4. Nyaris Menangis Darah

1424 Kata
“Hah!” Aishar mengembuskan napas panjang dari mulut. Pria berambut pendek ikal itu tampak putus asa. Apalagi alih-alih memohon kepadanya, Ayana yang akhirnya keluar dari rumah, justru memasang tampang yang tak ia inginkan. Ayana masih menyikapi Aishar dengan dingin, sama seperti pertemuan terakhir mereka, di petang menjelang malam, harusnya mereka lamaran. “Bisa-bisanya, Ayana. Kamu menolakku, tapi kamu justru ‘dengan’ ayah kamu!” kecam Aishar bersama kedua tangannya yang gemetaran saking tak habis pikirnya dirinya kepada cara pikir Ayana. Iya, kabar Ayana dan pak Supri, memang sudah sampai telinga Aishar. Kabar yang tak lebih dari fitnah keji itu, amat sangat dipercayai warga, tanpa terkecuali Aishar. “Apa yang kamu dapat dari ayahmu? Dosa! Kenapa kalian melakukannya, bahkan tak lama setelah kamu menolakku!” “Jelas ini jawaban dari shalat malam yang aku lakukan—” Di pelataran depan rumah orang tua Ayana yang masih dihiasi puing-puing kebakaran, pertemuan itu berlangsung sengit. Ayana tak ubahnya balok es di lemari beku dan akan sulit untuk membuatnya mencair. Aishar makin putus asa dibuatnya. Ayana yang ia yakini sudah salah kaprah, justru terlihat makin arogan saja. “Tidak usah halu dan sampai membawa shalat malam yang kamu lakukan sebagai doktrin tak jelas!” Ucapan sinis itu terlontar dari bibir seorang Atlantis yang pada akhirnya datang. Lexus hitam yang baru saja berhenti di belakang Aishar, justru membawa Aishar dan disopiri langsung oleh pak Supri, bapak Ayana. Kehadiran Atlantis sudah langsung menyedot perhatian Aishar dan teman-temannya. Begitu juga dengan ibu Lastri yang untuk kali pertama melihat sekaligus bertemu dengan majikan suaminya. Akan tetapi, melihat sang suami membuat ibu Sulastri langsung ingat pada zina yang pria itu lakukan dengan putri mereka sendiri. Kejadian yang ibu Sulastri saksikan menggunakan kepala dan matanya sendiri. Kini, setelah Atlantis berdiri persis di sebelah Ayana, pemuda yang kiranya berusia dua puluh tiga tahun itu makin menatap Aishar dengan sinis. “Perkenalkan, ... saya Atlantis. Calon suami Ayana, dan kami akan menikah pagi ini juga!” “Sekali lagi saya tegaskan, saya, Atlantis, calon suami Ayana. Saya dipilih secara khusus oleh ayahnya Ayana!" Atlantis berbicara penuh penekanan, menegaskan bahwa Ayana miliknya, dan Aishar yang dirinya ketahui pernah menjalanin hubungan dengan Ayana, tak berhak mengusik. “Pulang dan saksikan langsung acara penangkapan mamamu!” lanjut Atlantis yang sadar, di sebelahnya, Ayana jadi kebingungan. “Baru datang, ngaku jadi calon suamiku, terus bilang kalau dia akan menikahiku pagi ini juga. Dan, dia juga minta mas Aishar buat menyaksikan penangkapan mamanya? Sebenarnya, dia siapa? Dia datang bersama bapak. Bapak sengaja membayarnya, apa bagaimana?” batin Ayana yang dikejutkan oleh kedatangan pak Sofyan, sopir keluarga Aishar. Setelah menggunakan motor terbilang ugal-ugalan, pak Sofyan menghadap kepada Aishar yang dikawal delapan pemuda. Pria berkulit sawo matang memakai seragam warna hitam lengan pendek itu mengabarkan. Bahwa bersama ketiga ajudannya, ibu Sharmila ditangkap oleh polisi. “Ibu di tangkap polisi, Pak?” Aishar