Bab 1. Hanya Istri Diatas Ranjang

1652 Kata
"Mas, sakit!" teriakku, saat suamiku menyeretku dengan kasar ke arah ranjang. Aku yang baru selesai menaruh putraku di box bayi, tiba-tiba dia dengan wajah murka menarikku lalu menghempaskan tubuhku di atas ranjang. Dia tidak peduli putranya baru terlelap tidur. "Ini, kan, yang kamu mau dariku! Kenapa kamu menyakiti Viora?" bentaknya dengan mata yang membara, sambil menahan tubuhku di atas ranjang. Aku berusaha untuk melepaskan diri, tapi cengkeramannya terlalu kuat. "Mas, aku tidak pernah menyakiti Viora. Dia tadi ingin menyakiti putra kita, aku hanya membela diri," terangku dengan nada yang tegas, berusaha memberi penjelasan yang masuk akal. Tapi suamiku tidak percaya, dia terus menatapku dengan mata yang penuh kemarahan. "Bohong! Viora itu wanita penyayang anak-anak, mana mungkin dia menyakiti putraku!" teriaknya tepat di wajahku, suaranya yang keras membuatku merasa takut. "Kalau kamu cemburu, jangan sakiti dia. Harusnya kamu sadar diri, aku menikahi kamu karena terpaksa," tambahnya dengan nada yang menyakitkan. Aku merasa sakit hati dengan kata-katanya, tapi aku tidak bisa membantahnya karena aku memang tidak diharapkan dalam pernikahan ini. Aku hanya ingin melindungi putraku, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya. "Kamu harus diberi pelajaran!" Bentaknya, lalu dia membuka jas kerjanya dengan kasar dan melemparnya sembarangan. Tubuhku menggigil ketakutan, melihatnya seperti hendak menelanku hidup-hidup. Dengan buas Mas Raja menghujaniku dengan ciuman kasar, selalu seperti ini saat dia marah pasti dia akan melampiaskan rasa marahnya dengan menyakiti jiwa ragaku. Dia mengikat tanganku dengan ikat pinggang miliknya, aku sudah berusaha berontak tapi kekuatanku akan kalah. Aku hanya bisa menangis, sambil merasakan sakit tubuhku yang semakin parah. Wanita penjajah kenikmatan sesaat saja akan diperlukan dengan baik, oleh pembelinya. Sedangkan, aku istri sah diperlukan seperti binatang. Aku merasa tidak berharga, hanya sebagai objek untuk memuaskan nafsu suamiku. Raja Kawandra, suamiku merobek baju bagian atasku dengan kasar setelah membuat bibir dan leherku kesakitan karena dia menghujani dengan ciuman kasar. Entah berapa baju yang rusak olehnya. Dia menghisap asi yang seharusnya untuk putranya dengan kasar, aku kehilangan kendali atas tubuhku sendiri. Aku ingin berteriak, tapi suaraku teredam oleh kesakitan yang aku rasakan. Aku hanya bisa menangis, sambil berharap semua ini akan segera berakhir. Kupandangi box bayi, putraku tertidur lelap karena perutnya sudah kenyang, seakan tidak terganggu oleh amarah papanya. 'Sayang, mama akan bertahan untuk kamu. Walau mama harus merasakan sakit, asalkan kamu bisa memiliki keluarga utuh,' batinku. Aku hanya bisa pasrah, saat dia membuka resleting celananya dan memasukan aset pribadinya yang sudah berdiri tegak ke dalam pusat intiku tanpa peduli dengan kesakitanku. "Mas, sakit," lirihku dengan suara yang lemah saat dia terus mencari kepuasan di atas tubuhku. Air mataku mengalir semakin deras, rasanya sakit sekali. Wajah Raja Kawandra, suamiku, terlihat tampan dengan mata yang tajam dan bibir yang sensual. Tubuhnya yang atletis dan kuat membuat banyak wanita tergila-gila padanya. Tapi aku tidak melihat ketampanannya saat ini, aku hanya melihat kebrutalannya dan keganasannya. Dia tersenyum puas saat melihatku tersiksa, seolah-olah dia menikmati kesakitanku. Mungkin orang yang melihatku akan berpikir aku adalah wanita beruntung karena bisa menikahi pria tampan dan kaya seperti Raja Kawandra, pewaris tahta yang dihormati. Tidak lama tubuhnya menegang kuat, napasnya makin memburu, lenguhan panjang terdengar lalu setelah itu dia turun dari atas tubuhku tanpa sepatah kata pun. Aku seperti tidak ada artinya baginya, seakan-akan aku hanya sebuah objek yang bisa digunakan dan dibuang seenaknya. Dia memakai bajunya dengan terburu-buru, tidak peduli dengan keadaanku yang masih terbaring di tempat tidur dengan tubuh yang sakit dan air mata yang masih mengalir. Setelah selesai, dia langsung keluar dari kamar tanpa menoleh ke arahku, membiarkanku sendirian dalam kesakitan dan kesedihan. Aku turun dari ranjang dengan langkah pelan, kaki-kakiku terasa lemah dan gemetar saat aku mencoba berjalan. Aku harus berpegangan pada sesuatu untuk menstabilkan diri. Aku merambat perlahan-lahan menuju kamar mandi, berusaha untuk tidak membuat suara berisik yang bisa membangunkan putraku. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, aku melirik ke arah box bayi sekilas untuk memastikan putraku masih terlelap dalam tidurnya. Setelah yakin bahwa dia aman, aku memasuki kamar mandi dan menyalakan shower. Air hangat mengalir deras ke tubuhku, dan aku membiarkan diri terlena di bawah guyuran air. Aku menggosok seluruh tubuhku dengan kasar, seolah-olah ingin menghilangkan semua kelelahan dan kesakitan yang kurasakan. Perasaan kesakitan dan kelemahan membuatku merasa sangat tidak berdaya. Aku berharap bisa mendapatkan sedikit kekuatan kembali, tapi rasanya sangat sulit. Aku hanya ingin beristirahat dan memulihkan diri. Aku berdiri mengambil kimono untuk menutupi tubuh polosku, kutatap diri ini di cermin dan melihat banyak jejak kesakitan yang masih membekas di tubuhku. Dia terus menyalahkanku karena menikah denganku dia harus kehilangan cinta pertamanya, Viora. Seandainya waktu bisa diputar, aku tidak mau kejadian ini terjadi. Aku masih ingat malam itu dengan sangat jelas, aku hanya seorang anak magang di perusahaan Kawandra Group. Saat akan pulang, aku melihat keadaan Pak Raja dalam keadaan mabuk berat di lobi perusahaan. Aku yang sebagai karyawan merasa bertanggung jawab untuk membantu bosku pulang ke apartemennya yang tidak jauh dari kantor, tapi ternyata malam itu menjadi malam petaka untukku. Dia menodaiku berkali-kali dengan kasar dan tidak peduli dengan keadaanku, dan sebulan kemudian aku menyadari bahwa aku hamil. Sebagai pria yang memiliki tanggung jawab, Raja mau menikahiku akibat desakan orang tuanya yang menginginkan dia segera menikah dan memberikan keturunan untuk menjadi penerus keluarga Kawandra. Awalnya, Raja ingin menikahi Viora, cinta pertamanya yang merupakan seorang model terkenal, tapi gadis itu menolak menikah buru-buru karena kariernya sedang naik. Jadi, Raja menikahiku karena aku mengandung benihnya, bukan karena cinta atau keinginan untuk bersamaku. Pak Damian, ayah Raja, awalnya terkejut karena yang akan menjadi menantunya adalah seorang anak magang di perusahaannya yang tidak memiliki latar belakang keluarga yang jelas. Tapi, Raja menyakinkan Pak Damian bahwa aku adalah wanita yang tepat untuk menjadi istrinya, apalagi aku sedang mengandung anaknya yang akan menjadi penerus keluarga Kawandra. Aku mengusap wajahku, kejadian setahun yang lalu terus berputar di kepala dan membuatku merasa sakit hati. Aku terjebak dalam pernikahan yang tidak aku inginkan. Aku menghapus jejak air mataku dengan kasar, rasa sakit dan kesedihan yang telah menumpuk di dalam hatiku. Tidak! Ini bukan salahku. Aku tidak pantas untuk menanggung kesakitan ini, aku istri sah Raja Kawandra. Statusku sah, aku memiliki hak untuk dihormati dan dilindungi. Viora tidak bisa menjatuhkanku, aku tidak akan membiarkannya. Kuangkat daguku, sebuah tekad kuat tiba-tiba muncul di dalam hatiku. Mulai sekarang, tidak ada Kanaya yang lemah dan mau ditindas lagi oleh dua orang yang tidak punya hati seperti mereka. Aku harus mempertahankan posisiku sebagai istri sah dan ibu dari anak Raja Kawandra, pewaris keluarga Kawandra. Aku tidak boleh lemah, aku harus kuat dan tangguh untuk melindungi diri dan anakku. Aku tersenyum sinis, membayangkan banyak hal yang harus aku lakukan sebagai Nyonya Raja Kawandra. Aku akan menunjukkan kepada suamiku dan Viora bahwa aku tidak bisa diremehkan. Suamiku mulai besok tidak akan melihat lagi Kanaya yang cengeng dan lemah. Aku akan menjadi wanita yang kuat dan berkuasa, aku akan menunjukkan aku adalah istri yang pantas untuknya. Rasa dendam dan kemarahan yang telah membara di dalam hatiku mulai memicu semangatku untuk bangkit dan melawan. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menjatuhkanku, aku akan berdiri tegak dan menunjukkan kekuatanku. **** Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Aku melakukan sholat subuh dengan khidmat, lalu aku memutuskan untuk meninggalkan kebiasaan yang biasa aku lakukan. Biasanya setelah sholat subuh, aku akan menyiapkan sarapan untuk suamiku dengan cinta dan kasih sayang. Tapi, kali ini aku memilih untuk tidak memasak untuknya. Aku ingin membuat dia merasa kehilangan kebiasaan yang aku lakukan untuknya, dan aku ingin melihat reaksinya ketika tidak ada aku yang memasak untuknya. Kurias wajahku dengan make up natural, walau mata ini masih bengkak akibat terlalu banyak menangis semalam. Aku memakai pakaian terbaikku, yang selama ini tidak pernah aku pakai karena aku merasa belum pantas. Tapi hari ini, aku ingin menunjukkan aku adalah wanita yang cantik dan elegan, bukan hanya ibu rumah tangga yang biasa-biasa saja. Aku berjalan ke arah ruang makan, dan aku mendengar suara teriakan Mas Raja. "Pelayan, kenapa masakan ini tidak enak!" bentak Mas Raja. Aku melihat Viora sudah duduk disamping suamiku dengan wajah yang angkuh dan sombong. Seakan dia sudah menjadi nyonya di rumah ini. "Kamu itu tidak becus sebagai pelayan," ejeknya dengan nada yang tidak sopan. Pelayan itu terlihat ketakutan, dan menjawab dengan suara yang gemetar. "Maaf, Tuan. Biasanya yang memasak nyonya Kanaya, tapi pagi ini nyonya Kanaya tidak memasak." Aku sengaja berdiri di pintu, melihat wajah suamiku menahan amarah. Aku tersenyum puas, karena tanpa dia sadari sudah terbiasa dengan masakanku yang lezat. "Apa! Jadi, selama ini yang memasak itu Kanaya? Lalu, pekerjaan kalian apa saja!" bentak Mas Raja dengan nada yang keras. Tubuh pelayan itu bergetar hebat, dan aku bisa melihat ketakutan di matanya. "Maaf, Tuan. Semua ini permintaan Nyonya Kanaya, kami hanya membantu sekedarnya," jawab pelayan itu dengan suara yang hampir tidak terdengar. Aku tersenyum dalam hati, karena berhasil membuat suamiku marah. Kulangkahkan kakiku mendekati mereka dengan langkah yang santai dan percaya diri, meskipun hati ini panas melihat Viora sengaja bergelayut manja di lengan kekar suamiku ketika melihatku. Pakaian yang aku kenakan hari ini adalah gaun sutra hitam yang elegan dan anggun, dengan desain yang menonjolkan kecantikan tubuhku yang telah kembali ke bentuk semula setelah melahirkan. Rambutku yang panjang dan lembut tergerai di punggungku, menambah kesan feminin dan cantik. Aku memang ingin menunjukkan aku adalah wanita berkelas, tidak seperti Viora yang hanya tahu menggunakan kecantikan fisiknya untuk memanipulasi orang lain. Aku duduk di kursi tepat di depan mereka dengan gaya yang anggun dan percaya diri. Bisa kulihat suamiku terus menatapku tanpa berkedip, dia pasti kaget dengan perubahanku. "Sayang, kalau istri kamu sudah tidak melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Lebih baik kamu ceraikan saja dia, lalu menikah denganku," ucap Viora dengan manja, sambil mengguncang lengan Mas Raja dengan kesal. Rasanya aku ingin tertawa, tapi aku tahan. Aku menatap Viora dengan pandangan yang dingin dan tidak peduli. "Sayang, kenapa kamu diam saja," kata Viora lagi, sambil menarik lengan Mas Raja dengan lebih keras. Tapi suamiku tetap menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan, membuatku penasaran apa yang ada di pikirannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN