LOST IN MACAU.05

1294 Kata
LIM.05 CHANG FEN       Aku hanya diam membisu dalam pelukan Lee Zhang  yang membuatku sangat nyaman. Pelukannya yang hangat mampu menghangatkan suasana dan juga hatiku yang dingin karena kesedihan yang aku alami. Seumur hidupku hanya ada beberapa orang yang mampu membuat hatiku menghangat dan menyayangiku begitu tulus. Mereka adalah ibuku, Bibi Fang Er dan juga pria yang sedang memelukku, Lee Zhang.       Saat aku merasa sudah sangat nyaman di dalam pelukan Lee Zhang, tiba-tiba cacing di perutku memberontak karena lapar. Mereka tidak hanya memberontak, tapi juga bersuara hingga membuatku sangat malu di hadapan Lee Zhang. Lee Zhang yang juga mendengar suara gemuruh dari dalam perutku pun tertawa kecil dan bertannya, “Apa kamu lapar?”       Aku tidak menjawab, tapi hanya mengangguk di dalam pelukannya. Kemudian Lee Zhang kembali bertanya, “Kamu ingin makan apa? Biar aku yang traktir.”       “Tidak usah, aku saja yang traktir Kakak. Lagi pula aku baru saja gajian. Jadi biarkan aku yang mentraktir kakak untuk merayakannya.” Aku menjawab sembari melepaskan pelukanku di tubuh Lee Zhang.       Lee Zhang yang mendengar ucapanku kembali tertawa. “Tidak, biar aku saja yang traktir. Anggap saja ini perayaan karena aku baru saja mendapatkan pekerjaan. Kamu bisa menyimpan uangmu dengan baik.”       Kemudian pria yang duduk di sampingku itu bangkit dari bangku dan berkata, “Ayo kita pergi cari makan. Udara yang dingin di malam hari ini membuatku lapar.”       “Kita cari makanan kemana Kak? Sekarang sudah dini hari, tidak ada yang jual makanan di sekitar sini.”       “Ikut saja denganku. Kita akan mencari tempat makan dengan motor ini. Kalau tidak salah ada night market tidak jauh dari sini. Di sana banyak orang-orang menjual makanan hingga subuh.”       Lee Zhang menarik tanganku agar mengikutinya menuju parkiran motor yang tidak terlalu jauh dari tempat kamu duduk tadi. Kami kembali berjalan bersama dengan saling bergenggaman tangan. Kenyamanan yang ia berikan saat ini rasanya sangat sulit untuk aku lepaskan. Ia benar-benar memperlakukanku dengan baik. Bahkan sikap lembutnya membuatku menyukainya. Meski aku belum siap untuk mencintainya, setidaknya aku tahu kalau ia sangat menyukaiku. Kami memiliki perasaan yang sama. Jika rasa itu belum bisa terwujud saat ini, mungkin suatu hari nanti.           Aku duduk di belakang Lee Zhang yang sedang mengendarai motornya. Meski saat ini aku telah memakai jacket yang ia berikan, tapi aku masih merasa kedinginan. Udara dini hari yang sedikit berkabut di awal musim dingin ini menusuk hingga ke tulangku. Namun rasa dingin itu bisa tekalahkan oleh kehangatan yang diberikan oleh Lee Zhang. Ia menggengam tanganku yang sedang memeluknya dengan salah satu tangannya, sedangkan tangan lainnya memegang kendali motor yang sedang ia kendarai.       Beberapa menit kemudian, Lee Zhang menghentikan motornya di parkiran dekat sebuah night market. Kami turun dari motor bersama dan berjalan memasuki kawasan night market tersebut. Baru saja kami memasuki kawasan night market tersebut, terlihat banyak orang-orang yang menjual berbagai macam makan di sisi kiri dan kanan  jalan. Dari makanan tradisional hingga makanan internasional dijual disana. Tentu saja dengan porsi yang berbeda dan juga harga yang merakyat dibanding yang di jual orang-orang di restaurant terkenal.       “Viera, kamu mau makan apa?” Lee Zhang bertanya padaku yang sedang berjalan di sampingnya.       Aku tidak langsung menjawab, tapi aku melihat ke sekelilingku yang dipenuhi para penjual makanan. Banyaknya para penjual makanan membuatku bingung untuk memilih makanan yang mana. Hingga akhirnya mataku tertuju pada seorang ibu-ibu tua yang berjualan di ujung jalan. Aku melihat ibu tua itu duduk dengan wajah sedih karena dagangannya yang masih banyak belum laku. Saat para pedagang lain sibuk meladeni para pembeli yang membeli jualan mereka, ibu itu hanya diam menontonnya. Bukan karena makanannya yang tidak menggugah selera, tapi mungkin karena posisi tempat jualannya yang tidak strategis dan juga tempat jualannya yang tidak menarik serta tidak memadai.       “Kita makan di sana saja, Kak.” Aku menunjuk ke tempat ibu tua berjualan sambil menarik tangan Lee Zhang yang berjalan di sampingku.           Melihat aku menunjuk ke tempatnya berjualan, ibu tua itu langsung tersenyum padaku. Aku dan Lee Zhang membalas senyum ibu tua sambil berjalan menghampiri lapaknya. Baru saja aku sampai di lapak ibu tua itu, beliau langsung bertanya, “Anak muda, kalian mau makan apa?”       “Aku mau…” aku berbicara sambil menopang daguku dengan tangan kananku seolah sedang berpikir.       