benar-benar kaget. Tak ada angin apalagi hujan, tiba-tiba saja Aishar seolah disambar petir di siang bolong. Lebih-lebih ketika pak Sofyan juga mengabarkan, alasan ibu Sharmila berikut ketiga ajudannya ditangkap. Keempatnya ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan kepada Ayana, berikut percobaan pembakaran rumah Ayana yang sempat digagalkan. “Jadi sekarang kamu tahu, kan, jawaban dari shalat malam yang kamu lakukan, bukan fitnah keji Ayana dan ayahnya. Melainkan kebusukan ibu kamu yang sudah langsung Allah bongkar melalui saya!” tegas Atlantis terdengar kejam bahkan di telinganya sendiri. Tak lama kemudian, warga keluar dari rumah. Mereka tidak janjian, tapi kabar penangkapan ibu Sharmila dan ketiga ajudannya, sudah langsung viral di grup WA. Tak lama kemudian, mobil polisi datang. Polisi melakukan olah TKP di rumah orang tua Ayana, sementara Aishar dan rombongan segera pergi dari sana. Aishar pergi dengan ketidakpercayaan yang membuat pria itu melakukan segala sesuatunya secara buru-buru. Semuanya diproses dengan semestinya. Hati Ayana bergejolak. Batinnya bersorak merayakan kemenangan atas perlawanannya yang menolak tunduk pada manusia semena-mena layaknya ibu Sharmila. Di tengah jantungnya yang jadi berdetak lebih cepat, Ayana memutuskan lari menuju rumah dinas ibu Sharmila dan memang tak begitu jauh dari rumah orang tuanya. Ayana sangat penasaran, dan ingin menyaksikan secara langsung penangkapan ibu Sharmila. “Dia memang hanya diam, tapi dia terlihat sangat lega. Dia, Ayana Ayunda, dan ternyata sangat cantik, sedang merayakan kemenangannya!” batin Atlantis diam-diam mengawasi Ayana. Kedua mata Atlantis nyaris tak berkedip melepas kepergian gadis berambut panjang agak bergelombang, dan merupakan anak dari sopirnya. Wanita yang harus dirinya nikahi, beberapa jam lagi. “Mohon maaf, Den.” Penuh santun, pak Supri menghampiri sang majikan yang langsung celingukan hanya karena ia usik. “Pak Supri ...?” “Mohon maaf, Den. Kenapa Den Atlantis memperhatikan Ayana segitunya?” Bagi pak Supri, tatapan Atlantis kepada putrinya, amat sangat berbeda. Kagum, haru, dan juga diwarnai kebahagiaan layaknya orang kasmaran. “Bagaimana, Den? Ada yang salah? Kenapa Aden hanya diam?” “S—Saya ragu dia anak pak Supri dan istri pak Supri.” “Loh ... memangnya kenapa, Den?” “Kebagusan, Pak! Mohon maaf, ... enggak ada mirip-miripnya dengan kalian!” Untuk pertama kalinya sejak pertemuan sekaligus kebersamaan tadi, senyum di wajah pak Surpi pecah. “Dua belas tahun menanti anak, akhirnya kami dapat Ayana, Den. Dan kami punya tradisi agar anak kami cantik atau ganteng. Kalau bahasa gaulnya ... apa itu ya, Den. Good looking!” Apa yang sang sopir katakan membuat Atlantis nyengir. Iya, Atlantis mengakui. Bahwa Ayana putri sopirnya, memang good looking. “Lebih dari good looking, malahan!” batinnya. * Rumah dinas milik ibu Sharmila yang halaman dan jalannya dipisahkan dengan gerbang setinggi dua meter itu dipadati warga. Bersama warga yang jadi sibuk mengecam ulah ibu Sharmila, Ayana menyaksikan kekacauan di sana. Apalagi bersama ditangkapnya orang berpengaruh di desa mereka, ada saja sebagian dari masyarakat yang menyerukan kezaliman ibu Sharmila selama