6.Obsesi

1161 Kata
Monalisa semakin agresif. Ia naik ke pangkuan Alessandro, tubuhnya menekan d**a bidang pria itu. “Tuan… lupakan semua wanita lain. Pagi ini hanya ada aku,” bisiknya sambil menelusuri leher Alessandro dengan bibirnya. Tangannya sudah meraba lebih jauh, mencoba membangkitkan reaksi. Tapi justru Alessandro menggertakkan giginya, kepalanya menengadah ke belakang. “Kenapa… kenapa bayangan Caroline terus muncul? Senyumnya, tatapannya, bahkan ciumannya tadi pagi… sial!” Monalisa menjilat bibirnya, suaranya mendesah. “Tuan… ayo… serahkan tubuh Anda padaku…” Alessandro tiba-tiba memejamkan mata erat, wajahnya tegang. Nafasnya berat, keluar dari sela giginya. “Aghhh—Caroline… pergi kau dari kepalaku!” teriaknya serak, memukul sandaran sofa dengan kepalan tangannya. Monalisa membeku. “Caroline?” ia mengulang nama itu dengan alis terangkat, seakan baru saja menemukan rahasia besar. Alessandro segera mendorong tubuh Monalisa kasar hingga ia terjatuh di ranjang. Mata tajamnya berkilat marah. “Diam. Jangan sebut nama itu,” ucapnya dingin, hampir seperti ancaman. Monalisa tersenyum miring, meski bibirnya sedikit gemetar. “Jadi benar… hanya dengan memikirkan perempuan bernama Caroline, tubuhmu bisa bereaksi. Padahal semua pria di Roma berebut aku, tapi kau—kau justru tergila-gila pada satu wanita.” Alessandro berdiri, merapikan kemejanya dengan kasar. “Cukup. Kau dibayar bukan untuk bicara.” Monalisa merayap di ranjang, tatapannya licik. “Tuan, kalau kau benar-benar ingin melupakan Caroline… biarkan aku tunjukkan kenikmatan yang bahkan perempuan itu tidak bisa berikan.” Alessandro menatapnya sesaat, lalu berbalik menuju pintu. “Tidak ada wanita yang bisa menyainginya…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Monalisa menggigit bibir, matanya menyipit penuh rasa penasaran. “Caroline… siapa sebenarnya kau, sampai bisa membuat pria dingin seperti Alessandro kehilangan kendali?” Alessandro keluar dari kamar VIP dengan langkah lebar, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sang manajer bordir langsung menyambutnya gugup di depan pintu. “T-tuan Alessandro… ada apa? Apa pelayanan Monalisa tidak memuaskan? Jika Anda kurang puas, saya bisa segera carikan yang lebih muda, lebih cantik, lebih berpengalaman.” Alessandro menghentikan langkahnya. Tatapannya menusuk tajam seperti belati, membuat manajer itu menelan ludah. “Tidak perlu. Urus saja pekerjaanmu, jangan ikut campur urusanku.” Suaranya rendah, dingin, membuat bulu kuduk meremang. Manajer itu menunduk dalam-dalam. “B-baik, tuan…” Tanpa menoleh lagi, Alessandro berjalan keluar lobby rumah bordir. Langkahnya tegas, setiap orang yang melihat hanya bisa menunduk hormat. Jonson, asistennya, sudah menunggu di depan pintu mobil. “Mobil sudah siap, tuan,” kata Jonson sambil membuka pintu. Alessandro masuk, melemparkan tubuhnya ke jok kulit mobil sport mewah itu. Ia menghela napas berat, pandangannya kosong menatap keluar jendela. Jonson melirik lewat spion, ragu-ragu bertanya. “Tuan… apa kita langsung pulang ke mansion?” “Tidak.” Alessandro menjawab pendek, suaranya dingin bagai es. “Kita berangkat. Aku ada janji dengan klien.” Jonson mengangguk cepat. “Baik, tuan.” Mesin mobil meraung. Iring-iringan konvoi pengawal pribadi Alessandro langsung mengikuti dari belakang. Di kursinya, Alessandro masih terpaku, pikirannya kalut. Kenapa hanya Caroline yang bisa mengacaukan kendaliku? Setelah sarapan, Caroline berdiri dari kursinya. Dari jendela besar ia melihat puluhan pria berjas hitam berjejer di halaman depan mansion, wajah mereka tanpa ekspresi, seperti patung hidup. Caroline melambaikan tangan ke salah satu pelayan. “Kau. Sini.” Pelayan itu segera mendekat, menunduk sopan. “Iya, nona.” “Aku ingin jalan-jalan di taman. Bawa aku sekarang.” Caroline bersuara tegas, penuh wibawa. Pelayan itu tampak ragu sejenak. “Baik, nona… tapi ada aturan yang harus anda ketahui.” Caroline menaikkan alis. “Aturan?” “Ya. Anda tidak boleh memasuki ruangan pribadi Tuan