58 : Rencana Perlawanan

1141 Kata
            Setelah melewati satu malam panjang yang lebih banyak dihabiskan dengan bernostalgia akhirnya hari ini hubungan Raka dan Zinde kembali seperti semula. Sebenarnya mereka berdua sudah bicara bahkan bersama Daniel, membahas bagaimana cara teraman yang bisa dilakukan untuk membatalkan perjodohan Zinde, dengan segala usahanya Daniel bilang bahwa dia ingin membantu, dia tidak mau melihat Raka dan Zinde berpisah karena Daniel sudah menganggap Zinde sebagai bagian dari keluarganya juga.             Ketika mendengarnya jujur saja Zinde sangat bahagia, dia itu terhitung yang paling jarang mampir ke rumah ini karena sebagian besar waktu yang Zinde habiskan bersama Raka adalah di apartementnya. Bukan karena dia tidak mau berkunjung hanya saja rasanya dia masih butuh penyesuaian. Zinde itu bukan Nabila yang memang sudah mengenal keluarga Bagaskara sejak lama, Zinde itu orang baru yang masih harus beradaptasi untuk kesan-kesan yang baik.             Tapi malam ini ketika Zinde merasa bahwa Daniel benar-benar menghargai kehadirannya sebagai pacar Raka, dia jadi merasa ingin lebih dekat dengan keluarga ini.             “Kita jadi ketemu sama Papa kamu hari rabu nanti?”             Zinde tersenyum kala mendengar pertanyaan itu dilontarkan oleh Raka dari sebrang telpon, ini sedang jam makan siang dan Raka tiba-tiba menghubunginya entah karena apa.             “Jadi, kamu nggak apa-apa ketemu sama Papa aku?”             “Aku udah pernah ketemu sekali waktu kamu undang ke ulang tahun beliau, tapi rabu nanti aku ketemu dia buat ngomong penting kalo aku cinta sama anaknya. Kayaknya pertemuan aku sama Papa kamu selalu didasari sama hal-hal penting, ya?”             “Apaan deh kok malah gombal.” Zinde tekekeh senang. “Kamu udah makan siang?”             “Udah, sayang. Ini beres makan aku langsung telpon kamu. Kamu udah makan belum?”             “Raka, ini firasat aku aja atau memang kamu tiba-tiba berubah jadi lebih manis sih?”             “Hm?” Raka tertawa disebrang sana. “Memangnya kenapa kalo aku berubah jadi lebih manis?”             “Aneh aja, kayak bukan kamu yang biasanya.”             “Kamu nggak suka, ya?”             “Bukan gitu!” Zinde buru-buru menjawab, mendengar Raka yang langsung tertawa di sana membuat Zinde jadi sedikit kesal. “Aku tuh suka kamu manis begini, tapi mungkin masih ngerasa aneh karena kamu beda dari yang biasanya?”             “Kamu tau nggak,” kata laki-laki itu menggantung, “aku tuh sedang mencoba mengikat kamu biar makin jatuh cinta sama aku, buat jaga-jaga takutnya kamu malah kepincut sama anak temennya Papa kamu itu.”             Apa katanya?             Sungguh, ini benar-benar bukan Raka sekali. Masa iya laki-laki ini mendadak jadi tidak percaya diri? Apa dirinya sedang insecure sekarang? Raka yang biasanya tidak pernah seperti ini, dia selalu percaya diri akan apapun yang menyangkut dirinya, selalu ada waktu dimana bahkan Raka suka menyombong-nyombongkan dirinya sendiri kepada Zinde.             Serandom itu, tapi Zinde menyayanginya.             “Kamu lagi insecure ya, sayang?”             “Enggak. Ngapain aku insecure.”             “Tapi itu tadi seolah-olah bilang kalo kamu takut kesaing sama anak dari temennya Papa aku.”             “Enggak, Zindeeeee.”             Zinde tertawa lagi, nada suara laki-laki itu lucu sekali, mungkin jika mereka sekarang dekat maka Zinde akan memeluknya dengan begitu erat. “Iya, iya percaya. Lagian aku udah pernah ketemu kok sama anak temennya Papa aku itu, kemarin-kemarin waktu aku menghindar dari kamu Papa sempet ajak aku makan malam bareng sama mereka dan ternyata dia orang yang udah aku kenal, bahkan kamu juga kenal sama dia?”             “Hah? Siapa?”             “Rahasia. Kayaknya nanti kamu bakalan ketemu juga deh sama dia. Kalo gitu aku makan siang dulu ya, Ka. Aku belum makan soalnya.”             “Ih! Kenapa kamu nggak bilang daritadi? Kenapa malah ngeladenin aku telponan sih?”             “Nggak apa-apa, aku kangen juga soalnya. Yaudah ya aku makan dulu, see you nanti sore,”             “See you, sayang.”             Telepon terputus dan Zinde langsung tersenyum lebar mendengar kalimat penutup terakhir yang diucapkan oleh Raka. Bahagia sekali ya dia ini bisa mendapatkan laki-laki yang menjadi incarannya sejak dulu bahkan laki-laki yang sejak dulu dirinya cintai. Terkadang Zinde bahkan masih sering mengira bahwa ini semua hanya mimpi, tapi dengan hadirnya Raka disetiap harinya membuat Zinde sadar bahwa akhirnya mereka memang benar-benar bersama.             Tidak ada lagi orang kedua dihubungan mereka, tidak ada lagi yang bisa memisahkan mereka dan Zinde yakin akan hal itu. *             “Semuanya udah baik-baik aja?”             Siang itu Aksa kembali menghampiri cafe Lalisa untuk mengajak gadis itu makan bersama, tadinya Aksa sudah berniat untuk mengajak pacarnya itu makan di luar karena akhir-akhir ini mereka jarang bertemu, Aksa belakangan ini lebih banyak berdiam diri di dalam rumah guna menjaga kedua Kakaknya yang terlihat sama galaunya.             Tapi mengingat bahwa keduanya sudah saling berbaikan dengan pasangan masing-masing maka sekarang Aksa bisa bertemu lagi dengan Lalisa. Inilah salah satu hal yang paling Aksa sukai dari gadis ini, dia sangat-sangat perhatian, bahkan ketika kemarin Aksa berkata bahwa mereka tidak bisa bertemu dulu karena masalah ini Lalisa dengan manisnya justru menjawab tidak apa-apa dan menyuruh Aksa untuk menjaga kedua saudaranya dengan benar. Memastikan mereka tetap makan walaupun tidak keluar kamar ataupun sesekali mengecek kamar keduanya takut-takut ada percobaan bunuh diri di sana.             Tapi itu tidak mungkin sih.             Siang ini Aksa datang ke cafe Lalisa karena gadis itu sudah memasak makan siang untuknya, mereka berdua akan memakan masakan yang Lalisa buat sendiri, Aksa bahkan lupa kapan terakhir kali dia memakan masakan gadis ini. Lalisa itu amat pintar memasak, bahkan level masakannya hampir setara dengan Nabila yang selalu enak.             Memang tidak sia-sia Aksa menjadikan Lalisa sebagai calon masa depannya.             “Sa? Ih, aku tuh nanya bukannya dijawab tapi kamu malah ngeliatin aku.” Protes Lalisa kesal sebab, pertanyaannya sedari tadi tidak kunjung mendapatkan jawaban karena Aksa sibuk melamun.             Lalisa tak tau saja bahwa sedari tadi Aksa hanya memikirkannya.             “Maaf, maaf. Kamu tadi tanya apa?”             “Dua saudara kamu gimana? Semuanya udah baik-baik aja?”             Aksa langsung mengangguk tanpa ragu. “Udah baik-baik aja kok,” katanya, “makanya aku udah bisa nyamperin kamu lagi.”             Lalisa menyodorkan kotak makan siang milik Aksa kemudian membuka tutupnya, menata lauk-lauk di depan laki-laki itu dengan sangat rapi sampai Aksa tidak memalingkan tatapannya sedikitpun dari gadis itu.             Sambil menyiapkan semuanya Lalisa juga berkata. “Syukur deh kalo gitu, sebenernya kemarin juga Nabila sempet mampir ke rumah sama Barga bawain obat yang aku pesen, padahal aku udah bilang biar aku ambil sendiri tapi malah dianterin, tapi aku seneng sih karena akhirnya liat mereka berdua lagi dan keliatannya baik-baik aja. Kalo Zinde kemarin malam dia yang telpon aku setelah pulang dari rumah kamu itu, dia cerita banyak banget tentang Raka bahkan tentang Papa kamu yang katanya mau bantu buat selesain masalah mereka berdua. Tapi setelah dengar sendiri dari kamu gini aku jadi lebih lega aja.”             Aksa tersenyum seraya mengucapkan makasih kala Lalisa selesai menata makanannya. “Aku juga udah tau tentang itu, Papa cerita sama aku soal rencananya. Kita makan dulu ya nanti kalo udah selesai baru aku cerita tentang rencana Papaku buat Raka sama Zinde.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN