Setelah berpikir panjang, akhirnya demi cintanya pada Jingga, Langit pun setuju dengan keputusan gila istrinya yang terang-terangan meminta dimadu. Namun, sebelum mengambil keputusan pasti, dia ingin bertemu dengan Helena terlebih dahulu. Mereka pun berjanji untuk bertemu di sebuah restoran.
"Jingga, apa kamu yakin ingin aku menikah dengan suamimu? Apa kamu benar-benar ikhlas dimadu?" tanya Helena yang merasa sangat ragu dan tak yakin akan melakukan hal yang rasanya sangat keji itu.
"Sayang, apa kamu tidak mau menarik kata-katamu lagi? Kita bisa memikirkan jalan yang lain. Mas yakin, kita akan segera memiliki anak. Yang penting, kita harus sabar," ucap Langit yang juga mencoba meyakinkan istrinya.
"Mas, Helena, aku mohon. Kalian harus menikah. Ini demi kebaikan kita bersama. Aku ikhlas dimadu," ujar Jingga dengan penuh keyakinan, tak tergoyahkan oleh rasa cintanya pada suaminya dan keinginannya agar semua bahagia.
"Tapi, Sayang-"
Langit mencoba mencari jalan keluar lainnya, namun terhenti oleh kebulatan tekad istrinya. Kini, segala pertimbangan dan perasaan bercampur aduk dalam benak mereka, berusaha menemukan jawaban atas konflik batin yang melanda.
"Menikahlah, Mas!" Aku tahu, kamu nggak mau 'kan, melihatku dihina terus-menerus oleh ibumu. Aku juga nggak sanggup menanggung semua penderitaan ini untuk waktu yang nggak tahu kapan selesainya. Kalau memang ini jalannya, aku akan ikhlas menghadapinya. Ini juga demi kebahagiaan bersama," ungkap Jingga, tanpa memberikan kesempatan kepada Langit untuk membantahnya.
Meresapi setiap kata yang terucap, hati Helena dan Langit berdebar kencang, mereka tahu apa yang akan terjadi akan menentukan masa depan mereka bersama.
"Sejujurnya, aku sangat berat untuk melakukan ini. Tapi demi kamu dan aku juga tahu kamu demi membantuku, aku akan setuju," ucap Helena dengan perasaan campur aduk.
Mendengar itu, Langit pun akhirnya terpaksa mengucapkan kata setuju dengan berat hati. Melihat suami dan sahabatnya bersedia untuk menghadapi segala konsekuensi, Jingga merasa lega, namun perasaannya saat itu sulit digambarkan. Kesedihan, ketakutan dan kebahagiaan, semuanya bercampur aduk menjadi satu. Dalam hati kecilnya, ia berharap bahwa semuanya akan berakhir dengan baik dan kebahagiaan akan segera menyelimuti hidup mereka, meskipun ia tak tahu bagaimana takdir akan berbicara di masa depan.
***
Setelah sepakat, kini Jingga dan Langit berencana untuk mengatakannya langsung kepada ibu dan juga nenek Langit. Malam itu, setelah mereka baru saja selesai makan malam bersama, menurut keduanya adalah saat yang tepat.
"Sebenarnya, apa yang mau kalian bicarakan?" tanya Saras, sang nenek atau ibu dari ayah Langit yang sudah meninggal dunia.
Langit dan Jingga saling bertatapan, lalu Jingga menganggukkan kepalanya, seolah memberi isyarat kepada suaminya jika ia sudah sangat yakin.
"Kenapa malah diam? Kalian berdua sebenarnya mau bicara apa? Cepat katakan, Mama ini capek dan mau istirahat," tukas Magdalena.
"Ma, sebentar saja. Ada hal penting yang ingin aku dan Jingga sampaikan," kata Langit.
"Ya sudah, cepat katakan jangan menunda-nunda waktu. Dan kalau memang ini tidak penting, lebih baik tidak usah kalian katakan sekarang," kata Magdalena ketus.
"Ini penting, Ma. Berkaitan dengan keinginan Mama yang ingin cepat memiliki cucu," sahut Jingga dengan nada tegas dan penuh harap. "Kami ingin mengusahakan secepatnya, supaya bisa membawa kebahagiaan baru bagi keluarga ini. Kami mohon doa dan restu dari Mama dan Oma."
Magdalena menatap Jingga tajam, seakan mencoba mengetahui apa yang ada di pikiran menantunya. "Maksud kamu, mau mengusahakan dengan cara apa?" tanyanya penasaran.
