Mengenakan setelan tuksedo hitam, Fattan berjalan menyusuri lorong berkapet wilton cokelat bermotif bunga putih. Puluhan lampu downlight yang bertebaran seperti bintang di langit-langit lorong memayungi ayunan langkah pria itu. Satu tangannya terkubur di saku celana, sedangkan tangan lainnya menggenggam ponsel yang menempel di telinga. “Iya, Sayang. Sebentar lagi saya akan masuk ke restoran. See you soon. I bloody miss you,” tutur Fattan pada seseorang di ujung telepon. Beberapa detik kemudian Fattan memutuskan panggilan telepon dan menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Langkahnya berhenti selama sesaat ketika salah satu dari dua penjaga pintu restoran menyapa dirinya dengan ramah. “Selamat datang,” kata si penjaga sambil membukakan pintu untuk Fattan. “Terima kasih.” Fattan me

