Bab 8. Pengaruh Viora Sangat Kuat

1289 Kata
Mas Raja mendekatiku dengan langkah perlahan tapi dengan tatapan tajam, membuatku berdiri dengan tubuh sedikit gemetar. Aku berusaha menyembunyikan kegemetaran itu, mempertahankan postur tubuhku agar tidak terlihat lemah. "Apa maksud kamu menyuruh bagian keuangan untuk meminta izin dulu ke kamu saat aku mengambil uang perusahaan!" bentaknya dengan suara yang ditekan kuat. Aku menatapnya dengan mata yang berani, mencoba untuk tidak menunjukkan rasa takutku. "Kamu tanya sendiri dengan Papa, aku hanya menjalankan perintah dari Papa," jawabku dengan suara yang dibuat sesantai mungkin, meskipun suaraku tetap saja bergetar sedikit. Aku mencoba mempertahankan nada suaraku agar tetap stabil, tidak ingin menunjukkan kelemahan di depannya. "Katakan keberatan kamu di depan Papa," ucapku dengan nada yang tegas, menantang Mas Raja untuk mengatakan langsung ke Papa Damian. Tiba-tiba, Viora masuk ke dalam ruangan dengan suara manja, "Raja sayang, kenapa lama sekali?" Panggilnya sambil melangkah masuk dengan langkah yang ringan dan anggun, senyum manis menghiasi wajahnya. Aku yang berdiri tepat di depan Mas Raja, membuat Viora terkejut dan berhenti sejenak. Matanya melebar, dan dia memandangku dengan rasa tidak percaya. "Kanaya sedang apa kamu di perusahaan ini!" bentak Viora, sambil dia melangkah keluar dari ruangan untuk memastikan ruangan yang dia masukin. Setelah memastikan ruangan, Viora kembali masuk dengan ekspresi terkejut, "Wakil direktur," gumamnya sambil menatapku dengan tajam penuh dengan pertanyaan. Viora melangkah mendekati kami dengan langkah cepat. "Kanaya, aku butuh uang, cepat kamu suruh bagian keuangan mencairkan dana untukku," ucapnya dengan nada yang tidak sabar, tanpa menoleh ke arah Viora. Viora yang berdiri di samping Mas Raja, merangkul lengan suamiku dengan mesra. "Raja, tunggu. Kenapa kamu meminta uang perusahaan harus izin Kanaya juga?" Tanyanya dengan nada yang penasaran, sambil menatap Mas Raja dengan mata yang ingin tahu, dan kemudian menatapku dengan rasa curiga. "Viora, ternyata apa yang kamu katakan benar. Dia wanita licik, dia pura-pura menjadi korban yang ternyata sudah lama merencanakan ingin menguasai perusahaan," tuduh Mas Raja dengan suara yang penuh dengan sarkasme, nada suaranya menusuk hati ini. Aku merasa marah dan terhina dengan tuduhan itu. Emosiku memuncak, dan aku tidak bisa menahan diri lagi. "Cukup, keluarkan wanita itu dari ruanganku!" perintahku dengan nada yang keras. Viora yang masih merangkul lengan Mas Raja, terkejut dengan reaksiku. Dia menatapku dengan penuh kebencian, seolah-olah dia tidak percaya aku berani mengusirnya. "Kamu tidak berhak mengusirku," balas Viora, sambil merapatkan diri ke Mas Raja. Mas Raja tetap diam, menatapku dengan mata yang dingin dan tidak peduli. "Mas Raja, ini kantor," kataku dengan nada yang tegas, menatapnya dengan mata yang tajam. "Semua karyawan tahu kamu suamiku, lalu kamu membawa selingkuhanmu ke sini. Apa tidak ada rasa malu sedikit pun di hatimu?" tanyaku dengan nada yang penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. Viora yang masih merangkul lengan Mas Raja, tersenyum sinis dan menatapku dengan mata yang penuh dengan ejekan. "Kanaya, harusnya kamu tahu diri," katanya dengan nada yang mengejek, suaranya yang lembut berubah menjadi tajam dan menusuk. "Kamu yang menghancurkan hubungan kami, dan sekarang kamu masih berani menuduh aku selingkuhan Raja?" tambahnya dengan nada yang penuh dengan kebencian, sambil dia semakin merapatkan diri ke Mas Raja. Aku sangat marah dengan kata-kata Viora seperti pisau yang menusuk hatiku. Aku menatap Mas Raja dengan mata yang penuh harapan setidak hari ini aku berharap dia sedikit membela aku dari serangan Viora. Namun, Mas Raja tetap tidak bereaksi, sikapnya yang acuh membuatku semakin ingin menyerah. Aku menahan air mata yang menggenang di mataku, berusaha agar tidak tumpah di depan dua orang yang tidak punya hati ini. Kutengadahkan kepala untuk menghalau rasa sakit dan kesedihan agar tidak menangis. "Viora, kamu bilang aku tidak tahu diri!" kataku dengan suara yang bergetar karena emosi. "Asal kamu tahu, aku tidak merebut Mas Raja. Dia sudah menodaiku karena kamu sempat meninggalkannya. Aku di sini korban kalian, masa depanku hancur. Aku harus dihujat karena hamil di luar nikah, dan kamu Mas, apa tidak ada rasa sedikit pun untuk membelaku, setidaknya sebagai ucapan terima