3. Benda keras didalam celana

1340 Kata
Caroline menelan ludah ketika tangannya tanpa sengaja menyentuh bagian bawah celana Alessandro. Sesuatu yang keras dan panjang membuat tubuhnya menegang seketika. “Dia… berdiri?” Caroline bergumam pelan, wajahnya memanas. Alessandro tersentak, pupil matanya melebar. Mustahil… pikirnya. Dua tahun terakhir, sejak kecelakaan itu, ia yakin bagian dirinya sudah mati. Namun sekarang, Caroline membangunkan sesuatu yang telah lama terkubur. “Tidak mungkin…” bisiknya dalam hati, rahangnya mengeras menahan gejolak. Caroline memaksakan senyum meski jantungnya berdetak tak karuan. Ya Tuhan, aku belum siap di-unboxing… gimana kalau beneran? Pasti sakit… aku kan belum pernah… pikirnya panik. Alessandro langsung menggenggam bahunya, menatap lurus dengan sorot mata berbahaya. “Berhenti memancingku, Caroline,” suaranya rendah namun tajam. “Kalau aku kehilangan kendali… kau tidak akan bisa berjalan besok pagi.” Caroline berusaha menahan getaran di suaranya. “T-Tuan… sudah malam. Lebih baik kita… istirahat, bukan?” Alessandro menyipitkan mata, seakan ingin menembus isi kepalanya. Senyum tipis penuh sinis muncul di bibirnya. “Kau berharap aku akan menidurimu malam ini begitu? Jangan mimpi. Jalang seperti mu… tidak akan pernah mendapat kehormatan itu dariku.” Tanpa menunggu jawaban, Alessandro berdiri dan melangkah cepat ke arah pintu. Suara hentakan sepatunya menggema, dingin seperti pemiliknya. “Brak!” Pintu kamar terbanting keras, meninggalkan Caroline terdiam dengan wajah pucat. “Huft…” Caroline menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. Napasnya tersengal. “Untung saja dia tidak jadi… tapi tadi benda itu… beneran berdiri…” Ia memejamkan mata, mencoba tidur, namun bayangan tadi masih menari dalam pikirannya—bayangan tangan yang menyentuh sesuatu yang panjang, keras, dan berurat. “Lupakan, Caroline… ayo tidur…” bisiknya pada diri sendiri. Tapi semakin ia memaksa, semakin jelas ingatan itu datang, membuatnya gelisah di balik selimut. Alessandro melangkah keluar kamar dengan wajah tegang. Ia menuju balkon, membuka pintu geser, dan berdiri menatap gelapnya malam kota Roma. Angin dingin menerpa wajahnya, tapi pikirannya justru terbakar. “Hey, kamu. Sini.” suaranya datar, namun cukup membuat seorang pengawal yang berjaga segera mendekat. “Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” tanya pengawal itu menunduk hormat. “Ambilkan rokok dan korekku.” Alessandro tidak menoleh, matanya tetap menatap langit malam. “Baik, Tuan. Sebentar.” Pengawal itu masuk, lalu kembali dengan sebungkus rokok berisi ganja. Alessandro mengambilnya, menyalakan dengan korek, lalu mengisap dalam-dalam. Asap pekat mengepul dari bibirnya. Sambil mengisyaratkan pengawalnya untuk pergi, Alessandro merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Ia menekan nomor dengan cepat. Di ujung telepon terdengar suara parau seorang pria. “Halo, Tuan Alessandro? Tumben Anda menelepon saya malam-malam begini.” Itu suara Dokter Etien, dokter pribadi yang selama dua tahun ini merawat kondisinya. “To the point saja, Dok.” Alessandro mengembuskan asap, matanya menyipit. “Ular piton saya… tiba-tiba bangun. Hanya karena disentuh seorang gadis.” Kedua alis Dokter Etien langsung terangkat meski Alessandro tak bisa melihat. Suaranya jelas terkejut. “Cosa?! Itu kabar yang sangat menggembirakan! Siapa wanita itu, Tuan?” “Seorang gadis yang dijodohkan untuk jadi istri ku. Ayahku yang menyiapkannya. Keluarganya menjualnya demi membayar hutang. Menjijikkan, bukan?” Alessandro mendecak, suaranya penuh sinis. “Hmm…” Dokter Etien terdengar berpikir. “Bagaimanapun, ini mungkin jawaban dari kemoterapi dan terapi syaraf yang Anda jalani. Impotensi Anda mungkin telah berakhir. Tubuh Anda merespons dengan alami. Itu kabar baik.” Alessandro mendengus pelan, menatap ujung rokok yang menyala merah. “Semua wanita sama saja, Dok. Cepat atau lambat, mereka akan meninggalkan. Gadis itu juga pasti hanya mengincar hartaku… sama seperti Isabella, mantan tunanganku.” “Non, non, Tuan Alessandro.” suara Dokter Etien tegas. “Perasaan saya, wanita ini berbeda. Tapi jangan gegabah. Selidiki latar belakangnya lebih dulu. Jangan buru-buru menilai.” Alessandro terdiam beberapa detik, lalu menjawab dingin, “Baiklah. Saya akan pertimbangkan.” Ia memutus telepon tanpa menunggu balasan. Sekali lagi ia menarik rokoknya dalam-dalam, menghembuskannya ke udara malam. Tapi bayangan tubuh Caroline—lingerie merah, tatapan nakal, bibir yang basah—kembali menghantam kepalanya. “Merda…” Alessandro mengumpat pelan, membuang puntung rokok ke lantai balkon. “Kenapa bayangannya justru membuatku semakin b*******h?” Ia berjalan masuk