ini. “Akhirnya, buah yang busuk memang tak perlu dijatuhkan karena dia pasti akan jatuh sendiri. Lihatlah dirimu wahai ibu Sharmila, ... kemewahan dan kekayaan yang biasa kamu gembar gemborkan, kini tak ada artinya. Hukum sosial yang kamu dapatkan, akan membuat rekam kebusukan kamu selalu dikenang,” batin Ayana benar-benar puas sekaligus lega. Terlebih penangkapan ibu Sharmila sampai direkam oleh sebagian warga maupun wartawan yang datang. Berbeda dari biasanya yang tampil necis dengan rias tebal, kali ini ibu Sharmila tampil awut-awutan. Rambut panjang bergelombangnya tak sepenuhnya terikat. Wajahnya yang sudah dihiasi beberapa kerutan juga tampak pucat. Selain itu, ibu Sharmila juga harus dipapah hanya untuk berjalannya. Tampaknya, dampak dari bantingan yang Ayana lakukan, telah menciptakan luka serius untuk tubuh ibu Sharmila. “Ayana!” Suara lantang Aishar kepada Ayana, mengusik kerumunan di sana. Aishar yang baru melepas penangkapan sang ibu, bergegas menghampiri Ayana. Ayana yang awalnya akan pulang, mau tak mau mengurungkan niatnya. Kini, berderai air mata penyesalan, Aishar menatap Ayana. Tatapan dan sikap yang tentu saja lagi-lagi berbeda dari saat terakhir mereka bertemu. “Ayana, aku benar-benar minta maaf. Aku mohon, tolong maafkan aku. Kita bisa mulai semuanya dari awal, kan?” ucap Aishar mengiba. “Jangan mimpi, Mas! Adzan subuh sudah beres dari setengah jam lalu. Sementara tadi kamu tahu, calon suamiku sudah datang. Pagi ini juga, dan dengan kata lain sebentar lagi, kami akan menikah!” tegas Ayana tanpa ragu, sesaat setelah menghindari kedua tangan Aishar yang nyaris meraih kedua tangannya. Selanjutnya, yang Ayana lakukan ialah pergi tanpa sedikit pun keraguan. Ayana tak mau, dan memang tak sudi berurusan dengan Aishar berikut keluarga pria itu lagi. “Kamu menolakku yang punya segalanya, demi pria miskin itu dan paling seorang sopir?!” teriak Aishar dan membuat kebersamaan mereka makin menjadi tontonan. Langkah Ayana langsung terhenti. d**a Ayana bergemuruh bersama darahnya yang seolah didihkan. Kini Ayana membuktikan sendiri kebenaran pepatah buah tak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya. “Bapakmu sopir, teman dan kenalanannya otomatis juga sopir!” lanjut Aishar kembali menghampiri dan berhenti trpat di hadapan Ayana. “Makan harta dan semua kedudukan yang kamu banggakan itu, Mas! Makan! Namun perlu kamu ingat, aku enggak butuh harta dan semua yang bikin kamu semena-mena kepada orang lain!” kecam Ayana, tidak bisa untuk tidak emosi. “Pagi ini juga, aku akan menikah. Aku akan mematahkan ancaman bahkan kutukan ibumu. Dan lihat, siapa yang benar-benar pecundang. Aku, ... apa kamu dan ibumu yang sudah pasti akan mempertanggung jawabkan kejahatannya di balik dinginnya jeruji penjara!” Tanpa pikir panjang, Ayana memutuskan pergi dari sana. Kali ini tak tergoyahkan lagi. Bahkan meski Aishar memanggil-manggil Ayana dengan tangis pilu. Ayana tak lagi peduli. Sampai akhirnya, ijab kabul itu sungguh terjadi. Uang satu juta rupiah menjadi emas kawin yang Ayana dapatkan dari Atlantis. Aishar yang menyaksikan pujaan hatinya justru dinikahi pria lain, nyaris menangis darah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN