Suara hujan masih deras membasahi jendela rumah besar itu, menyamarkan ketegangan yang perlahan merambat di ruang tamu. Udara menghangat, dibumbui aroma teh kayu manis dan jejak aroma tubuh seorang wanita yang baru saja selamat dari neraka.
Alika Valendria terbangun perlahan. Tubuhnya terbungkus selimut hangat, rambutnya yang hitam legam menjuntai lembut di pipi pucat. Matanya yang sendu terbuka pelan, menyesuaikan diri dengan cahaya temaram dari lampu gantung ruang tamu.
Nathaniel Baskara duduk di kursi dekat sofa, mengenakan kaus tipis dan celana santai. Rambutnya sedikit basah karena sempat turun ke garasi mengambil pakaian ganti dari mobil. Sorot matanya tajam seperti biasanya, tapi malam ini ada sesuatu yang lain—kelembutan yang hanya dimiliki seseorang yang mencoba melindungi, bukan sekadar menganalisis.
“Kamu udah sadar,” gumam Nathaniel, suaranya rendah namun hangat.
Alika menoleh pelan. Di luar, suara hujan masih mendominasi.
“Maaf... aku merepotkanmu malam ini. Aku nggak tahu harus ke mana lagi…”
“Kamu nggak merepotkan, Lika. Aku senang kamu datang ke sini. Aku senang bisa nolong kamu.”
Tatapan mereka bertaut. Diam, tapi dalam. Di balik sisa ketakutan di wajah Alika, Nathaniel melihat sesuatu tumbuh perlahan—kepercayaan. Ia tahu ini bukan hanya pertemuan antara klien dan pengacara. Ada sesuatu yang sedang bergerak di antara mereka, tak kasatmata tapi nyata.
Alika mengangkat tubuhnya perlahan. Selimut yang menyelimuti tubuhnya tergelincir, memperlihatkan gaun satin tipis yang masih menempel basah di kulitnya. Cahaya lampu menyoroti kilau lembut di kulit putihnya, membuat Nathaniel menahan napas.
“Kamu masih kedinginan?” tanyanya pelan, suaranya sedikit serak.
Alika menggeleng, meski tubuhnya menggigil samar. “Mungkin... karena basah tadi.”
Nathaniel bangkit. Ia berjalan ke lemari kecil dekat ruang tamu, mengambil handuk bersih dan baju longgar miliknya—kaus abu-abu dan celana pendek.
“Pakai ini... nanti kamu sakit.” Ia menyodorkannya dengan hati-hati, seperti menyerahkan sesuatu yang rapuh.
Alika menerima baju itu dan berdiri. “Aku ganti di kamar, ya?”
Nathaniel hanya mengangguk. Ia menatap punggungnya yang menjauh menuju ruang ganti kecil di sisi dapur. Saat pintu kayu itu tertutup, Nathaniel menarik napas dalam. Ada sesuatu yang membuat dadanya berat—bukan hanya karena kecantikan Alika, tapi karena cara tubuh itu gemetar. Seolah trauma tak hanya hidup di pikirannya, tapi menempel di kulitnya.
Beberapa menit berlalu. Lalu sepuluh menit. Terlalu lama.
Nathaniel melangkah pelan, berdiri di depan pintu yang sedikit terbuka. Ia hendak mengetuk saat matanya menangkap sesuatu dari celah kecil itu.
Tubuh Alika membelakangi cermin. Gaun sudah ia lepas, dan ia tengah mengenakan kaus yang disiapkan Nathaniel. Namun sebelum seluruh baju tertutup, mata Nathaniel menangkap bekas-bekas memar keunguan di bahu, luka sayat kecil di punggung kanan, dan kulit merah seperti bekas sabetan.
Luka-luka itu... baru. Masih segar.
Nathaniel menahan amarah yang mendidih. Ia mengetuk pintu dan berdeham. “Lika? Kamu butuh bantuan?”
Segera suara kaki terdengar dari dalam. “Selesai, kok.”
Alika membuka pintu, kini telah mengenakan kaus Nathaniel yang kedodoran di tubuh mungilnya. Ia tampak lebih kecil, lebih rapuh.
Nathaniel tidak berkata apa-apa. Ia pergi ke dapur dan mengambil kotak P3K, lalu kembali dengan ekspresi tenang.
“Duduk.” Suaranya datar, tapi ada ketegasan di baliknya.
Alika menatapnya ragu. “Kenapa?”