Lee Zhang yang juga sedang lapar segera duduk di kursi yang telah tersedia sembari berkata, “Bibi,  beri aku seporsi Dim Sum yang panas.” Kemudian ia menoleh padaku bertanya, “Viera kamu mau makan apa? Apa kamu mau makan Dim Sum juga?”       Aku belum menjawab pertanyaan Lee Zhang karena masih ragu. Namun saat aku masih berpikir, tiba-tiba mataku tertuju pada makan tradisional yang ada di sudut meja. Melihatku mataku yang tertuju pada makanan itu Lee Zhang pun kembali bertanya, “Apa kamu ingin Chang Fen?”       Dengan segera aku menganggukan kepala, “Ya, Kak. Aku ingin Chang Fen.”       “Baiklah gadis cantik, silahkan duduk. Aku akan mengambilkan makanan itu untukmu.” Ibu tua pejual makanan itu berbicara.       Tidak lama kemudian, Ibu penjual itu menghampiri kami dengan sebuah nampan di tangannya. Beliau membawa seporsi Dim Sum, seporsi Chang Fen, dan dua mangkuk sup bening. “Selamat menikmati makanannya. Dan ini teh krisan panas  gratis untuk kalian yang ingin memanaskan suhu tubuh. Musim dingin telah datang, akan mudah masuk angin dan flu.”       “Terima kasih, Bi.” Lee Zhang menanggapi ucapan ibu tua tersebut.       Sedangkan aku hanya mengangguk sebagai ucapan terima kasih secara tidak langsung sambil menyuap makanan ke mulutku. Namun saat aku menyuap Chang Fen ke mulutku, seketika tanganku berhenti bergerak. Makanan yang tengah berada di dalam mulutku kini terasa seperti makanan yang sering dibuatkan oleh ibuku saat kami masih bersama dulu.       Chang fen adalah makanan khas dari cina di bagian selatan atau disebut juga dengan hidangan  Canton. Chang Fen biasanya disajikan sebagai cemilan atau sebagai variasi dim sum. Makanan ini adalah gulungan crepe tipis yang dibuat dari strip lebar shahe fen (mie beras), diisi dengan udang, daging sapi, sayuran, atau bahan-bahan lainnya. Disajikan dengan kecap berbumbu, terkadang dengan siu mei dripping, yang dituangkan di atas piring.       “Viera, ada apa? Kenapa kamu tidak memakannya?” suara Lee Zhang yang bertanya membuyarkan lamunanku.       Dengan segera aku menggelengkan kepala menjawab, “Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya teringat ibuku.”       “Kenapa?”       “Chang Fen ini rasanya sangat mirip dengan makanan yang dimasak oleh ibu ku dulu, saat aku masih kecil.”       “Apa kamu masih mengingatnya?”       “Tentu saja aku ingat. Meski saat itu aku masih kecil , aku selalu mengingat apapun tentang ibuku yang pantas aku ingat. Saat aku masih kecil ibuku tidak pernah meninggalkan akuwalau hanya sebentar. Aku sangat merindukannya, bahkan aku lupa wajah ibuku sendiri.” Aku menjawab dengan mata berkaca-kaca.       Lee Zhang yang mendengar ucapanku mengusap punggungku dan berkata, “Jangan menangis. Jika kamu merindukan ibumu, kamu bisa memeluk ibuku. JIka kamu merindukan masakan ibumu, kamu bisa meminta ibuku memasakkan makanan apa saja yang kamu suka.”       “Terima kasih, Kak.” Aku tersenyum pada Lee Zhang sambil melanjutkan makananku.       Kami makan bersama menikmati makanan yang terhidang di meja. Makanan ini benar-benar lezat dengan porsinya yang banyak membuat perutku terasa sangat kenyang. Hingga membuatku sulit bangkit dari tempat duduk dan mataku mengantuk.       Lee Zhang yang baru saja menyelesaikan makannya bertanya padaku, “Apa kamu mau tambah lagi?”       “Tidak, aku sudah sangat kenyang.”       “Setelah ini kamu ingin kemana?”       “Apa kita bisa langsung pulang ke rumah? Aku benar-benar sangat mengantuk.” Aku menjawab sambil menutup mulutku menguap.       Lee Zhang tertawa kecil melihatku menguap dan berkata, “Kamu ini  seperti ular saja. Setelah makan kenyang malah ingin tidur.”       “Wajar saja aku sekarang ini mengantuk. Aku bekerja 18 jam setiap harinya tanpa henti hanya untuk kelansungan hidupku.”       “Saat aku telah berhasil nanti, aku tidak akan membiarkanmu kesulitan seperti ini lagi.”       “Ya… aku akan menantikan masa-masa itu.”       Setelah kami selesai makan dan Lee Zhang membayar semuanya, kami kembali berjalan menuju parkiran motor yang tidak jauh dari tempat kami makan tadi. Namun saat kami berjalan menuju parkiran, tiba-tiba ponsel Lee Zhang berbunyi. Dengan segera ia menjawab. “Hallo Bu…. Ya, kami akan segera pulang.”       “Telepon dari siapa Kak?” Aku bertanya pada Lee Zhang yang baru saja menutup teleponnya.       “Dari ibuku.” Lee Zhang terdiam sejenak, lalu melanjutkan ucapannya. “Ibuku bilang kita harus segera pulang. Ayahmu yang baru saja pulang dari luar sedang terluka.”       “Terluka?  Bagaimana itu bisa terjadi?”       “Aku tidak tahu. Ibu juga tidak memberi tahuku. Lebih baik kita pulang saja sekarang.”   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN