Jenny dan Ayu sibuk memeriksa seluruh etalase yang ada di butik. Mereka sedang mencari sebuah blazer yang sebelumnya sudah dipesan oleh salah satu pelanggan setia mereka. Keduanya terus mencari dengan gusar. Wajar saja, si pembeli sudah menunggu dari tadi dan mereka masih belum juga menemukan barangnya.
“Kamu yakin nggak salah taro gitu?” tanya Jenny.
Ayu menggeleng. “Nggak, Kak... bukannya waktu itu Kakak yang yang merapikannya lagi dan memasukkannuya ke dalam plastik?” tanya Ayu.
Jenny terdiam, kemudian langsung menepuk keningnya sendiri. “Aku ingat sekarang,” ucapnya.
Ayu tersenyum lega. “Di mana, Kak?”
“Aku masukin ke dalam tas hitam waktu itu,” jawab Jenny.
“Sekarang di mana tasnya?” tanya Ayu.
Jenny terkekeh pelan. “Di rumah.”
Jenny pun segera kembali ke rumahnya setelah berbicara terlebih dahulu dengan pelanggan yang sudah menunggu. Dia memacu sepeda motornya dengan cukup kencang. Keahliannya dalam mengendarai kendaraan bermotor memang sudah tidak diragukan lagi. Novan saja acapkali ketakutan jika sudah berboncengan dengan Jenny. Pernah suatu ketika kejahilan Jenny kumat saat dia membonceng Novan. Jenny memacu motornya dengan super ngebut. Alhasil Novan berteriak histeris sambil memeluknya dengan sangat erat. Peristiwa itu teramat lucu. Novan bahkan sampai mual dan melangkah sempoyongan begitu turun dari motor.
Begitu sampai di rumah, Jenny memarkir motornya di luar gerbang. Dia sengaja tidak memasukkan motornya karena akan segera pergi kembali. Suasana rumahnya terlihat sepi. Jeyhan tentu saja sedang bersekolah. Jenny celingak-celinguk mencari keberadaan sang mama. Dia sengaja berjalan dengan mengendap-endap dan masuk ke dalam rumah sepelan mungkin.
Jenny mengernyit begitu mendengar suara-suara dari arah dapur. Dia menajamkan pendengarannya sembari terus melangkah. Rupanya sang mama sedang berbincang dengan seseorang dan itu adalah tante Maya, adik dari mamanya.
“Jadi Mbak ngasih semua uang penjualan tanah itu untuk modal usahanya Jenny?”
Deg.
Jenny terkejut mendengar ucapan tanta Maya.
“Ya ... memangnya kenapa, to?” mama Jenny bertanya seraya terus melanjutkan aktivitas memasaknya.
“Mbak nggak mikirin Jeyhan? Sebentar lagi dia masuk kuliah lho, Mbak. Seharusnya Mbak menyimpan uang itu baik-baik. Mbak kan, udah nggak bekerja lagi... nanti jajan Jeyhan dari mana? Kebutuhan hidup Mbak dari mana?” tanya tante Maya.
“Jenny ngasih jajan adiknya, kok May,” jawab mama Jenny.
“Pokoknya Mbak nggak seharusnya memberikan semuanya kepada Jenny. Lagipula dia sering gagal kan? terakhir kali waktu Papanya masih hidup, Jenny juga minta dimodali bisnis salon... tapi apa hasilnya?”
Napas jenny terasa sesak mendengarkan percakapan itu. Dia merasa marah sekali, tapi di sisi lain juga merasa malu. Harusnya dia tidak egois seperti ini. Harusnya dia juga memikirkan Jeyhan dan mamanya. Rasa bersalah pun kini mulai menjalar di hati Jenny. Memaksanya untuk larut dalam sebuah sesal yang tidak dapat dibendungnya lagi.
“Harusnya aku tidak melakukan ini,” bisiknya lirih.”
****
Kandas.
Untuk pertama kalinya Jenny merasa semangatnya buyar. Apakah dia memang terlalu egois? Tapi, bukankah dia sudah bertekad untuk mengembalikan apa yang sudah diterimanya itu? Jenny memacu sepeda motornya tidak tentu arah. Dia bahkan tidak jadi mengambil tas yang ingin dijemputnya itu.
Jenny membuka kaca helm-nya dan membiarkan semilir angin membelai wajahnya. Setelah terus melaju, akhirnya motor itu pun berhenti di sebuah kedai kopi yang masih terlihat lengang.
“Sepertinya aku butuh kafein untuk menenangkan diri,” ucapnya pelan.
