5. Bekas Luka

1882 Kata
Setelah dua minggu berkutat dalam satu ruangan bersama Jett, Nayarra akhirnya berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan padanya. Nayarra hanya dapat bekerja dengan tenang saat Jett tidak ada di ruangan, untungnya pimpinan BLC Corp ini memang memiliki banyak jadwal yang perlu diurusnya di luar kantor. Saat Jett tidak ada, itu merupakan waktu paling tenang bagi Nayarra, karena saat pria itu ada, ia harus siap mendengar kejutan-kejutan pertanyaan yang dilontarkannya. Sejak pagi Nayarra sudah tidak sabar untuk melaporkan hasil pekerjaannya pada Jett, dengan harapan ia bisa segera kembali bekerja di ruang HRD. Maka begitu sang CEO kembali siang itu, Nayarra langsung menyerahkan laporannya pada Jett. "Pak, ini laporan yang Bapak minta," ujarnya sambil meletakkan berkas milik Nadia di atas coffee table. Jett duduk di sofa ruang kerjanya kemudian bertanya. "Laporan apa?" "Laporan tentang data Nadia." "Kamu sudah tahu posisi yang tepat untuk gadis itu?" balas Jett tanpa membaca laporan yang Nayarra serahkan. Nayarra mengangguk mantap. "Saya rekomendasikan dia untuk masuk ke bagian humas." Menyadari Nayarra yang masih saja berdiri, Jett menunjuk sofa di hadapannya. "Menurut kamu, apa pekerjaan yang cocok untuk dia? Bukankah sebelumnya kamu bilang dia tidak punya kemampuan yang mumpuni untuk diterima?" "Kan Bapak yang minta saya mengamati, sampai menemukan potensinya," balas Nayarra sambil perlahan duduk di sofa. "Dari yang saya amati, Nadia sangat aktif di sosial media, dan dia juga cukup berpengaruh. Jadi saya rasa dia bisa bekerja untuk menjalankan bagian sosial media BLC Corp." Jett mengangkat alisnya sambil mengangguk dua kali. "Begitu menurut kamu?" Nayarra mengangguk saja. "Yakin dia bisa?" "Mungkin." "Kenapa mungkin?" cecar Jett. "Pak ...," keluh Nayarra mulai kesal. Kalau soal yakin dan tidak yakin, Nayarra jelas tidak bisa memberi jaminan. "Oke!" sahut Jett cepat. "Minta Raka tindak lanjuti." Diam-diam Nayarra mengembuskan napas lega, kemudian bertanya dengan wajah ceria. "Jadi saya sudah bisa kembali ke ruangan saya, Pak?" "Memangnya kamu sudah selesai mengamati saya?" balas Jett datar. Nayarra lupa akan tugasnya yang satu ini. Lagi pula dikiranya Jett hanya main-main saja. Namun jelas ia tidak mau mengakui kalau dirinya belum menyelesaikan tugasnya. Nayarra ingin rutinitas kerjanya kembali normal dalam waktu dekat, maka ia menjawab dengan cepat. "Rasanya sudah cukup." "Apa yang kamu simpulkan tentang saya?" tanya Jett tertarik. "Bapak yakin mau mendengarkan pendapat saya?" Nayarra balas bertanya. Ia sedikit ragu untuk mengatakan pandangannya tentang sang CEO, bukan ia takut, tapi Nayarra tidak yakin Jett siap mendengar penilaian buruk tentang dirinya sendiri. "Katakan saja," balas Jett tenang. Nayarra memperbaiki posisi duduknya sebelum berbicara. "Dari apa yang saya amati selama hampir dua minggu mengenal Bapak, saya lihat Bapak adalah orang yang sangat kaku dan keras kepala." Jett memicingkan matanya. "Kenapa begitu?" "Bapak tidak suka mendengarkan pendapat orang lain. Bapak tidak suka perkataan Bapak dibantah. Dan apa yang sudah Bapak katakan secara otomatis menjadi sebuah ketetapan bagi orang lain," papar Nayarra berani. "Lanjutkan," ujar Jett. "Bapak adalah orang dengan tingkat perfeksionis tinggi, cenderung berlebihan." "Karena?" Nayarra kembali melanjutkan penjelasannya dengan gamblang. "Bapak tidak suka melihat orang lain melakukan kesalahan, sekecil apa pun itu. Bapak menetapkan