Farah berdiri mematung di ruang tamu rumah Tante Rami, tubuhnya kaku seolah waktu berhenti sejenak. Kejutan kedatangan Ibu di tempat ini membuat napasnya tercekat. Matanya tak bisa lepas dari sosok Ibu yang kini berdiri di ambang pintu, mengenakan baju yang sedikit lusuh, dengan raut wajah penuh amarah yang tak bisa disembunyikan. Sorot mata Ibu menembus Farah, menelusuri penampilan anak gadisnya dengan tajam, seolah mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk marah. Dengan gemetar, Farah melangkah mendekat. Ia menyalami tangan Ibu, lalu mencoba merengkuh tubuh yang terasa dingin itu dalam pelukan. Namun, sebelum pelukan itu bisa terjadi, Ibu dengan kasar mendorong Farah ke belakang. “Kamu ini susah sekali dihubungi selama seminggu!” bentak Ibu dengan nada tinggi, tanpa ped