Bukan sengaja ingin menyakiti Helena, namun Langit merasa terbelenggu oleh perasaannya sendiri. Dan meskipun ia mencoba untuk menerima kenyataan, pikirannya tidak bisa melepaskan bayang-bayang Jingga yang selalu menghantui pikirannya.
Helena merasa sedih yang mendalam saat mengetahui kenyataan tersebut, namun di tengah kepedihan hatinya, dia sadar akan posisinya sebagai istri kedua. Pernikahan mereka juga terjadi begitu mendadak dan tanpa rasa cinta yang tulus di antara mereka. Sehingga wajar saja jika Langit enggan menyentuhnya, karena perasaan mereka memang tak seindah hubungan cinta yang seharusnya.
Pada akhirnya, mereka yang sudah merasa sangat lelah dengan kehidupan pernikahan yang penuh kesedihan ini, memejamkan mata, mencoba melupakan kepedihan dan ketidakbahagiaan itu sejenak. Tanpa terasa, keduanya pun terlelap.
***
Keesokan harinya, seluruh keluarga telah berkumpul di ruang makan, hendak menikmati sarapan bersama, kecuali Helena dan Langit yang belum juga bergabung. Meski sarapan sudah disiapkan oleh Asisten Rumah Tangga, Jingga seperti biasa juga ikut membantu menyiapkannya di atas meja. Hingga di saat itu, Helena dan Langit muncul bersama-sama di ruang makan, membuat Magdalena tersenyum bahagia.
"Aduh … pengantin baru, lama sekali turunnya. Pasti capek sekali, ya? Tadi malam habis lembur buat cucu untuk mama, 'kan?" goda Magdalena terkekeh.
Saras, mewakili rasa terkejut dan juga kesal semua orang karena mendengar candaan yang menurut mereka tidak pantas saat ini, langsung menegurnya, "Lena, apa tidak bisa kamu jangan berbicara yang aneh-aneh? Ini masih pagi dan kita mau sarapan!"
Namun, ibunya Langit itu sama sekali tak merasa bersalah dan tetap bersikukuh. "Aneh-aneh bagaimana sih, Ma? Aku hanya bicara fakta, mereka ini 'kan memang pengantin baru. Memangnya apa lagi yang mereka lakukan kalau bukan itu?"
"Pagi semuanya, maaf aku tadi bangun kesiangan. Sebenarnya Helena sudah bangun dulu dan mandi, tapi dia menungguku untuk turun bersama," jelas Langit, memilih tak menggubris pertanyaan ibunya tadi.
"Nah 'kan, Mama juga bilang apa. Pasti kalian berdua itu kecapean habis lembur, makanya bangun kesiangan," timpal Magdalena, sengaja membuat suasana di meja makan semakin memanas. "Ya, memang bagus kalau Helena menunggu suaminya turun ke bawah. Sudah seharusnya seperti itu," lanjutnya.
Meski merasa kesal, namun semua memilih diam sementara dan menyimpan rasa itu di dalam hati. Langit sendiri tak menanggapi perkataan Magdalena, sementara Helena setelah menyapa seluruh keluarga yang berada di sana, ia pun duduk bergabung untuk sarapan bersama. Begitu juga dengan Langit yang langsung duduk di kursi tengah-tengah, diapit oleh Helena dan Jingga, kedua istrinya.
"Helena, ini 'kan hari pertama kamu menjadi istri, kamu ambilkan makanan untuk Langit ya, Sayang," kata Magdalena dengan lembut, saat melihat Jingga tengah mengambilkan sarapan untuk Langit, seperti biasa.
"Oh, iya, Ma," jawab Helena setuju.
Namun, Langit segera menolak, "Tidak usah, Helena. Jingga sudah mengambilkan sarapan untukku." Dia lalu mengambil piring yang dipegang oleh Jingga.
Sejenak, Jingga merasa lega karena ternyata Langit masih menganggapnya sebagai istri.
"Terima kasih ya, Sayang," ujar Langit.
"Iya, sama-sama," balas Jingga dengan senyum manis.
Dalam hati, Helena merasa sedikit cemburu melihat kemesraan Langit dengan Jingga. Namun, dia tahu bahwa ia harus menerima dan terbiasa dengan situasi ini. Sebagai istri kedua, Helena harus belajar untuk menempatkan diri dan menjaga perasaan, baik untuk suami maupun madunya. Dia berharap, nantinya mereka bisa saling menghargai dan menjalani kehidupan rumah tangga ini dengan harmonis.
"Jingga, Langit, sebentar lagi Bapak dan Ibu akan kembali ke Surabaya, kalian berdua harus akur-akur ya," kata Handoko sambil melihat wajah menantunya dengan harap-harap. "Khusus untuk kamu, Langit, walaupun kamu sudah memiliki dua istri, ingat harus bersikap adil. Jangan sampai kamu menyakiti anak saya," lanjutnya, memberikan peringatan keras.