kembali. Matanya tanpa sadar melirik sekilas ke arah ranjang, di mana Caroline tertidur pulas dengan wajah tenang. Alessandro menegakkan tubuhnya cepat, berusaha menahan gelora yang tiba-tiba menyerangnya. Ia melangkah ke kamar mandi. Begitu menutup pintu, kedua tangannya mencengkeram wastafel, menatap bayangannya sendiri di cermin. “Damn it…” gumamnya dengan napas kasar. “Kenapa… setiap kali mengingat tubuhnya… imajinasiku semakin liar…” Alessandro menyalakan lampu kamar mandi. Cahaya putih menyilaukan membuat wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, rahangnya mengeras, napasnya berat. “Che diavolo sta succedendo denganku…” gumamnya lirih, suaranya penuh frustrasi. Tangannya gemetar, kemeja hitamnya ia buka kasar, kancing berhamburan jatuh ke lantai. Ia menyalakan keran, membiarkan air dingin mengalir deras. Namun dingin itu sama sekali tak mampu menenangkan darahnya yang mendidih. Bayangan Caroline kembali menari di kepalanya—lingerie tipis, tatapan menantang, suara bisikannya yang menyebutnya “tidak normal.” “Buktikan, Tuan…” begitu suara itu bergema di telinganya. Alessandro mendengus keras, wajahnya menegang. Tangannya bergerak ke bawah, menyentuh bagian yang sejak dua tahun lalu mati… kini bangkit dengan begitu hidup. “Aku bahkan tak percaya… benda ini benar-benar berdiri lagi…” desisnya sambil memejamkan mata. Tangannya mulai bergerak, ritme cepat, napasnya memburu. “Caroline… jalang kecil…” ia menggeram rendah, antara marah dan b*******h. “Aku harusnya membunuhmu… bukan menginginkanmu…” Tubuhnya semakin tegang, otot-otot perutnya berkontraksi. Ia mencoba melawan imajinasi itu, tapi Caroline terlalu kuat menempati pikirannya. Suara tawanya, tatapan matanya, bahkan cara gadis itu dengan berani menyentuh celananya tadi—semua membuat Alessandro hampir kehilangan kendali. “Merda! Ini gila…” desahnya tertahan. Beberapa detik kemudian tubuhnya menegang penuh, ia terdiam sambil menggertakkan gigi, sebelum akhirnya meraih handuk untuk membersihkan sisa-sisa gairahnya yang meledak. Alessandro jatuh terduduk di lantai marmer, punggungnya bersandar pada dinding. Napasnya masih berat, matanya kosong menatap langit-langit. “Che cazzo… kenapa harus dia? Kenapa tubuhku merespons hanya padanya?” Kedua tangannya menutupi wajah. Untuk pertama kali setelah dua tahun, Alessandro merasa benar-benar kalah. Caroline menggeliat pelan. Suara samar dari kamar mandi terdengar lagi. Ia menggenggam selimut erat, matanya melebar. “Suara apaan itu…” gumamnya dengan bibir bergetar. Ia merapatkan tubuhnya ke guling. “Perasaan tadi Alessandro udah keluar kamar… jangan-jangan… ada orang lain?” Caroline menelan ludah. Detak jantungnya makin kencang. “Tidak mungkin. Ini mansion-nya… siapa yang berani masuk ke kamarnya?” ia berusaha menenangkan diri, tapi suaranya hanya terdengar lirih. Pintu kamar mandi berderit. Caroline buru-buru memejamkan mata, pura-pura tidur. Alessandro keluar dengan wajah dingin, rambutnya basah, tetesan air mengalir di leher hingga d**a. Ia melepas jas, menanggalkan kemeja, lalu celana panjangnya. Tersisa hanya celana dalam pendek hitam yang melekat pada tubuhnya. Otot-otot perutnya yang sixpack menegang saat ia menggantung pakaian di cantelan. Caroline yang mengintip sedikit dari celah matanya hampir tersedak napasnya sendiri. “Ya Tuhan… dia… setengah telanjang?!” Pipinya panas. Ia buru-buru menutup mata lagi. “Jangan panik Caroline… pura-pura tidur. Pura-pura tidur!” Kasur berguncang saat Alessandro naik ke ranjang. Caroline ingin menjerit saat tiba-tiba tubuh besar pria itu merapat, lengannya melingkari pinggangnya begitu saja. “Eh—!” Caroline ingin menolak, tapi hanya berani dalam hati. “Berat banget! Aku nggak bisa napas!” Napas Alessandro terdengar dekat di telinganya. Panas tubuhnya menjalar melalui tipis kain tidur Caroline. “Dia benar-benar… memelukku?” Caroline memejamkan mata rapat, jantungnya berdegup kacau. Tiba-tiba Alessandro bergumam setengah sadar, suaranya berat dan rendah. “Diamlah… di sini…” Caroline nyaris pingsan mendengarnya. “Ya ampun! Dia ngomong sama aku? Atau dia lagi ngigau? Aduh… gimana ini…” Ia menggigit bibir, tak berani bergerak sedikit pun. “Kalau aku gerak, bisa-bisa dia sadar aku bangun… kalau aku diam… aku bisa mati terhimpit begini…” Beberapa menit kemudian, napas Alessandro melambat, dalam dan teratur—ia sudah tertidur. Caroline menatap wajah dingin pria itu dari dekat, berbisik dalam hati, “Kalau lagi tidur… kenapa dia kelihatan tenang banget, ya? Padahal kalau bangun, tatapannya bisa bikin aku gemetar…” Ia akhirnya ikut memejamkan mata, meski jantungnya masih terus berdetak kencang tak terkendali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN