Aurelia duduk di ruang kerjanya yang sepi, menatap layar ponsel yang tak kunjung berhenti menampilkan kabar terbaru dari berbagai portal berita daring. Ia tidak ingin percaya pada apa yang dilihatnya—foto Nathaniel keluar dari gedung Komnas Perlindungan Perempuan, ditemani seorang wanita yang wajahnya begitu familiar. Alika. Nama itu saja sudah cukup membuat jantung Aurelia berdegup lebih cepat, bukan karena kagum atau rasa hormat, tetapi karena cemburu yang menyesakkan. Ia ingat benar bagaimana Nathaniel pernah berjuang mati-matian saat kehilangan ingatannya; bagaimana ia, Aurelia, selalu berada di sisinya, menjaga, memastikan Nathaniel tidak kehilangan pijakan. Tetapi kini, setelah semua yang ia lakukan, ternyata pria itu justru diam-diam menemui Alika. Lebih menyakitkan lagi, bukan sek