kasih karena aku sudah melahirkan seorang putra yang keluarga kamu inginkan!" kataku mengungkap semua unek-unek yang selama ini aku pendam. "Coba kamu ingat, di mana Viora saat keluarga kamu menuntut agar kamu cepat menikah dan secepatnya memberikan keturunan!" tambahku dengan suara keras. Mas Raja terdiam, dia menatapku dengan pandangan terkejut, tapi bisa kulihat dari sorot matanya ada rasa penyesalan yang mulai muncul. Viora berusaha merayu dan memanipulasi perasaan Mas Raja dengan senyum manis dan suara yang lembut. "Sayang, kamu tahu sendiri aku tidak mau menikah secepatnya karena karier modelku sedang bersinar. Kalau aku menikah dan punya anak, bentuk tubuhku nanti tidak indah lagi," jelasnya sambil merapatkan diri ke Mas Raja, berusaha membuatnya percaya pada ceritanya. Aku sudah muak dengan sikap Viora yang pura-pura, dan aku masih tidak menyangka Mas Raja masih bisa diperdaya olehnya. "Kanaya, aku sudah lelah berdebat. Cepat cairkan cek yang aku minta," ucapnya dengan nada yang kasar dan tegas. Aku membuang pandangan ke arah lain, cukup sudah aku berharap Mas Raja berubah dan mencintaiku. "Aku tidak mau, kalau kamu ingin memakai uang perusahaan. Kamu bisa minta ke Papa Damian," kataku dengan tegas. Aku sudah tidak peduli dia mau marah atau tambah membenciku. Mulai hari ini, aku putuskan untuk mengubur rasa cinta ini untuk Mas Raja. "Sayang, aku sudah janji dengan produser musik untuk merekam album perdana. Mereka membutuhkan uang muka untuk studio dan tim produksi. Kalau kamu tidak bisa memberikan aku uang hari ini, aku takut rekaman aku akan tertunda dan kesempatan aku menjadi penyanyi terkenal akan hilang," ucapnya sambil menatap Mas Raja dengan mata yang memohon, suaranya yang lembut berubah menjadi sedikit getar. Aku ingin muntah melihat mereka bermesraan, dan itu membuatku semakin marah. "Mas, tidak ada uang yang akan dikeluarkan perusahaan hanya untuk menyenangkan wanitamu. Sebaiknya kalian keluar dari ruangan ini!" usirku dengan tegas. Viora menghentakkan kedua kakinya ke lantai, merajuk dengan wajah yang merah padam. "Kanaya, apa kamu tidak melihat Viora membutuhkan uang untuk modal dia menjadi penyanyi?" kata Mas Raja dengan nada yang lembut, berusaha membujukku. "Cepat cairkan, kalau Papa bertanya kamu bisa memberikan alasan proyek sedang membutuhkan banyak modal." Aku tidak bergeming, dan aku semakin yakin dengan keputusan yang telah aku buat. "Aku tidak ikut dengan persekongkolan kalian menipu Papa. Sekarang kalian keluar, atau aku akan menghubungi Papa Damian kalau kamu akan memakai uang perusahaan untuk hal yang tidak penting!" ancamku. Viora yang masih merajuk. "Kamu memang sialan, Kanaya. Kenapa seh kamu tidak pergi saja dari sini, agar aku bisa cepat menikahi Raja!" umpat Viora. Aku menghiraukan ocehan Viora dan memilih kembali duduk di kursi kebesaranku, lalu mengambil dokumen yang sedang aku pelajari. "Kalian tahu kan pintunya di mana?" usirku tanpa melihat ke arah mereka, aku fokuskan mataku ke dokumen perusahaan di depanku. Aku tidak ingin lagi melihat wajah mereka yang penuh dengan kepalsuan dan kebencian. Mas Raja merangkul Viora yang masih marah karena tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku tidak langsung melihat mereka, tapi mata ini tetap saja ingin melihat mereka. Aku menahan diri untuk tidak menoleh, berusaha fokus pada dokumen di depanku. "Honey, jangan marah dong. Nanti aku cari cara agar bisa mendapatkan uang untuk kamu," rayu Mas Raja dengan suara yang penuh dengan kelembutan, membuatku kembali merasakan sakit hati yang mendalam. Aku menundukkan kepala, mencoba untuk tidak memikirkan tentang mereka berdua. 'Mas, aku bertahan bukan karena aku masih mencintai kamu, tapi karena aku ingin kamu sadar siapa Viora yang sebenarnya. Setelah itu, aku akan pergi jauh meninggalkan kamu,' batinku dengan penuh kesedihan dan kemarahan. Setelah mereka pergi, aku merasa lega dan memilih untuk fokus pada pekerjaan. Sebagai Wakil Direktur baru, aku memutuskan untuk mengadakan rapat dengan semua departemen untuk membahas strategi dan target perusahaan ke depan. Aku meminta sekretaris untuk memanggil semua kepala departemen dan staf yang terkait untuk hadir dalam rapat tersebut. Tak lama kemudian, ruangan rapat dipenuhi dengan wajah-wajah yang familiar dan beberapa yang baru. Tidak ada Mas Raja sebagai pemimpin, dia sedang sibuk menenangkan kekasihnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN