Sesuai janji yang sudah Zinde buat bersama Ayahnya, akhirnya pada hari Rabu ini mereka benar-benar berkumpul atau lebih tepatnya mengadakan pertemuan penting dengan pembahasan mengenai pertentangan perjodohan yang Ayahnya lakukan terhadap Zinde.
Sejak awal bicara dengan sang Papa, Zinde tidak berbohong sama sekali. Dia jujur mengatakan bahwa pertemuan ini memang bertujuan sebagai sebuah perlawanan dan Papa Daniel yang meminta untuk bertemu dengan Papanya, bersama dengan Zinde dan Raka juga tentunya.
Awalnya Zinde takut, dia sama sekali tidak bisa memprediksi akan jadi seperti apa pertemuan ini nantinya. Zinde sangat-sangat mengenal sang Ayah, namun Zinde tidak selalu bisa menebak isi kepala pria paruh baya itu, terkadang apa yang dia lakukan bisa jauh dari ekspetasi Zinde, salah satunya adalah perjodohan ini.
“Mau apa mereka bertemu dengan Papa?”
Itulah pertanyaan yang dilontarkan oleh Ayah Zinde ketika Zinde berkata bahwa dia ingin menyusun sebuah pertemuan dan meminta Ayahnya untuk mengosongkan jadwal di salah satu hari.
“Aku enggak tau, Papanya Raka enggak ada bilang apa-apa dan cuma minta aku buat atur jadwal buat ketemu sama Papa. Tapi, sekali aja... ya, Pa? Sekali ini aja temuin mereka, ini permintaan terakhir aku, kalo memang setelah itu Papa enggak bisa restuin aku sama Raka. Oke, aku bakal ngelepas dia dan ngejalanin perjodohan sesuai maunya Papa.”
Berat rasanya, sungguh.
Zinde harus mempertaruhkan segala hal hanya untuk pertemuan ini. Tapi setelah kemarin bicara dengan Raka dan Papanya Raka, Zinde jadi mengerti satu hal dan dia hanya ingin memberikan rasa percayanya kepada kedua orang itu. Apapun keputusan akhir nantinya, Zinde rasa dia bisa menerima dengan lapang d**a karena setidaknya Zinde tau bahwa Raka benar-benar mencintainya dibuktikan dengan tindakannya sekarang.
Raka mau memperjuangkannya.
“Selamat siang, Bapak Artawijaya.”
Zinde langsung menoleh ke arah pintu dan menemukan sosok Papa Daniel beserta Raka di sana, mereka datang tepat waktu sesuai dengan janji yang sudah Zinde buat. Gadis itu bisa menghela napas lega setidaknya sekarang, karena nanti dia bahkan tidak tau masih bisa bernapas atau tidak.
Raka melempar senyum ke arahnya, senyum yang menyuruh dirinya untuk tenang karena semua akan baik-baik saja. Disaat seperti ini laki-laki itu bahkan masih mengkhawatirkannya.
“Silahkan duduk.” Bapak Artawijaya yang merupakan Ayah dari Zinde langsung mempersilahkan mereka berdua untuk duduk. Ayah Zinde ini memang tidak terkenal jahat, laki-laki ramah bahkan benar-benar ramah dan Daniel menyetujui itu, dia tidak terlihat mengintimidasi dan dari sini Daniel bisa menarik kesimpulan bahwa pria paruh baya di depannya ini hanya ingin masa depan anak gadisnya cerah, itulah mengapa dia mengambil jalan untuk menjodohkannya.
“Saya tidak bisa berlama-lama karena setelah ini ada meeting yang tidak bisa saya tinggalkan, bisa langsung saja sebenarnya apa tujuan anda mengajak saya bertemu, Pak Daniel?”
Daniel tarik kata-katanya yang mengatakan bahwa laki-laki ini tidak terlihat mengintimidasi, dia mendadak berubah menjadi seorang Ayah yang menakutkan.
Namun Daniel tentu tak gentar.
“Saya tidak mau berbasa-basi maka dari itu saya akan langsung saja. Sebelumnya saya mohon maaf karena pembicaraan ini mungkin akan membuat Bapak sedikit terkejut karena ada beberapa aksi saya yang terkesan nekat dalam mencari informasi, namun itu semua saya lakukan demi anak saya Raka dan juga anak bapak Zinde.”
Ayah Zinde tampak diam sejenak sebelum menjawab, “baiklah, lanjutkan.”
“Saya tau bahwa Bapak ingin menjodohkan Zinde dengan salah satu anak dari sahabat karib Bapak di bidang bisnis, bahkan saya tau kalau Bapak sudah mempertemukan mereka berdua lewat makan malam keluarga minggu lalu. Saya benar?”
“Iya, itu benar. Apakah Zinde sendiri yang memberitahu?”
Daniel langsung mengangguk. “Iya, Zinde yang memberitahu kepada Raka. Tapi Bapak sendiri juga tau ‘kan bahwa saat ini anak saya memiliki status sebagai pacar dari anak Bapak Zinde, jadi bukannya tidak masalah jika Zinde menceritakan segala hal kepadanya? Mengingat bahwa mereka berdua memang memiliki hubungan khusus yang sudah mendapatkan izin dari Bapak beberapa tahun lalu, saya ingatkan jika kemungkinan Bapak lupa.”
Fakta itu memang benar. Fakta tentang Ayah Zinde yang sebelumnya sudah merestui hubungan berpacaran antara Zinde dengan Raka. Raka pernah mendatangi pria paruh baya ini beberapa tahun lalu walaupun tidak pernah bertemu lagi karena keduanya sibuk, inilah pertemuan kedua mereka.
“Kamu benar, saya juga tidak marah jika memang Zinde menceritakannya dan saya juga ingat kalau pernah merestui mereka berdua. Tapi kamu harus tau bahwa restu saya hanya sebatas pacaran karena saya tau anak saya mencintai anak kamu, namun untuk ke jenjang yang lebih tinggi saya tidak pernah memberi restu apapun, masa depan Zinde sudah saya siapkan dan dia hanya tinggal menjalankannya.”
Tanpa sadar Raka sudah menggepalkan kedua tangannya di bawah meja makan, dia tau kalau dirinya tidak pernah meminta izin untuk pergi ke jenjang yang lebih serius bersama Zinde tapi bukan berarti Raka tidak pernah memikirkan hal itu, Raka selalu memikirkannya bahkan dia sudah dari lama menyusun waktu untuk meminta izin tersebut, hanya saja dia belum siap kalau harus sekarang karena bagaimana pun juga Raka tidak mau melangkahi Barga yang berstatus sebagai seorang yang lebih tua di persaudaraan mereka.
Daniel yang mengetahui bahwa emosi anaknya sedikit naik mulai mengusap telapak tangan Raka tanda menenangkan, dia sudah tau bahwa pembicaraan ini akan terjadi.
“Bapak Artawijaya, saya tau bahkan sangat-sangat tau tentang hal itu. Tapi pasti Bapak juga mengerti mengapa Raka belum pernah meminta izin untuk pergi ke jenjang yang lebih serius bersama Zinde. Raka itu sedang mempersiapkan dirinya, bahkan dalam satu bulan lagi ketika saya sudah benar-benar lepas kendali terhadap perusahaan yang sudah saya bangun bertahun-tahun lalu saya masih punya Raka yang akan menggantikan posisi saya sebagai Direktur Utama dalam perusahaan tersebut. Kalau Bapak ragu terhadap kemampuan Raka, Bapak bisa melihat sendiri bagaimana dia bekerja keras untuk mencapai tingkat tersebut, dia banyak belajar tentang urusan bisnis jadi saya rasa untuk hal itu Bapak tidak perlu khawatir.”
“Sebenarnya apa maumu? Sudah kubilang bahwa aku sudah memiliki calon tersendiri untuk masa depan Zinde, jadi tanpa perlu kamu beberkan tentang kemampuan anakmu pun aku tidak akan berubah pikiran.”
Daniel tersenyum manis, mengabaikan kalimat itu dan melanjutkan kata-katanya.
“Itu baru poin pertama. Poin kedua Bapak juga pasti tau kalau kedua anak kita saling mencintai. Selama ini Raka selalu memperlakukan Zinde dengan baik walaupun terkadang mereka pernah bertengkar karena hal-hal kecil tapi saya yakin dengan pasti bahwa mereka berdua bahagia jika bersama-sama. Jika Bapak kurang percaya, Bapak bisa tanyakan sendiri kepada mereka. Mereka itu adalah dua orang yang tidak mau dipisahkan.”