Alessandro… dan ruang bawah tanah.” Caroline melipat tangan di d**a. “Ruang bawah tanah? Kenapa? Apa yang sebenarnya disembunyikan di sana? Perasaan… hanya ruangan biasa saja.” Pelayan itu menelan ludah, wajahnya menegang. “Maaf, nona. Saya tidak bisa menjelaskan terlalu detail. Semua itu perintah langsung dari tuan.” Caroline mendengus sambil menatap lurus. “Hmph, baiklah. Kalau begitu, ayo antar aku ke taman belakang.” “Silakan ikut saya.” Mereka berjalan melewati koridor panjang yang remang, diterangi cahaya lampu gantung kristal. Setelah melewati pintu kaca besar, Caroline menghirup udara dingin yang menusuk. Taman luas terbentang di hadapannya. Pohon-pohon tinggi mengelilingi mansion, membuat suasana terasa gelap meski matahari sudah tinggi. Di antara semak mawar berduri, patung-patung marmer berdiri kaku seakan mengawasi. Caroline melangkah perlahan. Ia berhenti sejenak di dekat air mancur, menatap pantulan wajahnya di permukaan air. Dalam hati ia bergumam, “Kenapa mansion ini ada di tengah hutan? Gelap, penuh rahasia… ini lebih mirip markas mafia daripada rumah seorang CEO. Sebenarnya… siapa Alessandro itu?” Ia menggenggam jemari tangannya, matanya berkaca-kaca namun penuh tekad. “Apapun yang terjadi, aku harus bisa menaklukkan hati Alessandro. Hanya dengan begitu aku bisa keluar dari sini… dan hidup normal lagi." Caroline menghela napas panjang, lalu melangkah lagi, senyum tipis penuh rencana terlukis di bibirnya. Saat maid meninggalkan Caroline sendirian, gadis itu menoleh kanan-kiri memastikan tak ada yang memperhatikan. Dengan langkah pelan ia mendekati sebuah pintu besi besar di ujung koridor bawah. Pintu itu tampak berbeda—lebih kokoh, dengan kunci ganda dan ukiran lambang keluarga Alessandro. Caroline menempelkan telinganya di sana, berbisik lirih. “Sebenernya… apa yang ada di dalam sini?” Tiba-tiba sebuah tangan dingin menepuk pundaknya. Caroline terlonjak, jantungnya hampir meloncat keluar. Suara berat terdengar tepat di telinganya. “Siapa kau?!” Caroline buru-buru menoleh, wajahnya pucat. “Sa… saya… saya hanya jalan-jalan, tuan. Saya tersesat… sumpah saya tidak bermaksud apa-apa.” Laki-laki itu menatapnya tajam beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Tenang. Jangan takut. Kau Caroline, istri Alessandro, bukan?” Caroline membeku. “Dari mana… dari mana Anda tahu?” Pria itu menunduk sedikit, menatapnya lebih dekat. “Cantik sekali…” Caroline mengernyit, bingung. “Maksud Anda?” Ia mengulurkan tangan seakan memperkenalkan diri. “Namaku Lucas. Aku sepupu Alessandro.” “Oh…” Caroline menghela napas, sedikit lega. “Saya Caroline.” Lucas tersenyum miring. “Kakakku memang orang yang dingin. Jadi… kalau dia bersikap kasar, jangan terlalu diambil hati. Kau hanya perlu… sabar.” Matanya menatap Caroline begitu dalam, seolah ingin menelannya bulat-bulat. “Terima kasih,” Caroline menunduk sopan, merasa aneh dengan tatapan itu. Lucas menyelipkan kedua tangannya di saku. “Kau sudah keliling mansion ini?” “Sudah,” jawab Caroline singkat. “Kudengar kau seorang mahasiswa hukum, ya?” “Betul,” Caroline mengangguk. Lucas menatapnya penuh arti. “Kebetulan, besok kau akan berangkat bersamaku. Kita satu universitas. Uncle Massimo menyuruhku menjaga dan mengawasimu.” Caroline sedikit terkejut, namun cepat menyembunyikan ekspresinya. “Oh… terima kasih sebelumnya.” Lucas melangkah lebih dekat, suaranya merendah. “Jadilah temanku, Caroline.” Caroline tersenyum tipis, mencoba menjaga jarak. “Baiklah. Tapi… maaf, aku harus naik ke atas dulu. Ada jadwal olahraga.” Lucas menatapnya tanpa berkedip, bibirnya terangkat samar. “Baik, Caroline. Hati-hati di jalan.” Caroline segera melangkah pergi, meninggalkan Lucas berdiri sendirian di koridor gelap itu. Tatapan Lucas mengeras, senyumnya berubah licik. Dalam hati ia berbisik, “Bagaimanapun caranya, Caroline harus jadi milikku. Sejak lama aku sudah menginginkannya. Tapi kenapa… kenapa justru Alessandro yang disuruh menikahinya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN