Perlahan kujejakkan kaki menapaki anak-anak tangga. Tubuhku dan Mami terikat kain gendongan yang simbolik menyiratkan beliau tengah menggendongku. Sementara Papi, melangkah di depan kami seraya membawa sebatang lilin yang menyala. Langkah kami berhenti di sebuah ruangan yang didekorasi begitu cantik. Papi lalu ngecagkeun aisan atau melepaskan gendongan Mami padaku. Di tanah Pasundan, prosesi ini menyiratkan arti bahwa Mami dan Papi akan melepasku dan menyerahkan tanggung jawab atasku kepada calon suamiku. “Mami, jangan nangis,” lirihku sengau saat kain gendongan itu meninggalkan tubuh kami. Mami dan Papi lalu memangku aku. Sejatinya, ritual dipangkon ini dilakukan dengan suka cita. Hanya saja, mungkin karena melihat Mami menangis tadi, air mataku tak bisa berhenti mengalir. Ditambah