"Kenapa Bapak berbicara seperti itu? Apa Bapak takut jika Langit tidak bisa bersikap adil?" tanya Magdalena dengan ekspresi heran. "Seandainya nantinya Langit lebih dekat dengan Helena, itu wajar, karena Helena adalah istrinya juga. Dari Helena juga, Langit berharap akan memiliki keturunan," lanjutnya, membuat semua orang di meja makan merasa terkejut.
"Maaf, Bu Lena. Maksud Ibu apa, ya? Jangan mentang-mentang sekarang Ibu sudah memiliki menantu lain, sikap Ibu kepada anak saya jadi berubah dan tidak menghargai perasaannya sama sekali. Jangan lupa, Bu, kalau bukan karena restu dari Jingga, pernikahan kedua ini juga tidak akan pernah terjadi," tukas Ningrum yang rasanya sudah tak tahan lagi dengan perlakuan tak adil bagi anaknya, sehingga ia pun ikut berbicara.
"Bu, tolong berhenti berdebat," pinta Jingga dengan suara memohon, tak ingin perdebatan di atas meja terus berlanjut.
"Berdebat kamu bilang? Ibu hanya berusaha melindungi kamu," ujar Ningrum, tak mengerti dengan jalan pikiran anaknya itu.
"Cih, kamu dengar 'kan, Jingga, orang tua kamu ini sedang menyalahkan Mama. Padahal kamu yang mencarikan istri kedua untuk Langit, tapi kenapa semua orang di sini tidak bisa menerima hal ini dengan lapang d**a dan malah menyalahkan saya?" ungkap Magdalena dengan kesal.
"Lena, ini bukan soal menerima atau tidak, tapi kamu harus menjaga sikap dan ucapanmu. Kamu tahu betul jika ucapanmu itu menyakiti hati Jingga dan kedua orang tuanya," ujar Saras tegas.
"Cukup! Aku mohon, jangan berdebat lagi. Memang keadaan saat ini terbilang rumit, tapi juga sudah terjadi. Memang sekarang aku sudah menikah lagi, tapi itu sudah menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari. Perihal siapa yang memintanya, siapa yang memilih, tolong jangan diungkit lagi. Biar ini menjadi urusan rumah tanggaku bersama kedua istriku. Aku akan berusaha untuk tidak menyakiti Jingga maupun Helena, aku akan berusaha untuk bersikap adil," ucap Langit dengan nada yang lembut namun tegas.
"Adil seperti apa yang kamu maksud, Mas? Tadi malam saja kamu tidak mau menyentuhku gara-gara Jingga. Kamu bahkan tidak memberikanku kesempatan!" batin Helena, yang merasa sangat sedih.
"Ayah, Ibu, Ma, Oma, maafkan aku, ya. Benar apa kata Mas Langit, biarlah ini menjadi urusan rumah tangga kami. Aku yakin, Mas Langit pasti bisa bersikap adil kepada kedua istrinya." Jingga ikut angkat bicara untuk meredakan suasana.
"Ah, sudahlah. Susah bicara dengan kalian semua," sahut Magdalena sambil membanting sendok dan garpu di atas piring. Lalu, ia pun pergi meninggalkan ruang makan.
"Ma …," panggil Langit, berusaha menghentikan langkah kaki ibunya.
"Sudahlah, Langit. Biarkan saja, Mama kamu itu merusak suasana saja," ucap Saras ketus.
Saat ini, suasana di ruang makan memang menjadi keruh. Namun mereka tetap berusaha untuk menikmati sarapan hingga selesai.
***
"Jingga, aku mau bicara sebentar dengan kamu, Sayang," ucap Langit yang menghampiri istrinya di kamar mereka.
Memang, kamar utama mereka berada di sana, di mana pakaian dan peralatan kerja Langit masih berada. Hanya ada beberapa pakaian saja di kamar Helena.
"Ada apa, Mas?" tanya Jingga, berusaha untuk tetap tenang dan tegar.
"Sayang, aku sangat mencintai kamu. Aku tidak mau hubungan kita menjadi seperti ini, tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang?" kata Langit sambil memeluk Jingga dengan sangat erat.
Jingga pun membalas pelukan tersebut, pelukan hangat yang biasanya selalu ia dapatkan dan hanya miliknya sendiri. Namun kini, ia sadar bahwa pelukan hangat itu juga menjadi milik wanita lain. Tanpa sadar, Jingga meneteskan air mata. Lagi-lagi, rasanya dia tidak rela, namun tetap berusaha untuk ikhlas.
"Sayang, apa kamu mau tahu sesuatu?" tanya Langit, menarik perhatian Jingga.
"Apa itu, Mas?" tanya Jingga, mencoba bersikap wajar.
"Tadi malam …."
Langit mengungkapkan sesuatu yang membuat Jingga terkejut. Dia melepaskan pelukan Langit dan menatap suaminya itu dengan bingung, seakan tak percaya.
Bersambung …