Saya terima nikah dan kawinnya Helena Atmajaya, dengan mas kawin tersebut dibayar, tunai."
Sah!
Sah!
Wanita mana yang rela dimadu? Jawabannya sangat langka. Wanita bernama Jingga Anindia, mungkin satu dari seribu wanita yang rela berada dalam situasi seperti ini. Divonis oleh dokter memiliki salah satu penyakit rahim yang sulit membuatnya hamil, membuat Jingga merasa sangat putus asa. Sementara ibu mertuanya sudah sangat menginginkan agar anak satu-satunya di keluarga Diningrat, yaitu Langit Diningrat, suaminya, segera memiliki keturunan, walaupun bukan dari rahim Jingga. Jika tak ingin berpisah dengan Langit, maka dia harus dengan ikhlas merelakan suaminya untuk menikah lagi.
Saat ini, Jingga tengah mendampingi suaminya menikah lagi, dengan sahabatnya sendiri, Helena, dan atas permintaannya sendiri.
Helena terlihat cantik dengan balutan kebaya putih, rambut disanggul, memancarkan aura anggunnya. Namun, Jingga yang turut serta mendampingi suaminya di hari pernikahannya, tak kalah mempesona. Bagi Langit, hanya Jingga-lah satu-satunya wanita yang ada di hatinya, yang ia cintai sepenuh hati. Sedangkan pernikahan ini, merupakan sebuah langkah terpaksa. Ada rasa pilu di hatinya, terbelenggu oleh situasi yang tak bisa dihindari. Langit berusaha melihat ke depan, meraih masa depan yang lebih cerah untuk kebahagiaan keluarganya, namun tak bisa dipungkiri bahwa hatinya masih berat membayangkan.
Acara pernikahan pun dimulai, Langit dan Helena mengucapkan janji suci dan serangkaian ritual pernikahan lainnya hingga akhirnya mereka resmi menjadi pasangan suami istri. Tidak ada pesta yang meriah, sebab ini adalah pernikahan kedua bagi Langit. Mereka hanya mengundang sahabat dekat serta kerabat. Bagi Helena, hal tersebut sudah cukup, yang terpenting adalah keinginan neneknya agar ia menikah telah terpenuhi.
Setelah sah menjadi suami istri, langit memasangkan cincin di jari manis Helena. Setelah itu, istri keduanya mencium tangannya, sementara Langit tampak ragu untuk mencium kening Helena, karena dia tahu ada hati yang terluka di balik kebahagiaan ini. Begitu pula dengan Helena yang merasa tak enak hati, membayangkan perasaan Jingga yang menyaksikan pernikahan sahabat dan suaminya sendiri.
Di sisi lain, Jingga tampak tersenyum lega. Dia bahagia meski terluka, namun ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang ia buat sendiri. Dia harus ikhlas, meski hatinya tercabik-cabik menyaksikan dan mendampingi suaminya menikah lagi. Tetapi, ia harus rela demi kebahagiaan mereka dan berusaha keras menemukan ketenangan dalam pilihan yang sulit ini.
Sementara itu, Ningrum, ibu Jingga yang berada di sampingnya, terus mengusap-usap pundak putrinya itu untuk memberinya kekuatan.
"Aku baik-baik saja, Bu," ucap Jingga, mencoba menenangkan diri.
***
Setelah menikah, Helena langsung dibawa pulang ke kediaman Diningrat. Begitu pula dengan kedua orang tua Jingga yang menginap di sana, karena mereka datang dari luar kota. Kini, mereka semua sudah berada di rumah setelah tadi menghadiri acara pernikahan Langit dan Helena.
Sejak turun dari mobil, Helena terus saja menggandeng tangan Langit yang baru saja sah menjadi suaminya. Rasa bahagia dan lega terpancar dari wajahnya karena bisa memenuhi keinginan neneknya. Tetapi, melihat akan hal itu, ada rasa cemburu di dalam hati Jingga, namun tak bisa ia ungkapkan. Menyadari saat ini, Langit bukanlah miliknya sendiri melainkan milik Helena juga, madunya itu.
"Langit, Helena, sekali lagi selamat ya! Kalian berdua sudah menikah. Mama senang sekali. Oh iya, kamar pengantin kalian sudah disiapkan. Jangan lupa ya, untuk segera memberikan Mama cucu," ucap Magdalena, ibunya Langit, tanpa memikirkan perasaan Jingga dan kedua orangtuanya sama sekali.
Mendengar ucapan Magdalena yang seolah-olah mengejek hatinya yang sedang patah, rasa sesak dan sakit mulai merayap di hati Jingga. Dia ingin menangis, tapi ia harus kuat dan tegar. Dalam situasi seperti itu, Ningrum yang penuh empati, hendak melontarkan kata sebagai pembelaan untuk anaknya. Namun, dengan segera Jingga mencegahnya karena tak ingin memperburuk keadaan.
