Anne tidak tahu saat akan pulang ternyata nenek atasannya minta ikut. Barra jelas menolaknya, begitu juga dengan mamanya Barra. Wanita itu tidak setuju dan menyuruh Anne untuk pergi tanpa berpamitan pada nenek Jessica.
Setelah Anne pulang, Barra mendapat teguran keras dari mamanya.
“Mama tidak habis pikir, kenapa kamu bisa membawa gadis seperti dia ke rumah ini?”
“Nenek kan yang minta, jangan salahkan Barra! Mama juga setuju dan memaksa Barra mengajaknya, ya kan?”
Mamanya berkacak pinggang dan menyuruhnya untuk pergi karena dia akan menenangkan nenek Jessica yang menangis.
“Mah, sebenarnya ada apa? Kenapa histeris mendengar gadis itu cucunya Wisnu. Apa nenek kenal dia?”
Wanita tua yang tidak bisa melihat itu menanyakan dimana Anne. Tidak menjawab pertanyaan yang diajukan putrinya malah menanyakan keberadaan Anne.
Barra mendengarnya, ia menggerutu karena tidak tahu apa-apa dan akan menanyakannya lagi pada Anne sore ini.
Ia langsung masuk ke mobilnya dan mengikuti kemana sopirnya mengantar Anne pulang. Dalam benaknya, ia ingin tahu lebih lanjut apa dan kenapa neneknya bisa penasaran pada karyawannya itu.
Yang dia tahu, neneknya hanya ingin berkenalan saja dengan Anne gadis pembuat takjil yang katanya lezat itu.
“Tuan, mau kemana?”
Seseorang menghadangnya saat akan berbelok ke arah kanan. Banyak mobil yang berhenti dan kemungkinan tidak bisa dilewati karena banyak yang antri untuk lewat.
“Jalan ini tidak bisa dilewati, ada perbaikan jalan, silakan Tuan lewat jalan alternatif yang telah kami sediakan!”
Barra menoleh ke arah kiri yang jalannya cukup lancar dilalui. Ia menggerutu karena harus kehilangan waktu untuk mengejar dimana Anne tadi melintasi jalanan yang kini tertutup itu.
Ia menghubungi sopir yang membawa Anne pulang dan memberitahu kalau mereka sedang dalam perjalanan menuju ke sebuah rumah sakit.
Barra kehilangan waktu hingga akhirnya dia memilih untuk pergi ke kantor saja dan melanjutkan pertemuan dengan beberapa anggota dewan direksi membahas tetang perencanaan proyek.
Sesampainya di kantor dia disambut sekretarisnya yang minta dia masuk ke ruangan karena ada orang yang akan bertemu dengannya.
“Pak Tua?”
Pria tua itu lagi. Barra membuka jendelanya dan menyuruh pria tua itu untuk duduk setelah sedari tadi menunggunya di ruang tunggu.
“Nak Barra, bagaimana keadaan mamamu, nenekmu? Apa mereka baik-baik saja?”
Barra mengernyitkan dahinya. “Pak Tua ini ada hubungan apa ya? Apa kenal keluarga kami?”
Pria tua itu tersenyum, wajahnya yang penuh keriput menyunggingkan senyum yang bagi Barra tidak tahu apa itu artinya.
“Aku … ingin tahu saja kabar tentang mereka. Aku kesini karena mengetahui seluk beluk silsilah keluargamu,”
Barra terus menatapnya, merasa heran tapi penuh waspada.
**
Sementara itu, Anne sedang menunggu hasil pemeriksaan ibunya. Di tengah-tengah kecemasan saat dia menunggu bersama Ayahnya, Anne menanyakan sesuatu yang sesungguhnya membuatnya bingung.
“Yah, apa kakek Wisnu masih sering datang ke kota ini?” tanyanya.
“Kakek Wisnu?”
Anne mengangguk. “Iya, kakek yang dulu pernah tinggal bersama kita,”
Ayahnya mengedikkan bahunya, lalu alis matanya sedikit naik dan kedua tangannya dilipat di depan dadanya.
“Ayah sudah jarang mendengar kabar tentang kakek Wisnu. Memang kenapa kamu menanyakannya?”
Anne terdiam, lalu dia mulai bercerita tentang nenek atasannya yang katanya mengenal baik kakek Wisnu.
“Neneknya atasanmu? Memangnya kalian pernah bertemu sebelumnya?”
“Nggak, Yah. Anne sering bikin takjil, dan neneknya mencicipi takjilnya, katanya ingat sama seseorang,”
Ayahnya hendak berkata lagi tapi ternyata pintu ruangan terbuka dan dokter memanggil Ayahnya untuk menemui dokter dan berbicara sebentar.
“Ne, temani ibu. Ayah ke ruangan dokter sebentar!”
“Iya, Yah,”
Setelah Ayahnya mengikuti dokter ibunya, Anne langsung masuk ke kamar perawatan dan memeluk ibunya yang katanya masih sakit nyeri di bagian kakinya.
“An, ibu nggak mau dioperasi lagi,” bisik ibunya.
“Kalau dokter mengatakan harus dioperasi, ya manut saja, Bu,” jawab Anne penuh pengertian.
Ibunya menggelengkan kepalanya. “Nggak, An. Ibu nggak mau. Bilang Ayahmu kita pulang saja,”
“Bu, ibu … “
Ayahnya masuk ke ruangan dan memeluk ibunya, Anne bingung dengan yang dilakukan sang ayah saat selesai menemui dokter.
“Ayah kenapa?” tanya ibunya kebingungan.
“Maafkan Ayah.”
Anne bingung dan berdiri dari duduknya, terlihat Ayahnya sesenggukan dan meminta ibunya untuk tetap tinggal di kamar rawat untuk menghadapi operasinya yang akan dilakukan besok.
“Maafkan Ayah, karena terlambat membawa ibu kesini kemarin,” ucap Ayahnya penuh sesal.
Ayahnya kemudian mengajaknya keluar dan memberinya informasi atas apa yang telah menimpa ibunya.
“Tapi, Yah. Ibu pasti tidak setuju,” ucap Anne dengan wajah cemas.
“Ayah sudah pikirkan ini baik-baik. Pertimbangan demi pertimbangan sudah Ayah lakukan. Biarkan ibumu terus menolak tapi kita akan tetap melakukan operasi itu,” ucap Ayahnya tegas.
Anne terdiam, ia bingung dan memutuskan untuk minta ijin beberapa hari tidak masuk kerja.
Tapi, saat ia selesai meminta ijin tiba-tiba terdebgar teriakan dari arah kamar rawat ibunya. Ibunya berteriak keras dan saat dia masuk, Ibunya terlihat sedang memberontak.
"Bu, ibu!"
Ia panik karena ibunya seperti tidak mengenal dirinya. "Suster, kenapa dengan ibuku? Apa yang terjadi?"