standar yang sangat tinggi untuk diikuti oleh orang lain, bahkan terkadang terlalu tinggi hingga sulit untuk dicapai." "Ada lagi?" Nayarra mengangguk cepat. "Berkaitan dengan perfeksionisme berlebih itu, Bapak jadi tidak bisa memercayakan pekerjaan pada orang lain. Dalam pandangan Bapak, tidak ada pekerjaan yang cukup layak untuk dikerjakan oleh orang lain, hasilnya tidak memuaskan. Itulah yang membuat Bapak seringkali memeriksa ulang pekerjaan yang orang lain sudah lakukan." Jett kembali bertanya. "Masih ada lagi?" "Bapak senang memiliki kendali atas semua hal dan semua orang." Meski sejak tadi ia berbicara dengan berani, sebenarnya ada sedikit rasa gentar dalam diri Nayarra karena ekspresi wajah Jett tidak tertebak. Nayarra tidak bisa menduga apakah Jett kesal atau tidak dengan semua hal yang ia paparkan. "Sudah?" tanya Jett. Nayarra mengangguk kecil. "Sementara sudah." Jett menegakkan duduknya, menumpukan kedua lengannya di atas paha, kemudian menatap Nayarra lekat-lekat. "Lalu menurut kamu, apa itu sesuatu yang salah?" "Salah jika itu sampai menimbulkan masalah dengan banyak orang," balasnya berani. Ia tidak akan menjadi penjilat dengan mengatakan bahwa semua tingkah Jett adalah normal dan bisa diterima semua orang, karena pada kenyataannya tingkah Jett sering membuat bawahannya sakit kepala. "Apakah itu suatu gangguan?" "Mungkin." "Gangguan apa?" tanya Jett terus. "Saya tidak berani memberikan judge." Nayarra menggeleng pelan. "Sebaiknya Bapak berkonsultasi dengan orang yang lebih paham." Jett mengedik tidak peduli menanggapi saran Nayarra. Ia malah terus melanjutkan pertanyaannya. "Apa bisa diubah? Atau diperbaiki?" "Kalau ada kesadaran dari diri Bapak bahwa itu sesuatu yang salah, hal itu perlahan bisa diperbaiki, meski jelas tidak akan mudah. Tapi kalau tidak ada kesadaran, dan bagi Bapak itu hal yang wajar, jelas akan sulit." Jett terdiam. Entah karena kesal, entah sedang berpikir, entah sedang mencerna semua hal yang baru saja Nayarra katakan. Sejujurnya, belum pernah ada orang yang berani memberikan penilaian tentang dirinya, secara langsung di hadapannya. "Saya sudah bisa kembali bekerja di ruangan saya, Pak?" tanya Nayarra tidak sabar karena Jett diam saja. "Kenapa buru-buru sekali mau kembali ke ruangan kamu?" balasnya datar. "Karena tugas saya sudah selesai." Nayarra berusaha menahan kedongkolannya atas sikap Jett. Ia mulai mencurigai sesuatu dari jawaban Jett barusan. "Kamu tidak mau lebih lama lagi di sini bersama saya?" tanya Jett dengan nada menggoda. "Maksud Bapak?" balasnya ketus. Jett mengedik angkuh. "Siapa tahu kamu suka berdekatan terus dengan saya." Nayarra memasang ekspresi sebal di wajahnya yang membuat Jett terkekeh geli. "Saya permisi, Pak!" Nayarra cepat-cepat berdiri dan berniat meninggalkan ruangan Jett. Baginya, urusannya dengan Jett sudah selesai. "Tunggu!" cegah Jett. "Apa lagi?" balas Nayarra tidak sabar. "Saya masih punya pertanyaan untuk kamu." Jett menggerakkan tangannya meminta Nayarra duduk. "Dan saya juga mau memberikan hadiah untuk kamu." "Hadiah?" tanya Nayarra curiga. "Karena kamu sudah menyelesaikan tugasmu dengan baik." Jett berdiri kemudian berjalan menuju meja kerjanya. Ia mengambil sebuah paper bag dari atas meja. Setelah itu Jett menuju lemari pendingin dan mengambil dua botol minuman. Jett kembali ke sofa, meletakkan paper bag serta minuman di atas meja. "Untuk kamu." "Bapak tidak perlu memberikan hadiah untuk saya," tolak Nayarra. "Jangan ditolak. Ambil saja." Jett menggeser botol minuman ke arah Nayarra, sambil dirinya sendiri meminum bagiannya. "Terima kasih," balas Nayarra kaku. Ia tidak pernah suka menerima hadiah dari orang asing, namun mendebat Jett rasanya juga percuma saja. "Arra, kamu yakin kalau kamu belum pernah punya anak?" Tiba-tiba saja Jett kembali melontarkan pertanyaan yang membuat Nayarra terkejut. "Apa maksud pertanyaan Bapak?" balas Nayarra tajam. "Barangkali kamu pernah melahirkan tapi tidak pernah merawat anak kamu?" Jett memperjelas maksud perkataannya. "Tidak pernah, Pak," jawab Nayarra cepat. "Arra," panggil Jett pelan. Caranya memanggil terdengar berbeda dari biasanya. "Ya?" Jett memiringkan kepalanya, mengamati profil Nayarra, kemudian tersenyum samar. "Kenapa wanita secantik dan secerdas kamu belum menikah, Arra?" "Pak, pertanyaan Bapak semakin melantur," tegur Nayarra tegas. Jett terus saja menatap Nayarra dengan pandangan yang terlihat janggal, senyum samar juga masih tergambar di wajahnya. Jett menggeleng pelan sebelum kembali bicara. "Kamu membuat saya sangat penasaran, Arra. Semua tentang kamu membuat saya tertarik." "..." Nada bicara Jett, tatapannya, dan ucapannya, membuat Nayarra merasa tidak nyaman. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di sini dan Nayarra mulai gelisah. "Arra, coba ke sini!" Jett menepuk sisi sofa tempatnya duduk. "Bapak mau apa?" tanya Nayarra waspada. Ia pernah mendengar tentang para petinggi perusahaan yang sering melecehkan bawahannya, tapi jelas ia tidak akan terima jika hal itu sampai terjadi padanya. "Kalau kamu tidak mau mendekat, saya yang akan ke sana," balas Jett santai. Jett menunggu beberapa saat, dan ketika Nayarra tetap duduk di tempatnya, ia yang berdiri dan berpindah ke seberang. Tidak lupa disambarnya botol minuman yang sudah dibuka dan diminumnya tadi. "Pak! Mau apa?" seru Nayarra terkejut. Ia langsung menggeser duduknya menjauh, hingga ke ujung sofa. "Saya hanya ingin melihat kamu dari jarak dekat," balas Jett tenang. Perlahan Jett menggeser duduknya hingga persis berada di sebelah Nayarra. Tangan kanannya yang memegang botol minuman, diangkat ke sandaran sofa. Sementara tangan kirinya direntangkan ke depan kemudian ditumpukan ke sandaran tangan sofa. Posisi Jett kini mengunci Nayarra di sudut sofa, membuat wanita itu tidak bisa bergerak atau menghindar. "Pak, jangan macam-macam," ujarnya tetap terdengar tenang meski hatinya sudah ketar-ketir. Kepalanya sibuk memikirkan cara untuk menyelamatkan diri dari situasi ini. "Saya tidak akan macam-macam," balas Jett sambil memajukan tubuhnya. Melihat Jett memajukan tubuhnya, apalagi wajah pria itu yang semakin dekat dengan wajahnya, Nayarra otomatis ikut memundurkan tubuhnya. Punggungnya kini sudah menempel rapat di sudut sofa dan ia tidak bisa mundur lagi. Jett terus saja mencondongkan tubuhnya semakin dekat pada Nayarra, sementara Nayarra terus mencoba menggeser posisi, hingga hasilnya wanita itu seperti setengah berbaring di atas sandaran tangan sofa. Jett kini terlihat membungkuk di atas tubuhnya, dan itu membuat Nayarra semakin panik. Namun bukan mencium atau melakukan hal tidak sopan padanya, Jett malah menggerakkan tangan untuk memiringkan botol minuman yang sedang dipegang olehnya. Alhasil, seluruh isi botol itu tumpah ke atas tubuh Nayarra. "Pak, baju saya basah!" jerit Nayarra kaget. "Ops! Maaf," ujar Jett tersenyum geli. Terlihat jelas ia melakukannya dengan sengaja dan sama sekali tidak merasa bersalah. "Kalau begitu mari kita buka." Jett membuang botol