Namun, tidak dengan Saras, mertua Magdalena yang begitu menyayangi Jingga. Wanita tua itu langsung mengomeli menantunya, "Lena, kamu ini apa-apaan, sih? Kita semua tahu jika Langit menikah dengan Helena karena alasan tertentu. Dan di sini juga ada Jingga, istri pertama Langit. Seharusnya kamu tidak berbicara seperti itu terang-terangan." Wajah Saras terlihat tidak senang, seolah dia tidak bisa menerima kehadiran Helena di sana.
"Mama yang apa-apaan? Memang kenyataannya 'kan begitu? Lagi pula, Langit dan Helena sudah sah menjadi pasangan suami istri. Tidak ada salahnya aku bicara seperti itu," sahut Magdalena dengan nada lantang, seakan menyakinkan dirinya juga.
"Jingga sendiri juga sudah setuju, 'kan? Bahkan dia yang meminta. Ya, jadi dia harus siap lah menghadapi risiko yang ada," lanjutnya.
Jingga tak tahan dengan perdebatan itu, sehingga ia memilih untuk pergi dari sana. "Aku permisi ke kamar dulu," ucapnya dengan suara lirih, kemudian segera pergi meninggalkan ruangan.
Langit ingin segera menyusul Jingga, namun dengan cepat Magdalena menarik tangan putranya, membuat Langit bingung apa yang harus dilakukannya saat ini.
"Maafkan aku, Jingga. Aku tahu situasimu sangat sulit, tapi aku juga tersiksa," batin Langit sembari menatap punggung kepergian istri tercintanya itu.
***
Di dalam kamarnya, Jingga langsung terduduk lemah, tangisannya tak bisa ia tahan lagi. Bulir bening itu kini jatuh bercucuran membasahi pipinya, melukiskan perasaan yang begitu mendalam di hatinya. Padahal ia sudah berusaha ikhlas dan rela dimadu. Namun, sikap Magdalena seolah mematahkan semangatnya.
"Ya Tuhan, tolong berikan aku kekuatan. Aku sudah memutuskan dan aku sudah berusaha ikhlas, tapi kenapa rasanya begitu sakit?" bisik Jingga dalam hati, merasa hatinya remuk karena harus rela berbagi suami dengan istri kedua suaminya yang tak lain adalah sahabatnya sendiri.
Dalam tangis yang pilu, Jingga kembali berdoa dalam hatinya, "Kuatkan aku, ya Tuhan. Semoga aku bisa menerima keputusan ini dengan lapang d**a dan menyambut masa depan yang menantiku dengan ikhlas."
Tok, tok, tok!
Mendengar ketukan pintu, Jingga berusaha menenangkan dirinya sejenak dan menghapus air matanya. Tak mungkin menyembunyikan raut wajah yang sembab, namun ia berusaha tersenyum dan menguatkan diri. Jingga pun segera membuka pintu kamar dan ternyata di balik pintu itu berdiri ibunya, Ningrum.
"Sayang, kamu baik-baik saja? Apa ibu boleh masuk?" tanya Ningrum dengan nada penuh kekhawatiran.
Mendengar pertanyaan ibunya, Jingga mengangguk lemah. "Iya, Bu, silakan masuk," sahutnya dengan suara yang masih serak akibat tangisannya tadi.
Lalu keduanya pun masuk ke dalam kamar, duduk bersama di tepi ranjang dan saling berbincang untuk mengungkapkan perasaan yang telah terpendam. Ningrum mencoba memahami perasaan yang tengah menyelimuti hati anaknya saat ini, pasti sangat sedih setelah mendampingi suaminya melangsungkan pernikahan kedua, ditambah sifat ibu mertuanya yang mendadak julid.
Dengan tulus, Ningrum menggenggam tangan putri kesayangannya erat-erat, berusaha menyuntikkan semangat padanya. "Kamu harus sabar ya, Nak. Bagaimanapun juga, ini adalah keputusan yang sudah kamu ambil. Ibu berharap kamu kuat menghadapi semuanya," ujarnya lembut.
Jingga sebenarnya sudah berusaha menahan air matanya agar tak mengalir lagi. Namun, ucapan ibunya malah membuat tangisnya pecah kembali. Ia pun memeluk Ningrum sambil menangis tersedu-sedu.
"Menangislah, Nak, kalau memang itu bisa membuat hatimu tenang," ucap Ningrum seraya mengusap punggung putrinya dengan lembut.
Sambil mencoba mengendalikan isak tangisnya, Jingga bertanya dengan suara yang hampir tidak terdengar, "Bu, apakah aku bisa kuat? Apakah aku bisa bertahan?"
Bersambung …