Setelah mendapatkan kopi pesanannya, Jenny pun memilih duduk di pojokan kedai kopi itu. Dia menyeruput kopi itu pelan sambil memikirkan kembali perbincangan tante Maya dan mamanya yang tadi dia dengar. Dinni memutar-mutar sedotan gelasnya dnegan tatapan kosong. Hingga kemudian dia dikejutkan oleh handphone-nya yang berdering keras.
“Halo Kak, Kakak di mana?” tanya Ayu di balik telepon.
“A-aku... aku mendadak ada urusan, Yu... kamu bilang saja ya sama pelanggan itu kalau barangnya nanti akan saya kirimkan melalui kurir saja,” ucap Jenny.
“Mmm... baiklah, Kak. Aku akan ngomong ke orangnya.”
Jenny beralih membuka daftar kontak di handphone-nya. Jemarinya berhenti di nama Novan. Gadis itu menelan ludah. Dia tidak bisa menghubungi Novan begitu saja setelah membuat masalah terakhir kali. Lagipula sekarang Novan tentu sedang bekerja.
Ting.
Pintu kedai itu terbuka menampilkan dua orang pria yang sedang asyik bersenda gurau. Jenny pun menyipitkan matanya untuk bisa melihat wajah itu lebih dekat. Beberapa detik kemudian dia terkesiap dan langsung menutupi wajahnya dengan tas yang dibawanya.
“Sial... kenapa aku harus bertemu sama cecunguk itu lagi, sih” umpat Jenny.
Dua lelaki yang baru masuk itu adalah Ikhsan dan Ega. Para pengangguran kelas kakap itu terlihat menyedihkan dalam setelan kaos oblong dan jeans mereka yang sudah dipotong pendek. Jenny bahkan bergidik ngeri melihat mode fashion Ikhsan yang terlihat seperti cabe-cabean itu.
“Kita duduk sini aja, yak!” seru Ega sambil mendaratkan pantatnya di kursi yang dekat dengan Jenny.
“Oke,” jawab Ikhsan sambil mengacungkan jempolnya.
Jenny langsung menelan ludah. Dia perlahan bangun dari duduknya dan bermaksud untuk segera melarikan diri dari sana.
“Eh, Mbak kunci motornya jatuh,” tegur Ega sambil meraih kunci motor Jenny yang tergeletak di lantai.
Jenny menggigit bibirnya sendiri sambil meringis pelan. Sementara Ikhsan kini terkejut melihat keberadaannya.
“K-kamu....”
Jenny berusaha bersikap tenang. Dia mengambil kunci motornya seraya menampilkan senyum yang teramat manis. Dia bersikap seolah-olah tidak melihat keberadaan Ikhsan di sana. Ikhsan pun menarik satu sudut bibirnya sembari berdecak pelan.
“Mau kabur ya? karena ketemu aku?” tanya Ikhsan.
Jenny menatap sekilas, lalu berdecak pelan. “Idih... emang akunya mau pergi kok,” jawab Jenny.
Ikhsan tertawa pelan. “Wajah kamu hari ini kuyu banget, ada masalah ya?”
Deg.
Jenny terkejut. Hatinya pun langsung bertanya-tanya. Siapakah sebenarnya pemuda kucel ini? apakah dia dukun? Apa dia anak indihome? Apa dia bisa membaca pikiran? Apa dia bisa membantunya untuk keluar dari permasalahan ini?
Jenny menelan ludah, lalu mendekatkan wajahnya pada Ikhsan. “Apa kamu itu bisa meramal?” bisik Jenny.
Ikhsan tergelak dan langsung membuang muka, sedangkan Ega juga langsung menutup mulutnya agar tidak menimbulkan suara.
“Wah... kenapa mbak bisa tahu?” tanya Ega.
Ikhsan melotot menatap Ega, tapi Ega langsung mengedipkan matanya pada Ikhsan.
“J-jadi dia memang bisa meramal?” Jenny terlihat antusias.
“Tentu saja,” jawab Ega bersemangat.
Jenny beralih menatap Ikhsan dengan mata yang berbinar. Ikhsan pun jadi gelagapan dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Apa kamu bisa ngeramal saya?” tanya Jenny.
Ikhsan menelan ludah. Dia tidak ingin memperpanjang perkara dan ingin mengakui kalau itu hanyalah bualan Ega saja. Tetapi baru saja dia akan membuka mulut, Eja langsung menggeser posisinya dan mengambil alih pembicaraan.
“Bisa dong... tapi ya, ada syaratnya dan ada waktu-waktu tertentu juga,”jawab Ega,
Ikhsan hanya bisa menghela napas, sedangkan Jenny malah terlihat semakin antuasias.
“Oke deh... kalau gitu aku boleh minta nomor handphone kamu kan?” Jenny tersenyum sumringah dan bersiap untuk mencatat nomor handphone-nya Ikhsan.
****