minuman yang isinya sudah kosong secara sembarang. Tangan kanannya kini ia letakkan di kancing kemeja Nayarra yang teratas. Kemudian perlahan, jemarinya bergerak membuka kancing tersebut. "Pak, jangan seenaknya sama saya!" Nayarra menepis tangan Jett kemudian menyilangkan kedua tangannya di depan tubuhnya. "Jangan berpikir Bapak bisa menggunakan jabatan Bapak seenaknya!" "Saya hanya membantu kamu melepas pakaian, karena pakaian kamu basah," balas Jett tetap dengan nada santai. "Saya akan bantu kamu berganti pakaian. Kebetulan hadiah yang saya belikan untuk kamu memang pakaian, Arra." Sebenarnya bukan kebetulan, tapi Jett memang sudah merencanakan hal ini. Kalau tidak, mana mau ia repot-repot membelikan hadiah untuk karyawannya? Nayarra melirik ke arah paper bag yang tadi Jett berikan, lalu menyadari bahwa paper bag tersebut bertuliskan brand pakaian kerja wanita ternama. "Tidak perlu! Saya bisa melakukannya sendiri, dan bukan di sini. Bukan di depan Bapak!" hardik Nayarra berani sambil menatap marah pada Jett. Jett kembali mencoba meraih kancing kemeja Nayarra, namun wanita itu berteriak. "Lepas, Pak! Jangan berani menyentuh saya!" Jett mengembuskan napasnya. Kalau begini terus, urusannya bisa berbuntut panjang. Teriakan Nayarra mungkin akan terdengar oleh Gemma. Atau sialnya, ada orang yang akan masuk ke dalam ruangan ini, sementara Jett belum menyelesaikan misinya. Ia harus bertindak cepat jika tidak ingin rencananya gagal. "Arra, saya janji tidak akan macam-macam. Saya hanya ingin melakukan satu hal. Tolong kamu diam." Setelah mengatakan itu, Jett menangkap kedua tangan Nayarra lalu mendorongnya ke atas kepala wanita itu. Nayarra berusaha meronta namun tangannya terkunci oleh tangan Jett, dan tenaga pria ini nyatanya sangat kuat. Menyerah dengan tangannya yang sudah terkunci, Nayarra mencoba menggerakkan kakinya untuk mendorong Jett. Namun sayang pria itu sudah bisa menduga pergerakannya. "Jangan coba menendang saya, Arra!" Dengan cepat Jett mengangkat tubuhnya, mengganti posisinya hingga kini ia menduduki wanita itu. "Pak, saya bisa mengadukan ini sebagai kasus pelecehan!" seru Nayarra. Dalam kepalanya sudah terbayang hal-hal menakutkan yang akan menimpanya. Ia terbayang akan adegan perkosaan mengerikan yang dibacanya dalam berita-berita. "Saya akan bayar ganti rugi," balas Jett tidak peduli. Sementara tangan kirinya tetap mengunci tangan Nayarra, tangan kanannya membuka semua kancing kemeja wanita itu. Ketika semua kancing kemejanya sudah terbuka, Jett juga membuka kancing celana Nayarra, menariknya turun sedikit sampai menemukan sesuatu yang dicarinya. Nayarra merasakan cengkeraman tangan Jett mengendur. Seharusnya ia bisa meronta bebas sekarang, namun reaksi Jett yang di luar perkiraan membuat Nayarra bingung. Dikiranya Jett benar-benar akan memerkosanya, namun nyatanya pria itu malah diam tertegun. Jett terdiam sambil menatap lekat-lekat perut Nayarra. Di atas kulit mulus wanita itu, tepat di perut bagian bawah, Jett menemukan bekas luka yang cukup panjang dalam posisi melintang. Perlahan ia meletakkan tangannya di atas perut Nayarra kemudian menggerakkan telunjuknya untuk menyusuri bekas luka tersebut. Setelah yakin bahwa ia tidak salah mengenalo, Jett mengangkat wajahnya dan menatap Nayarra. "Arra, coba jelaskan pada saya! Bagaimana caranya seorang wanita yang belum menikah dan belum memiliki anak memiliki bekas operasi caesar di perutnya?" *** --- to be continue ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN