simalakama

1472 Kata
Setelah sampai di kantor Rama segera bergegas meninggalkan Elsa dan langsung menuju ruang kerja Danu. Brak! Danu langsung terkejut karena Rama masuk tanpa mengetuk pintu dan menutupnya dengan membanting cukup keras. “Lain kali kalau kau berani ikut campur urusan pribadiku dan mencoba untuk memberi tahukan tentang apa yang terjadi dan apa yang aku lakukan dikantor ini, aku akan benar-benar mengajukan untuk melengserkan dari kedudukanmu yang sekarang!” dengan jari menunjuk, Rama dengan keras dan memberikan ultimatum pada Danu. Danu yang mendengar itu langsung berdiri, “Dia menerorku dan kalau aku tak memberikan jawaban yang memuaskan dia akan terus bertanya seperti biasa!” Rama berkacak pinggang, “Kau itu temanku apa sekutu Ibuku?” “Temanmu! Tapi aku juga tidak akan berani menghadapi Ibumu!” sahut Danu. “Kau itu pria dewasa dan umurmu sudah lebih dari 40 tahun, dan kau masih takut dengan Ibuku?” tanya Rama tak percaya menyipitkan matanya menatap Danu. “Apa kau sendiri berani menghadapi Ibumu?” tanya Danu dan pertanyaan itu membuat Rama bungkam. “Tidak kan, apalagi aku! Ibumu peneror paling ulung hanya menunggu waktu sampai dia benar-benar penasaran siapa Elsa,” terang Danu mengangkat Kedua tangannya. Rama tahu apa yang dikatakan Danu itu benar adanya, dia hanya bisa menggelengkan kepalanya dan kemudian pergi dengan hati yang kesal. Selalu semua urusan yang menyangkut ibunya dai tidak akan bisa berkutik sama sekali, dasar ibu! Sementara Elsa sedang terlibat pembicaraan bersama Alpa dan Steven ketika Rama sampai di ruangan kerja timnya. “Elsa ikut saya,” kata Rama dan Elsa pun mengikuti pria itu ke ruangan kerja Rama. “Duduklah,” perintah Rama yang diikuti oleh Elsa. Rama kemudian terlihat sedang sibuk membuka laptop dan membaca email yang masuk sekilas, Elsa terus memperhatikan semua gerakan Rama termasuk ketika pria itu melepaskan kacamata dan membersihkan kacamata itu. “Elsa kalau kau tidak ingin terlibat langsung dalam proyek bersama Ikbal aku bisa mengerti, aku akan menjadi perantara dan kalau memang ada pertemuan yang mengharuskan adanya pertemuan, aku atau Steven dan Alfa yang akan mewakilimu,” kata Rama panjang lebar. Gadis itu hanya memandang Rama, pria itu memang selalu bersikap kaku dan tak pernah ada basa basinya. “Saya sudah memikirkannya tadi pak, walau bagaimanapun ini adalah proyek yang saya inginkan,” terang Elsa kemudian lanjut bicara, ”Dan saya akan bersikap profesional tak akan mencampur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan.” “Itu bagus, tapi bagaimana dengan Ikbal?” tanya Rama menganggukkan kepalanya, “Kalau saya lihat dia yang tidak bisa melakukannya.” Elsa hanya terdiam, Rama mungkin benar dengan Situasi yang sepertinya sudah terbaca jelas oleh pria itu. “Pikirkan dulu, kalau siap menghadapi masalah dengan Ikbal saya akan bantu kamu, tapi kalau tidak serahkan semua pada saya atau tunjuk penggantimu,” jelas Rama. “Saya...” kata Elsa ragu. “Saya beri waktu untukmu berpikir kalau memang kau sudah memutuskan harus apa kau beritahu saya,” kata Rama memandang Elsa dan melihat gadis itu menganggukkan kepalanya. “Kamu bisa keluar,” perintah Rama. Sebenarnya Elsa masih ingin bertanya banyak hal pada Rama terutama tentang Ikbal, tapi sayangnya dia melihat pada pria itu yang mulai terlihat sibuk dengan laptopnya. Elsa keluar kemudian disambut oleh Steven dan Alfa. “Dipanggil Kenapa tadi Sa?” tanya Alfa. “Diajak kencan sama si bujang lapuk nan kesepian itu ya?” tanya Steven. “Bukan...” sahut Elsa ragu. “Wah benar itu, Sa?” Alfa ikut bertanya penasaran. “Kalau si perjaka tua itu mengajak dinner atau jalan bareng jangan mau Sa,” kata Steven. “Sebenarnya..” kata Elsa. “Iya Sa, pasti belum apa-apa kamu pasti langsung diajaknya nikah buru-buru,” kata Alfa. Belum sempat Elsa menjawab semuanya pintu kerja Rama terbuka dan terlihat pria itu dengan kacamata yang melorot diujung hidung mancungnya memberi tanda dengan gerakan jari memanggil mereka. “Semua ke ruangan saya dan bawa laporan yang kemarin saya minta, kita rapat sekarang,” kata Rama memberikan perintah. Serentak mereka bertiga bergegas segera mengambil berkas laporan dan langsung ke ruang kerja Rama. Alamat lembur rapatnya! Keluh Alfa dan Steven, saat melihat tampang Rama yang sangat serius. @@@@ Setelah pekerjaan yang sangat melelahkan hampir satu harian ini , akhirnya Alfa dan Steven memutuskan mengajak Elsa pergi ke kafe. “Sa, ikut kita nongkrong pulang nanti yuk,” ajak Alfa. “Ke mana?” tanya Elsa. “Cafe baru yang dekat kantor sini,” kata alfa. “Iya Sa, kita kan tidak pernah keluar bareng selama kamu kerja di sini,” kata Steven. Alfa merangkul bahu Elsa, “Tenang, aku yang traktir kamu.” “Kalau begitu sekalian bareng traktir aku juga ya, Fa,” ujar Steven. “Enak saja, cuman Elsa kamu bayar sendiri seperti biasa,” kata Alfa masih tetap merangkul bahu Elsa dan gadis itu hanya mengangguk kan kepalanya tanda setuju. Rama terlihat membuka pintu dan memandang mereka bertiga, dia juga melihat Alfa yang merangkul bahu Elsa. “Kalau dalam 30 detik kalian belum datang ke ruangan saya dengan membawa laporan pekerjaan hari ini akan ada SP dua,” kata Rama sambil mengacungkan dua jarinya. “Lain kali kalau kalian berdua mau pacaran jangan di sini, ini kantor bukan kafe,” sambil memandang Elsa dan Alfa. Elsa yang menyadari kalau Alfa masih merangkul pundaknya langsung menyingkirkan tangan Alfa yang langsung disambut cengiran di wajah pria itu yang kemudian senyum kecil itu menghilang saat mendapat tatapan tajam Rama. Setelahnya Elsa, Alfa juga Steven saling berpandangan tapi tanpa bertanya lebih lanjut langsung berjalan cepat menuju ruang kerja Rama. Sore itu mereka bertiga tetap pergi untuk bersantai di kafe sambil mendiskusikan banyak hal sesekali terdengar tawa mereka bertiga itu karena Alfa maupun Steven selalu punya bahan pembicaraan yang membuat Elsa terus tertawa. Tanpa mereka sadari kalau ada dua pasang mata wanita muda cantik yang usianya seumur Elsa memperhatikan mereka. Sesaat kemudian Elsa pamit untuk pergi ke kamar kecil, dan tanpa Elsa sadari kalau dia diikuti oleh salah satu wanita itu. Setelah Elsa selesai dikamar mandi dia keluar dan terkejut saat melihat ada wajah yang begitu di kenalnya tersenyum padanya. “Halo Elsa sudah lama tidak bertemu,” kata wanita itu. Elsa memandang tak percaya pada wanita itu, wajah yang pernah dia percaya dan sangat dekat dengannya. “Aku rasa kamu masih ingat sama sahabat baikmu ini kan?” wanita itu terus bicara sambil berdiri tepat di depan Elsa. “Tentu saja aku masih ingat denganmu,” sahut Elsa pelan, “Ivy.” Wanita yang dipanggil Ivy itu tertawa kecil. “Astaga aku pikir kamu sudah lupa padaku, syukurlah kalau begitu,” tersenyum Ivy mendekat pada Elsa. “Aku akan selalu ingat wanita yang telah kuanggap sahabat ternyata adalah seorang musuh dalam selimut,” sahut Elsa. Wanita itu terus tertawa kecil, “Hei jangan marah padaku, salahkan suamiku yang lebih memilihku sebagai pasangannya bukan dirimu kekasih lamanya.” Elsa tidak ingin meneruskan pembicaraan itu, karena dia merasa melayani pembicaraan ini hanya akan membuatnya terus teringat dengan semua pengkhianatan dua orang yang paling dia percaya, Ikbal dan Ivy. Elsa ingin berlalu pergi, ketika tangan Ivy menarik lengannya. “Tidakkah menurutmu itu tidak sopan, meninggalkan orang yang masih ingin bicara denganmu tanpa permisi?” tanya Ivy. Elsa menarik lengannya dengan cukup keras, hingga Ivy melepaskannya dengan wajah yang kesal. “Tidakkah menurutmu apa yang kau lakukan itu justru tidak sopan memaksa seseorang yang tak ingin bicara denganmu sama sekali?” ujar Elsa dan berlalu pergi tanpa menghiraukan Ivy yang masih ingin lanjut bicara. Tapi kemudian langkahnya terhenti ketika melihat wanita satunya lagi yang dia juga sangat kenal lalu mereka saling memandang cukup lama. “Hai Elsa, apa kabar?” terdengar suara wanita itu menyapa sambil tersenyum ragu, lanjut bicara, “Senang bisa ketemu kamu lagi,” Elsa memandang pada wanita itu, “Maaf Lusi, aku tak akan mengatakan sebaliknya.” Dan Elsa pun berlalu pergi meninggalkan wanita yang dipanggil Lusi itu terlihat berwajah muram. “Kita dulu teman yang baik Sa, maaf aku tidak pernah bermaksud menyakitimu,” lirih Lusi menatap Elsa yang berjalan menjauh. @@@ “Jadi katakan padaku nak Danu, seperti apa Elsa itu?” “A, cantik, pintar dan menarik.” “B, cantik, pintar dan matre.” “C, cantik, pintar, menarik dan pantas menjadi pasangan buat anakku si cah ganteng.” [ “Maaf bude, saya tidak berani ikut campur lagi karena Rama mengancam akan melakukan sesuatu yang buruk pada saya.” ] “Jangan seperti itu nak Danu, ancaman Bude ini lebih berbahaya dari apa pun tidak terkecuali Rama.’ “Kau tahu, Bude suka sekali menguliti orang hidup-hidup.” [ “Bude dan Rama sama saja, seperti makan buah simalakama jadi saya yang serba salah.” ] Terdengar tarikan nafas berat dari Danu yang menatap layar telepon miliknya yang menampilkan wajah dari wanita yang termasuk paling di takuti olehnya, selain Ibunya juga mantan istrinya. “TOLONG SIAPAPUN SELAMATKAN SAYA!” Seandainya dia bisa berteriak sekeras-kerasnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN