan keras yang menyadarkan Julio dari khayalannya. Ah, Julio baru ingat perkataan Alex yang menegaskan niat serius Kania. Wajahnya semakin menegang, menyadari bahwa situasi ini mungkin lebih rumit dari yang dia perkirakan.
"Sudahlah Feya, sebaiknya kamu menurut saja kalau masih ingin bekerja di perusahaan ini lagi," jawab Julio dengan nada pasrah.
Di balik jawabannya yang singkat, tersimpan rasa kesal yang mendalam terhadap Kania. Dia merasa dikhianati oleh istrinya sendiri, yang tiba-tiba merebut posisinya tanpa pemberitahuan sebelumnya. Dia merasa harga dirinya terinjak-injak, dan rasa kesalnya semakin membesar.
Sementara itu, di dalam ruang CEO yang megah, Kania duduk di kursi kebesarannya dengan aura penuh percaya diri. "Ah, akhirnya hama-hama itu pergi juga!!" serunya lega, sambil menyandarkan punggungnya di kursi empuk yang dilapisi kulit asli.
Kepergian Julio dan Feya memberinya ruang untuk bernapas dan fokus pada rencananya.
Dengan cekatan, Kania menghidupkan komputer dan mulai mempelajari data-data perusahaan. Matanya yang tajam mengamati setiap angka dan grafik, menganalisis kinerja perusahaan dalam beberapa periode terakhir. Dia ingin memahami seluk-beluk bisnis perusahaan sebelum mengambil keputusan strategis. Kania mulai mempelajari apa saja yang harus dia lakukan untuk memajukan perusahaan, meningkatkan profit, dan memperluas pangsa pasar.
"Sekarang tanggal 3 Januari 2025," gumam Kania sambil mengingat masa lalunya. "Aku ingat di tanggal 5 Februari tahun 2025 ada sebuah berita besar mengenai perusahaan PT. Aditama yang mengalami kebangkrutan akibat disalahgunakan salah seorang kepercayaan Presdir Alvian Aditama. Dan pada saat itu, Julio membeli saham PT. Aditama, dan dalam waktu setahun perusahaan itu bangkit lagi, bahkan menjadi perusahaan besar!"
Mata Kania berbinar, semangat membara di dadanya. Dia segera menghubungi seseorang, memintanya untuk mengatur pertemuan dengan Presdir Alvian Aditama sesegera mungkin.
"Hubungkan saya secara langsung dengan Presdir Alvian Aditama. Katakan padanya, saya Kania, CEO PT Airlangga, ingin bertemu dan membicarakan hal penting terkait bisnis," perintahnya dengan tegas.
Beberapa hari kemudian, Kania bertemu dengan Alvian Aditama, seorang pria dewasa berusia sekitar 40 tahunan, di sebuah restoran mewah. Alvian tampak tegang dan penuh curiga.
"Bagaimana Anda tahu jika perusahaan kami sedang mengalami masalah dan akan bangkrut?" tanyanya dengan nada suara yang tajam.
Kania melepaskan kacamata hitamnya, meletakkannya di atas meja, dan tersenyum anggun. "Saya tahu banyak hal, Tuan Alvian. Meskipun para wartawan belum mengetahui berita besar ini, tapi saya tahu beberapa investor telah menarik saham mereka dari perusahaan Anda. Informasi itu cukup untuk menyimpulkan bahwa perusahaan Anda sedang berada di ambang kebangkrutan," jawab Kania dengan tenang dan percaya diri.
Alvian menatap Kania dengan mata yang memicing. "Apakah Anda memata-matai perusahaan saya?" tanyanya curiga. Dia merasa tidak nyaman dengan pengetahuan Kania yang begitu mendalam tentang perusahaannya.
"Hahahaha," Kania tertawa kecil. "Untuk apa saya memata-matai perusahaan Anda? Justru saya ke sini ingin bekerja sama dengan Anda. Saya akan membeli saham milik Anda di PT Aditama, karena saya yakin hutang Anda begitu banyak, 'kan?" Kania langsung
menyodorkan tawarannya, membuat Alvian semakin terkejut.
"Bagaimana Anda tahu?" Alvian masih merasa curiga. Selama berkecimpung di dunia bisnis, dia belum pernah bertemu dengan Kania. Setahunya, CEO PT Airlangga adalah Julio Sanjaya.
"Sebenarnya saya itu bisa melihat masa depan, apakah Anda percaya?" ujar Kania, menyembunyikan fakta bahwa dia telah kembali ke masa lalu.
Alvian terdiam, mencerna ucapan Kania yang menurutnya sangat mencurigakan.
Kania mengambil minumannya, segelas jus jeruk dingin yang baru saja diantar oleh pelayan, dan menyeruputnya perlahan. Tetesan-tetesan kecil air menempel di bibirnya yang merah muda, ia mengelapnya dengan tisu dengan gerakan yang anggun.
"Sudahlah, Pak Alvian, Anda tidak perlu mencurigai saya seperti itu," ucapnya dengan nada suara lembut namun tegas, berusaha meyakinkan pria yang duduk di hadapannya. "Saya di sini berniat baik dengan memberikan Anda tawaran yang begitu menggiurkan. Saya tahu betul kondisi keuangan Bapak saat ini sedang sulit. Saya dengar istri Bapak, Bu Ani, sedang sakit parah dan membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Saya sungguh prihatin dengan keadaan Bapak dan keluarga. Oleh karena itu, saya menawarkan kerjasama ini dengan harapan dapat membantu meringankan beban Bapak. Ini bukan penipuan atau jebakan, Pak. Ini kesempatan yang sangat baik untuk Bapak."
Kania mengeluarkan sebuah kartu nama berwarna silver dari tasnya yang elegan. Kartu tersebut tampak mewah dengan sentuhan emboss dan desain minimalis. Ia meletakkan kartu nama itu di atas meja, tepat di hadapan Alvian.
"Jadi, saya memberikan kartu nama ini. Di sini tertera nama dan nomor telepon saya. Apabila Anda berubah pikiran dan tertarik dengan tawaran saya, jangan ragu untuk menghubungi saya. Saya akan dengan senang hati menjelaskan lebih detail mengenai kerjasama ini dan menjawab semua pertanyaan Bapak. Pikirkanlah baik-baik, Pak Alvian. Ini kesempatan yang tidak datang dua kali. Saya harap Bapak dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk keluarga Bapak."
Setelah mengatakan itu, Kania berdiri dengan anggun, merapikan roknya, dan memberikan senyuman tipis kepada Alvian. Ia kemudian berbalik dan pergi dari hadapan pria tersebut, meninggalkan Alvian yang masih terdiam termenung memikirkan tawaran Kania. Aroma parfum Kania yang lembut masih tertinggal di udara, seakan menggantung di benak Alvian.
"Siapa sebenarnya wanita ini? Kenapa dia tahu istriku sedang sakit parah?"
Bersambung