Jingga menarik napas panjang, berusaha menahan sesak di dadanya. "Aku sudah memutuskan, kalau aku rela dimadu. Aku izinkan Mas Langit untuk menikah lagi demi memiliki keturunan," ujarnya dengan suara getir.
Mendengar hal itu, Saras merasa sangat terkejut. "Jingga, kamu yakin dengan keputusan ini? Kamu rela dimadu? Coba pikirkan baik-baik."
Namun Jingga, dengan mata berkaca-kaca dan teguh pada keputusannya, menjawab, "Oma, aku serius. Ini adalah keputusan yang terbaik. Aku juga nggak mau egois. Aku mau Mas Langit menikah lagi, bahkan kami sudah bertemu dengan wanita yang akan menjadi maduku."
Berbeda dengan Saras yang merasa tidak setuju, Magdalena justru merasa sangat senang. "Nah, begitu dong. Memang benar, kamu itu tidak boleh egois. Coba saja dari dulu, kamu membiarkan Langit menikah lagi dengan wanita yang bisa memberikan keturunan di keluarga ini, pasti masalahnya tidak akan ribet, 'kan? Kalian sudah dua tahun menikah tapi tidak ada tanda-tanda kalau kamu bisa hamil dan kamu tahu sendiri apa masalahnya," sindirnya, menyiratkan bahwa Jingga seharusnya sudah sadar akan situasi yang dihadapi.
"Lena, cukup! Kamu selalu saja menyalahkan Jingga. Padahal kamu juga seorang wanita, seharusnya kamu mendukungnya." Saras membentak menantunya yang menurutnya sudah keterlaluan.
Magdalena memutar bola mata malas. "Sudahlah, Ma. Mama tidak perlu ikut campur, Langit dan Jingga ini 'kan anak dan menantuku," sahutnya.
Untuk meredakan suasana, Langit akhirnya angkat bicara, "Stop! Oma, Mama, jangan bertengkar di sini."
Perdebatan Saras dan Magdalena pun terhenti, dan keduanya kembali fokus pada pembicaraan mereka.
Saat itu, dalam hati Jingga bergejolak perasaan. Apakah ia benar-benar yakin dengan keputusan ini? Apakah ia akan mampu menjalani hidup dalam bayang-bayang wanita lain? Namun, demi kebahagiaan keluarga yang ia impikan, ia harus bertahan. Dia harus tegas dan tabah, memastikan keputusannya kali ini benar-benar tepat dan mengarah pada kebahagiaan yang ia dan suaminya cari.
"Jingga, kamu serius merelakan Langit menikah lagi? Memangnya siapa wanita itu? Kamu mengenalnya?" tanya Saras, ingin memastikan kembali.
"Iya, Oma. Aku sangat mengenalnya. Bahkan, aku yang memilih dia untuk menjadi istri kedua Mas Langit," ujar Jingga dengan tegas. Rasa was-was yang sebelumnya menghantuinya mulai terkikis.
"Siapa?" tanya Saras penasaran.
"Helena, Oma. Bukan hanya aku dan Mas Langit yang mengenalnya, Mama dan Oma juga sudah mengenal Helena, 'kan? Dia adalah wanita yang baik. Aku percaya dia bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Langit," tutur Jingga dengan penuh keyakinan, berusaha meyakinkan Saras, Magdalena dan dirinya sendiri tentang keputusan ini. Di dalam hati, ia berdoa semoga segalanya berjalan sesuai harapan, demi kebahagiaan bersama.
"Tapi, bukankah dia juga sudah mau menikah?" tanya Saras. Karena Helena adalah sahabat baik Jingga, tentu mereka sudah tahu tentang wanita itu dan informasinya.
"Pernikahannya gagal," sahut Jingga lalu menceritakan penyebabnya serta kenapa ia memilih wanita itu untuk menjadi madunya.
"Oh, bagus dong kalau begitu. Mama juga suka dengan Helena. Dia baik dan cantik. Mama yakin, dia pasti bisa memberikan keturunan untuk keluarga ini," ujar Magdalena yang merasa sangat bahagia.
"Baguslah, Jingga, kalau kamu berpikiran seperti itu. Jangan sampai berubah pikiran," ucapnya lagi.
Jingga tersenyum tipis dan menjawab, "Iya, Ma, aku sudah mengambil keputusan itu. Aku tidak akan mengubahnya."
Walaupun terlihat kuat dan ikhlas, Langit dan Saras tahu bahwa di dalam hatinya, Jingga berusaha menahan luka dan kesedihan yang mendalam.
"Jingga, kasihan sekali kamu, Sayang. Kamu benar-benar wanita yang sangat baik," batin Saras yang sangat menyayangi cucu menantunya itu.
Bersambung …