Mas Rio terlihat linglung. Aku merangkulnya, menonaktifkan vitur loudspeaker lalu membawa tangan Mas Rio agar melekatkan gawai itu di telinganya. Sembari ia mendengarkan penjelasan Om Tommy, aku memandunya masuk ke dalam lobi. Di sebuah sofa dua dudukan, kami duduk berdampingan. Aku tak menginterupsi obrolan mereka. Justru, mengeluarkan ponselku dan menjelaskan pada Kang Jarvis jika Mas Rio akan terlambat ke mejanya. Khawatir ada yang mencari. KangJarvis: Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Oke, urang info ke bosnya Rio. Mau balik? Reina: Belum tau, Kang. KangJarvis: Oke. “Rio ngga bisa pulang, Om.” Aku menoleh saat mendengar kalimat barusan. Kutelisik raut wajah suamiku. Tentu saja, ada ketidaknyamanan di sana. “Minta tolong diurus aja pemakamannya Om Wista, ya Om? Habis ini