“Lukamu. Punggung dan bahumu. Aku lihat dari celah pintu. Jangan khawatir, aku nggak bermaksud ngintip.”
Alika tertunduk, wajahnya memerah karena malu. Tapi akhirnya ia duduk, memunggungi Nathaniel. Pria itu membuka kaus perlahan dari bagian belakang leher, menyibakkannya agar bisa melihat luka.
Tangannya bergerak dengan hati-hati, membersihkan dan mengoleskan salep. Setiap sentuhan ringan, penuh kehati-hatian. Tapi justru kelembutan itu membuat napas Alika tercekat.
“Kamu nggak harus lakuin ini,” bisiknya.
Nathaniel diam. Tangannya masih menyentuh kulitnya, hangat dan tenang.
“Aku tahu,” balasnya akhirnya. “Tapi aku mau.”
Ada keheningan yang menggantung saat tangannya menyelesaikan luka terakhir. Tapi ketegangan di udara bukan ketegangan canggung—itu sesuatu yang lebih dalam. Lebih gelap. Lebih panas.
Tangan Nathaniel sempat berhenti di bahu Alika, lalu perlahan bergerak turun ke lengan atasnya. Namun kemudian ia menarik diri.
“Udah.” Ia bangkit, kembali memasukkan salep ke dalam kotak obat.
Alika berbalik, mata mereka bertemu lagi. Tatapan itu—dalam, gelap, membara. Tapi tak satupun dari mereka bicara tentang yang baru saja terjadi.
***
Keesokan paginya, Nathaniel menyetir mobilnya sendiri, mengantar Alika ke sebuah apartemen di kawasan SCBD. Tempat itu diam-diam ia sewa dari temannya di kantor notaris.
“Tempat ini aman. Nggak ada yang tahu kamu di sini,” kata Nathaniel saat membuka pintu unit. “Aku akan bantu urus perceraianmu dari jauh. Tapi kalau kamu butuh apa pun, kamu bisa hubungi aku kapan saja.”
Alika berdiri di tengah ruang tamu apartemen yang minimalis tapi nyaman. Ia berbalik, menatap Nathaniel.
“Terima kasih. Aku tahu ini di luar tanggung jawab profesional kamu.”
Nathaniel tersenyum miring. “Mungkin aku bukan sekadar profesional untukmu.”
Alika tak menjawab. Tapi sorot matanya… mengiyakan.
***
Sore harinya, Nathaniel duduk di sebuah restoran Prancis mewah di Senopati. Di hadapannya duduk Aurelia Santoso—tunangan resmi sekaligus pewaris salah satu firma hukum terbesar di Asia Tenggara. Aurelia tampil anggun dengan blazer putih dan tatanan rambut rapi. Tapi ekspresinya mulai berubah seiring waktu.
“Nathan?” panggilnya. “Kamu dengar yang tadi aku bilang?”
Nathaniel terangkat dari lamunannya. Ia buru-buru menegakkan badan. “Maaf… aku…”
“Kamu melamun dari tadi. Aku cerita soal pertemuan merger dengan klien Jepang. Kamu bahkan nggak nanya satu pun,” ucap Aurelia, nada suaranya datar.
Nathaniel menyandarkan punggung ke kursi. “Maaf. Aku cuma... ada satu kasus baru. Agak berat secara emosional.”
Aurelia menyipitkan mata. “Kasus tentang apa?”
Nathaniel terdiam.
Wajah Alika muncul dalam pikirannya—wajah dengan luka samar di pelipis, sorot mata penuh luka, dan tubuh yang masih menyimpan trauma. Bukan sekadar kasus. Bukan sekadar klien.
“Kasus perempuan... yang ingin cerai dari suaminya. Ada... kekerasan rumah tangga. Aku nggak bisa ceritakan detailnya.”
Aurelia mengangguk pelan. Tapi sorot matanya tak lepas dari wajah tunangannya.
“Sejak kapan kamu sedalam itu kalau bicara soal klien?”
Nathaniel mengalihkan pandangan ke jendela. Hujan kembali turun di luar, membasahi kaca restoran dengan butir-butir air yang gemetar. Sama seperti pikirannya.
Ia menyesap anggur putihnya, mencoba menyamarkan rasa bersalah yang mulai tumbuh di balik pikirannya.
Karena ia tahu… meski duduk di hadapan wanita yang harusnya menjadi masa depannya, hatinya sedang berjalan jauh… menuju apartemen kecil yang kini jadi tempat persembunyian seorang wanita bernama Alika Valendria.
---
Follow me on IG: @segalakenangann