Zinde yang mendengar itu lantas menunduk dan menahan air matanya yang memaksa ingin keluar. Dia merasa benar-benar diperjuangkan setelah mendengar kalimat Papa Daniel barusan bahkan Zinde jadi teringat masa-masa di mana Raka yang selalu datang ke apartementnya untuk meminta maaf jika dia baru membatalkan janji atau membuat Zinde marah. Raka memang seperti itu dan Papa Daniel benar. Laki-laki yang Zinde cintai itu memang masih banyak kekurangannya namun Zinde tak pernah mempermasalahkan hal itu selagi hati Raka masih bisa dia miliki untuknya, maka bagi Zinde itu sudah lebih dari cukup.
“Poin ketiga. Sebelum memulai pembicaraan ini saya sudah lebih dulu meminta maaf bukan? Maka saya ingin memberikan sedikit informasi tentang Lucas Wong, laki-laki yang sudah Bapak tetapkan untuk menjadi calon masa depan Zinde, sekaligus anak dari sahabat karib Bapak di dunia bisnis. Saya menemukan informasi ini ketika mencari tau soal dirinya, ini memang lancang maka dari itu saya meminta maaf, namun saya rasa Bapak harus tau ini karena saya tau bahwa Bapak menginginkan hal yang terbaik untuk Putri Bapak.”
Daniel lantas menyodorkan satu amplop coklat ke depan Artawijaya, amplop berisi informasi lengkap tentang orang seperti apa Lucas Wong itu. Ini adalah rencana paling besar yang tidak dia beritahu pada siapapun kecuali Aksa. Karena Daniel meminta bantuan Aksa untuk mencari tau informasi ini.
Zinde terlihat terkejut kala ikut membaca apa isi dari amplop tersebut.
Lucas Wong itu ternyata sering berbuat hal-hal yang tidak baik sebagai seorang anak dari petinggi terkenal. Dia terkenal pada dunia-dunia gelap yang tidak pernah siapapun ketahui, laki-laki itu ternyata lebih menyeramkan daripada dugaan Daniel.
Artawijaya tentu terkejut bahkan dia tidak bisa bicara apapun lagi untuk membalas Daniel, pria itu langsung menghubungi sekretarisnya dan meminta konfirmasi apakah hal-hal tersebut adalah benar, setelah lima menit di selidiki ternyata apa yang Daniel berikan itu adalah kebenaran.
Calon masa depan Zinde bukanlah seseorang yang baik.
“Pa, Papa enggak apa-apa?” Zinde khawatir melihat Papanya yang kini sedang memijat keningnya pertanda pusing.
“Papa enggak tau hal ini dan besar kemungkinan kalau Ayah Lucas juga tidak mengetahui hal ini.”
Hening, tidak ada yang bicara lagi setelah itu. Salah seorang staff dari Ayah Zinde masuk dan memberitahu bahwa meeting sebentar lagi akan dimulai, maka Artawijaya segera bangkit dari duduknya.
Namun sebelum laki-laki itu pergi dia sempat bicara sedikit dengan Daniel.
“Sebenarnya apa tujuan utamamu datang kemari, Daniel Bagaskara? Saya tau anda kemari bukan hanya ingin memberitahukan hal itu bukan?”
Senyum Daniel tersungging ketika dia mengatakan, “Saya hanya mau Bapak mempertimbangkan anak saya Raka untuk menjadi calon dari masa depan anak Bapak yaitu Zinde.”
Sebenarnya semua orang disana harap-harap cemas menunggu jawaban yang akan diberikan oleh Ayah Zinde, apakah sebuah jawaban baik atau bukan? Namun setelah mendengar jawabannya mereka semua pada akhirnya bisa bernapas lega.
“Kalau begitu besok datanglah ke kantorku bersama Raka, kita harus membicarakan ini lagi karena aku butuh berpikir terlebih dahulu.” Setelah mengatakan itu Ayah Zinde langsung meninggalkan ruangan sebelum sempat mengusap puncak kepala putrinya dengan lembut.
“Ayah pergi dulu, kamu selesaikan makan siang bersama mereka.”
Kalau begini bisakah Raka dan Zinde berharap bahwa mereka memiliki sedikit harapan untuk bersama?