Bab 09

841 Kata
Laisa, Rafles, dan Regan menatap rumah di depan mereka dengan pandangan jijik. Rumah kecil yang dindingnya sudah rapuh dan juga apa ini? Iyuhhh! Becek?! Yang benar saja! Mereka harus ke sini dan banyak kuman. Laisa merasakan sesak nafas karena berada di tempat tidak seharusnya dia berada. Dia berada di lingkungan yang kotor dan membuatnya tidak yakin kalau keluar dari sini masih hidup. “Regan! Kau tidak membelikan rumah untuk Laura dan menyuruhnya pindah? Bagaimana bisa dia tinggal di kandang sapi seperti ini? Bahkan kandang sapi saja lebih bagus. Mama tidak bisa untuk masuk ke dalam sana. Atau Mama akan terkena penyakit yang mematikan. Ya Tuhan! Selamatkan aku sekarang. Tolong jangan buat aku mati dulu sebelum aku punya cucu.” Ucap Laisa mengibaskan tangannya berulang kali dan napasnya sudah sesak melihat keadaan rumah Laura. Regan menyuruh orang tuanya ke apartemen yang dia sebutkan saja. Laisa dan Rafles mengangguk menuruti putra mereka. *** Laura merasa seluruh tubuhnya tegang saat ia duduk di ruang tamu apartemen mewah Regan bersama ayahnya. Dinding putih bersih, furnitur mahal, dan pemandangan kota dari jendela besar membuatnya semakin sadar betapa jauh jarak dunia mereka. Ayahnya, Pak Darma, tampak canggung dengan tubuh sedikit membungkuk, tangannya terus meremas topi usangnya seakan itu bisa mengurangi kegelisahannya. Mereka sebelumnya sudah tahu rumah kecil mereka di pinggiran kota tak layak untuk dikunjungi keluarga kaya seperti keluarga Regan. Bahkan Regan, dengan santai, menyarankan mereka bertemu di apartemennya saja, yang tentunya lebih “nyaman.” Laura dan ayahnya hanya bisa tersenyum tipis mendengar alasan itu. Dalam hati, mereka sadar rumah mereka memang tak lebih dari kandang sapi di mata orang-orang seperti Laisa dan Rafles. Sekarang, di depan mereka, duduk Laisa dan Rafles dengan wajah datar. Laisa, dengan gaya anggun namun dingin, melipat kedua tangannya di depan d**a, sementara Rafles hanya bersandar santai di sofa, sesekali melirik jam di pergelangan tangannya. Laisa menghela napas kasar, membuat suasana semakin berat. Tatapannya tajam mengarah pada Laura dan ayahnya. "Kalau bukan karena Regan bersikeras untuk menikahi putri Anda," ucapnya tanpa basa-basi, "saya tentu tidak akan setuju dengan pernikahan ini. Tapi, saya menginginkan cucu, dan Regan tampaknya yakin dengan pilihannya." Laura menunduk dalam-dalam, berusaha menahan perasaan sakit yang menjalar di dadanya. Ucapan Laisa seperti pisau yang menusuk harga dirinya, tapi ia tahu dirinya tidak bisa membalas. Ia hanya bisa menggenggam erat tangannya sendiri di pangkuannya, mencoba menguatkan diri. Pak Darma, yang merasa tidak nyaman dengan ketegangan itu, melirik ke arah Regan. "Maaf, Nak Regan," katanya ragu, suaranya serak karena usia dan kerja keras bertahun-tahun. "Saya hanya ingin bertanya... apakah kau benar-benar serius dengan putri saya?" Ruangan terasa sunyi sesaat setelah pertanyaan itu dilontarkan. Mata semua orang kini tertuju pada Regan, menunggu jawabannya. Pria itu, dengan ekspresi datar dan nada yang tenang, menjawab, "Tentu saja. Saya serius, Pak. Kalau tidak, saya tidak akan sampai sejauh ini." Jawaban itu membuat Pak Darma sedikit lega, meski raut wajahnya masih menunjukkan keraguan. "Baiklah, kalau begitu," katanya pelan, sebelum kembali terdiam. Laisa, yang tampaknya sudah lelah dengan suasana formalitas ini, memotong, "Kita bicara soal pernikahan. Saya ingin semuanya berlangsung secepat mungkin. Tidak ada gunanya menunda-nunda. Kita akan mengatur pesta kecil, cukup untuk keluarga dekat dan teman-teman penting." Matanya melirik Laura sebentar, lalu kembali ke Pak Darma. "Dan setelah itu, saya ingin melihat cucu dalam waktu dekat." Laura merasa panas dingin mendengar ucapan itu lagi. Tuntutan soal cucu terus keluar dari mulut Laisa, membuatnya merasa seperti alat untuk memenuhi harapan keluarga ini. Pak Darma, yang menangkap kegelisahan putrinya, mencoba berbicara, "Bu Laisa, pernikahan ini... kalau boleh saya usul, mungkin bisa lebih sederhana saja. Kami keluarga sederhana. Tidak perlu pesta besar—" Laisa mengangkat tangannya, menyela tanpa ragu. "Kami yang akan mengurus semuanya. Anda tidak perlu khawatir soal biaya. Kami hanya ingin memastikan pernikahan ini berjalan dengan baik dan sesuai standar keluarga kami." Pak Darma terdiam. Ia tahu, di balik kata-kata itu, terselip maksud bahwa keluarganya dianggap tidak mampu untuk berkontribusi apa pun. Laura memandang ayahnya dengan cemas, takut pria tua itu merasa terhina, tetapi Pak Darma hanya mengangguk kecil, menerima kenyataan itu. Regan akhirnya angkat bicara, suaranya lebih lembut. "Papa, Mama, tidak perlu terlalu keras pada Laura dan ayahnya. Saya sudah bilang, saya akan mengurus semuanya. Ini pernikahan saya." Ia menoleh ke arah Laura, memberikan senyuman kecil yang membuat gadis itu merasa sedikit tenang. "Dan Laura... kau tidak perlu memikirkan apa-apa. Percayalah padaku." Kata-kata itu menenangkan suasana, meski hanya sedikit. Laisa tetap memandang Laura dengan sorot yang sulit diartikan, sementara Rafles yang sejak tadi lebih banyak diam, akhirnya bersuara, "Baiklah. Kalau Regan sudah yakin, kita dukung saja. Tapi, Laura..." Ia menatap gadis itu dengan serius. "Tunjukkan bahwa kau pantas menjadi bagian dari keluarga ini. Jangan buat kami menyesal." Laura hanya bisa mengangguk, meski dalam hati ia tidak yakin bagaimana cara membuktikan dirinya. Pandangannya sesekali melirik ayahnya, berharap mendapat dukungan moral. Pak Darma hanya bisa menepuk bahunya pelan, tanpa berkata apa-apa. Setelah pertemuan itu selesai, Laura merasa hidupnya semakin jauh dari kendalinya sendiri. Tapi satu hal yang ia tahu pasti—ia harus bertahan, untuk dirinya, untuk ayahnya, dan untuk janji yang sudah terlanjur ia buat. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN